Pagi menjelang Dhuha. Matahari mulai tinggi. Berdua bersama
ibu saya beringsut pergi ke pasar. Niatnya membeli beberapa ekor ikan nila
segar untuk digoreng, lauk sarapan pagi ini. Wah, asik juga. Lumayan lama tidak
jalan ka pasar pagi bersama ibu. Meski jaraknya cukup dekat di tengah kota, sekitar
15 menit dari rumah dengan mengendarai motor. Akhir pekan paling enak
dihabiskan di rumah saja, masak-masak dan makan enak sama keluarga. Maklum, hari-hari
biasa sebelum ke kampus suka tidak keburu sarapan bersama (bandel). Maka dari
itu, kemarin malam kami membuat rencana masak ikan goreng favorit keluarga. Oh
ya, jangan lupa masak juga cah kangkung dan sambal sebagai pelengkap.
Mari berburu ikan!
Sudah ada langganan ikan di pasar pagi, ikannya lumayan
lengkap di sana. Meluncurlah kami dengan santai menuju TKP. Lhoh? Mas-mas pedagang
ikannya mana? Celingukan kita jadinya. Ooh, ternyata lokasinya pindah agak ke
selatan di ruas kiri jalan. Singkat cerita tidak pakai lama, terpilihlah 9
ikan-ikan nila gendut seberat 1,5 kg. Sekilonya kena 20 ribu rupiah. Itupun sudah
ditawar dari harga awal 22 ribu rupiah. Lumayan, sisa uangnya buat bakal beli
kangkung nanti di seberang jalan. Begitulah wanita dalam hal tawar-menawar.
Meski terkadang harus ngotot-ngototan dengan si penjual, harga turun seribu dua
ribu sudah senang minta ampun. Dalam teori ekonomi, potongan harga selalu
memberi efek lebih kaya bagi pembeli. Ibuku memberi sedikit petunjuk cara
memilih ikan. Pegang bagian dada ikan, cari yang masih kencang dan tidak
lembek. Jadi, ikan yang kita pilih dipastikan dalam kondisi segar bugar sehat
wal’afiat. Nah lo, bukannya itu ikan mati ya? Hehe..
Lanjut jalan ke los pedagang sayur-mayur. Karena ini pasar,
barang tentu kita harus menentukan jenis sayur apa yang hendak kita beli. Biar
tidak putar-putar, nanti malah tidak dapat yang dibutuhkan. Karena kita mau
beli kangkung, kita ke pedagang kangkung. Meski ia juga menjual terong,
alangkah lebih bijak kita tetap fokus membeli kangkung. Biar tidak jadi cah
terong. Halah!
Nah, itu dia kangkungnya. Digelar oleh seorang ibu-ibu yang
cukup renta. Kelelahan nampak jelas di kerut wajahnya. Sepagi dan setua itu, ia
masih berjualan di pasar. Setia dengan dagangan sayurannya. Tapi, nampaknya ia
terlelap cukup pulas.
“Buk, kangkungnya berapa buk?” tanya ibuku.
Masih belum menyahut. Ibuku menyenggol bahu si ibuk yang
tengah asyik dengan mimpinya. Si ibu terbangun dan menyadari kehadiran dua
sosok di depannya. Setengah tergagap ia berusaha mengingat harga kangkungnya.
“Lima ratus, satu ikat,” jawabnya pelan.
“Seribu tiga nggih?”
ibuku mencoba jurus menawarnya.
“Mboten tawi buk,-tidak
menawarkan. Kalo pedagang keliling jualnya sudah tujuh ratus lima puluh rupiah.”
Si ibu melakukan pertahanan, dengan sedikit pembelaan. Iyakah? Batinku.
“Seribu tiga kalau boleh,” mulai minta kepastian.
“Dereng angsal,Bu -belum
boleh,Bu.” Kekeuh juga ni ibu yang jualan.
Ibuku jalan lagi. Coba cari pedagang kangkung tiga meter di
sebelahnya. Ternyata sama saja. Harganya lima ratus perak juga seikat. Eh,
waktu ditawar malah ditunjukin
kangkung yang kualitasnya lebih buruk. Layu-layu, padahal yang ditawar ibuku
juga tidak seberapa segar dari yang tadi. Urung, akhirnya ibuku memutuskan
untuk membeli di pedagang kangkung yang pertama ia tawar.
“Sama-sama lima ratusnya, pilih yang sana aja. Lebih segar-segar.
Heran, masa kangkung di rumah sama di pasar harganya sama,” geleng-geleng.
Ya, maklumlah bu. Mungkin karena kita end user kali ya. Jadi harganya ya di kasih segitu-gitu saja. Akhirnya
tiga ikat kangkung seharga seribu lumaratus rupiah jadi kami bawa pulang
bersama ikan-ikan yang lebih dulu kami beli. Lumayan. Namun yang paling
menyenangkan adalah momen tawar-menawar di pasar, memang selalu sayang tuk di
lewatkan.
***
Ada yang menarik bagi saya, menyadari bahwa harga-harga
sayuran semisal seikat kangkung tadi ternyata tak lebih mahal dari harga
sebotol air mineral yang biasa saya beli di kampus. Seharga sekali parkir di
swalayan dan lebih murah daripada ngasih pengamen yang lewat depan rumah. Iya,
soalnya di tempat saya, pengamen suka melengos sih kalo dikasih koin lima ratusan.
Minimal serbu baru bilang terimakasih mbak. Kalau dibawa ke pasar, masih dapat
seikat kangkung segar ternyata saudara.
Padahal, jika kita runtut lagi asal muasal si kangkung
tentunya telah melalui proses perjalanan panjang sampai akhirnya tersaji di
meja makan. Kita telusur mundur ya. Dari meja makan, sebelum dimasak kita membelinya
dari pedagang di pasar. Pedagang pasar dari tengkulak besar, tengkulak besar
dari pengumpul, pengumpul dari petani. Nah, petani kan butuh menanam. Menanam
awalnya dari benih, benih ditunggu empat sampai enam minggu baru bisa panen!
Belum lagi letak ia ditanam jauh dari pasar, perlu berapa lama lagi agar si
kangkung sampai ke tangan konsumen akhir seperti saya.
Kita? Cukup datang kepasar bawa uang lima ratus rupiah saja
bisa membawa pulang seikat kangkung, memasaknya lalu menikmati sepiring cah
kangkung yang lezat. Membayangkannya, saya jadi ternganga. Betapa panjang perjalanan
si kangkung. Maka, hanya dapat berucap syukur. Membuat kita sadar agar lebih
banyak bersyukur. Terima kasih banyak kepada para petani karena kita tidak
perlu capek-capek menanam. Terimakasih bagi para distributor karena kita tidak
perlu capek-capek mengangkut. Dan terimakasih kepada para pedagang pasar yang
sediakan kangkung untuk kita. Apalagi jika kita membelinya pada tukang sayur
keliling. Tidak perlu capek-capek ke pasar. Banyak sekali yang harus kita
syukuri. Maka, nikmat Tuhan manakah yang patut kita dustakan?
Allah membentangkan bumi yang luas. Menurunkan hujan dan
menumbuhkan tumbuhan juga buah-buahan. Dari sayuran di kebun sampai ikan di
laut, kita tidak lantas harus mengambilnya sendiri untuk dapat menikmati.
Karena sejatinya rezeki dari-Nya itu apa-apa yang telah sampai ke perut dan
melewati kerongkongan kita. Kita dikaruniai harta tidak untuk dimiliki, itu hanya
karena kita diizinkan untuk dapat menggunakannya. Karena segalanya hanyalah
milik Allah semata.
Perjalanan si kangkung dari petani sampai kita, sejatinya
memberi makna. Segala sesuatu ada alurnya. Disetiap alur ada yang mengaturnya.
Ingat, tak sehelaipun daun jatuh tanpa sepengetahuan-Nya. Tinggal sikap kita,
masih mengeluh kekurangan atau mensyukuri segala yang ada. Bahkan dari hal-hal
yang paling sederhana.
Ah, cah kangkung lezat pelengkap ikan goreng tadi pagi.
Memberikan cerita yang lain untuk tulisanku hari ini.
-khalilaindriana,2013
100 hari penuh inspirasi
No comments:
Post a Comment