Barangkali masih banyak orang
yang berfikir demikian ketika ia dirundung kesedihan karena kekurangan harta.
Mengeluh, iri kepada orang lain atau lebih banyak menyalahkan Tuhan. Ia selalu
merasa usahanya sudah maksimal, tapi masih saja hidup kesusahan. Maka dari itu,
ia hanya bisa merutuki nasibnya dengan menyalahkan orang lain dan keadaan. Sehingga
watunya habis untuk hal-hal yang kurang mengarah pada hasil yang diharapkannya.
Benarkah jika Tuhan itu kejam, tidak adil dan tidak pernah memikirkan kehidupan
kita? Benarkah Tuhan selalu membuat hidup hambanya menderita? Mari kita simak
analogi berikut ini.
Suatu hari, terjadi hujan lebat
di kota X. Ada seorang yang keluar rumah dengan membawa sebuah gelas kecil. Ia
lalu berusaha menampung air hujan dengan gelas kecil tersebut. Ia selalu
menggerutu bahwa Tuhan memberinya sedikit air hujan. Padahal faktanya, saat itu
sedang hujan deras. Pada saat yang sama, muncullah tetangganya. Ia membawa
sebuah bak penampungan yang besar. Lalu ia bertanya pada tetangga yang membawa
gelas,
”Wahai tetanggaku, mengapa engkau
kelihatan bersedih?” Si tetangga lalu menjawab,
”Tuhan tidak adil! Aku selalu
mendapat sedikit air hujan. Sedangkan aku membutuhkan air lebih banyak!”
“Tidak benar! Tuhan itu maha
Adil. Jika engkau ingin air hujan yang banyak, mengapa engkau membawa gelas
untuk menampungnya? Lihat! Aku membawa bak besar. Maka, jika engkau
menginginkan lebih banyak, maka perbesar wadahmu!”
Si tetangga lalu menyadari
kesalahannya. Ia tidak menyadari bahwa selama ini ia sendiri yang membatasi
rezeki itu datang padanya. Padahal yang benar, Allah telah menurunkan rezeki
yang besar kepada manusia tanpa batas. Tapi seringkali kita sendiri yang tidak
siap menerimanya. Perlu keyakinan yang besar, kelapangan hati dan kesiapan ‘wadah’
yang akan menampung rezeki dari Allah. Namun, tidak berhenti sampai di situ.
Wadah yang besar sudah tersedia, tapi
kita masih saja mendapatkan hasil yang sedikit. Mengapa? Ya, kita harus jeli
dimana tempat yang tempat untuk menampung rezeki yang banyak itu. Misalkan tadi
yang hujan deras adalah kota X, tapi kita berdiam diri di kota Y yang terang
benderang tidak hujan sama sekali! Jelas saja kita tetap tidak mendapat
apa-apa. Wong hujannya di kota
sebelah. Jadi jangan hanya duduk manis, tapi segeralah beranjak menjemput
rezeki di mana saja kita akan dapat maksimal menampungnya. Menampung rezeki
disini hanya perumpamaan, bukan berarti kita diam dan menunggu rezeki itu turun
dari langit. Tapi, berdoa dan berikhtiar dalam proses menjemputnya.
Maka, jangan pernah membatasi
diri. Jangan buru-buru menyalahkan orang lain, menuduh orang lain mengambil
jatah rezeki kita. Karena rezeki manusia takkan pernah tertukar. Hanya saja Allah
baru akan memberikannya sebanding dengan apa yang ia usahakan. Memperbesar wadah.
Ya, kita sendirilah yang harus mempersiapkannya. Tetapkan tujuan, lalu pilih
kendaraan (cara) yang tepat untuk mencapainya. Tidak ada alasan untuk berputus
asa dari rahmat Allah. Jika masih menyalahkan Tuhan, silakan simak cerita berikut
ini yang saya dapat dari Prof.Abdul Basith, Guru Besar di IPB.
Seorang kakek-kakek pergi memancing ikan sambil membawa sepotong penggaris.Setiap
kali ia mendapatkan ikan, dia ukur panjang ikan tersebut dengan penggarisnya.
Jika ikan lebih panjang dari penggarisnya,ikan dia lepaskan. Jika kurang dari
panjang penggarisnya, ikan ia simpan. Waktu ia ditanya oleh orang muda
disebelahnya, ”Wahai kakek,mengapa ikan yang besar-besar engkau lepaskan,
sedangkan yang kecil-kecil engkau simpan?”Sang kakek dengan tenang menjawab, “Wahai
anak muda, Anda tidak tahu ya, wajan dirumah saya diameternya cuma sepanjang
penggaris ini!”
Betapa banyak orang yang selalu
mengukur impiannya dengan fakta yang mereka miliki saat ini. Anda tentu akan
berbuat lebih baik lagi dari cerita di atas, kan?
Khalila indriana, 2013.
100 hari penuh inspirasi
No comments:
Post a Comment