Khalila Butik Hijab Syar'i

Sunday, May 20, 2012

Ada Karya Dibalik Prasangka

image by google


Semenjak masih kanak-kanak, saya gemar sekali membaca. Membaca apa saja. Bahkan sebelum saya masuk TK (dulu belum marak pendidikan pra sekolah TK seperti PAUD yang belakangan sedang in), saya sudah cas-cis-cus membaca koran! Saya teriakkan apapun yang berhasil saya eja. Sehingga tak heran ketika memasuki jenjang sekolah dasar, saya sudah fasih baca-tulis di saat teman-teman seperjuangan saya masih tampak sibuk belepotan mengeja. Saya lantas sudah beralih pada belajar hitungan menerawang, tanpa alat. Dan saya tetap terus membaca. Bahkan, saat kelas dua SD, saya hafal luar kepala isi buku pendidikan pancasila dan kewarganegaraan! Mengapa? Karena, buku tersebut satu-satunya buku yang paling banyak teksnya hingga ratusan kali saya baca ulang.

Dalam hal seni menggambar, saya tak terlalu mendalaminya. Entahlah, dulunya saya punya anggapan cukup negatif bahwa tak ada darah seni yang mengalir di tubuh saya. Menggambar itu masalah bakat. Selain itu juga keterbatasan media seperti buku gambar, crayon, pensil warna dan lain-lain yang membatasi kebebasan ekspresi, menyoal dunia seni menggambar. Seingat saya, dinding kamarlah yang menjadi saksi bisu betapa kreatifnya kami (saya dan ketiga saudara perempuan saya) dalam mencurahkan segala gagasan. Mulai dari menggambar Hamindalid (tokoh kartun dalam komik majalah Mentari) hingga menulis angka dari 1 sampai dengan 1000, mengular tanpa titik koma! Menurut saya, yang paling jago menggambar itu kakak pertama saya. Dia bisa menggambar Cassandra dan Maria Mercedez, dua tokoh telenovela paling cantik luar biasa kala itu. Saya berdecak kagum dibuatnya.
Pengalaman buruk yang termemori di kepala saya tentang menggambar, terjadi saat saya duduk di kelas satu sekolah menengah pertama. Saat itu guru geografi saya memberikan tugas yang bagi saya berat, berhubungan dengan menggambar. Kami diberi tugas individu yaitu menggambar peta provinsi Jawa Timur. Saya sendiri lupa, apakah instruksi dari Bu guru disuruh menggambar secara detail atau tidak. Entah apa yang saya fikirkan kala itu. Meskipun saya lemah dalam hal menggambar, saya bertekad harus berusaha menyelesaikan gambar peta tersebut dengan sebaik-baiknya. Saya gambar sangat detaiiiil sekali, menuangkannya di selembar kertas manila putih yang lumayan lebar. Mulai dari lekukan garis pantai ujung timur pulau Jawa itu, anak sungai, hingga jalur lintasan kereta apinya! Warna dataran dan kedalaman lautpun saya buat bergradasi, semirip mungkin sesuai yang tergambar di peta. Mungkin akan sulit membedakan, itu gambaran tangan atau hasil print kalau jaman sekarang. Hehe.
Berbekal sebuah atlas, pensil, karet penghapus, penggaris, pensil warna dan tentu saja tekad baja. Selama tiga hari saya kerjakan siang dan malam hingga lupa makan sampai begadang segala. Padahal itu mati-matian dilarang bang Haji Roma Irama. Dan ketika itu selesai, sangat puas rasanya! Saya jadi merasa bersalah sering meragukan sendiri kemampuan saya dalam hal menggambar. Ternyata, tak separah dugaan saya. Dengan senyum terkembang, keesokan harinya saya gadang-gadang hasil kerja keras tersebut kehadapan Bu guru geografi yang terhormat. Dan apa yang terjadi saudara pembaca sekalian?
Sangat mencengangkan. Hasil karya saya diragukan keabsahannya! Dengan terang-terangan Bu guru bertanya dengan sopan (baca: menuduh), apakah saya mengumpulkan gambar bukan hasil sendiri alias hasil gambar buatan kakak atau siapalah. Menurut pandangan rasio beliau yang sungguh terlalu itu, tidak mungkin anak seusia saya (yang jelas bagi beliau saya ini bermuka tak jago gambar, mungkin) bisa menggambar peta sedetail itu. (Padahal, bubble yang muncul dari kepala sang  Bu guru sepertinya berteriak,”BAGUS BANGEEEEETTT!!!!” Hehehe.)
Sontak saya menyanggahnya. Namun apa daya, karena sedari awal apresiasinya sudah buruk dengan mengatakan itu hasil karya orang lain, saya terdiam. Ingin menangis rasa hati saya kala itu, tapi segera saya tepis. Pada akhirnya, saya harus terima di lembar peta yang saya buat dengan susah-payah, terpaksa puas pulang dengan nilai 8 saja. Cukup. Tak terlalu buruk sebenarnya, tapi saya mendadak geram setelah tahu nilai karya teman sekelas saya yang menggambar asal-asalan tak ubahnya (maaf) rempeyek kebanyakan air malah mendapat nilai 9! Mungkin dengan dalih ‘karya sendiri’. Benar-benar mengecewakan, bukan?
 Apakah saya marah, lalu menuntut keadilan? Apakah saya menyesal dengan kejadian yang hampir 9 tahun silam itu? Jawabannya, tidak. Malah saya bersyukur, dari situlah saya belajar bagaimana menghargai sebuah karya. Dan bagaimana berusaha, minimal mengapresiasi dengan baik karya orang lain. Tidak langsung men-judge bahwa itu bukan karya sendiri, plagiat, dan seterusnya. Salah-salah jadi fitnah.
Sejak saat itu saya kembali acuh dalam dunia gambar-menggambar. Tetapi saat di bangku SMA ada semacam penjurusan dalam mata pelajaran Seni Budaya yaitu tari, musik, atau gambar. Saya memutuskan untuk mengambil konsentrasi bidang seni gambar, tapi lebih banyak ke gambar perspektif. Belakangan saya baru mengetahui bakat saya di bidang seni adalah bukanlah gambar, melainkan kerajinan tangan dan permainan warna.
Saya sedikit terhibur, karena sebenarnya saya sudah lama mengetahui adanya darah seni yang diwariskan dari pihak keluarga ibu pada keturunannya. Kakek saya yang dulu berprofesi sebagai pembatik. Paman saya seorang tukang kayu yang pandai di bidang ukir-ukiran. Ibu saya pandai memasak. Saya penasaran saja, masa tak ada hasil karya yang dapat saya ciptakan dari tangan saya yang lentur ini? Hehehe. Jadi, tak ada yang salah dengan tidak jago gambar. Saya bisa berkarya dengan cara saya sendiri.
Kembali soal membaca. Saya terus membaca. Membaca apa saja. Buku, novel, koran, majalah, kamus, internet, blog, brosur, modul, bahkan kertas pembungkus tempe juga menjadi bahan bacaan saya. Tentu saja selama ada tulisannya, hehe. Satu hal fakta yang harus jujur saya ungkapkan, saya tidak bisa membaca komik. Apalagi manga, tolong! Tidak usah bertanya. Barangkali komik yang pernah saya baca adalah serial Hamindalid, Donal Bebek dan Detektif Conan. Itupun saat saya masih kecil. Intinya, saya lebih senang membaca tulisan.
Saya terus membaca. Kapan saja, di mana saja. Ada waktu luang saya membaca. Ketika sibuk, saya luangkan waktu untuk membaca. Gerah rasanya seringkali mendengar sindiran orang tentang budaya membaca yag rendah, hanya seringnya baca SMS atau status FB. Miris saja. Saat ini, koleksi buku saya masih jauh dari kata banyak. Tapi juga tak sedikit. Seringnya jika ingin baca, ya pinjam. Berdoa suatu saat bisa ganti meminjam-minjamkan buku bermutu kepada teman-teman yang ingin membaca. Doakan ya, agar koleksi bukunya makin bertambah.
Kegemaran membaca, jika hanya berhenti sampai membaca tentunya sangat kering. Gersang, ilmu yang dibagikan takkan sebanyak yang didapatkan dari membaca. Bagaikan pohon tak berbuah. Dan saya tak hanya terus membaca, tapi juga mulai menuangkannya dalam tulisan. Meski hanya dalam catatan kecil seperti yang tengah saya goreskan ini. Menulis membuat hidup lebih hidup, ilmu tak berkurang secuilpun namun kian bertambah melekat. Setiap yang membaca tulisan kita dan dapat menangkap hikmah maupun manfaat, InsyaAllah pahala pun siap mengalir untuk kita. Seperti gelas yang diisi air, suatu saat akan penuh dan tumpah pula.
Jadi, siap berbagi ilmu yang kita dapat dari membaca, lewat tulisan-tulisan kita? Percayalah, kelak tulisan bukan hanya menjadi story dalam hidup kita. Melainkan history yang akan mengukuhkan bahwa kita pernah ada. Semangat membaca dan menulis ya! (Kamis, 17 Mei 2012)

Bergeraklah, Karena Diam Identik dengan Mati!

image by google


Menjadi seorang penggagas, terkadang hanya terpantik oleh bersitan ide yang umum namun jarang direalisasikan dengan kesungguhan. Seringkali ada niat yang menggebu-gebu seolah tiada waktu lagi menunda untuk sesegera mungkin dijalankan. Tapi sekejap itu pula niat itu hilang, tergerus oleh ego dan jutaan alasan yang mengiringinya. Ada yang bertahan, namun akhirnya kandas jua oleh terjangan kemalasan dan kesibukan. Langkah awal bukan lagi menjadi pijakan untuk langkah berikutnya demi mencapai sebuah tujuan. Melainkan langkah yang tersendat dan terhenti, untuk sebuah keputusan berbelok atau mungkin berbalik arah. Sungguh pengecut bukan?
Niat awal itu sudah luar biasa. Namun, langkah berikutnya adalah yang menentukan. Kalau Columbus mau menerima tantangan untuk mencari benua ketika sayembara, maka tak pantas orang-orang yang tak bergeming itu berkata, ”Aku juga bisa melakukannya.” Tapi tetap saja Columbus yang bergerak dan berhasil menemukan benua Amerika. Karena kemungkinan berhasil dan gagal dalam mencoba itu perbandingannya 50:50. Meski tak selamanya begitu. Tergantung bagaimana analisa kita dalam menghadapinya, bukan judgement yang selalu mengarah pada pesimistis saja tentunya.
Sudah nampak jelas perbedaannya. Biar dicibir, asal tidak berbalas nyiyir. Sudah suratan takdir, orang yang pertama bersedia menangkap peluang ke arah kebaikan itu dihina dan diremehkan. Bahkan sejak jaman Nabi, Assabiqunal awwalun, mereka yang pertama-tama menyatakan kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Alllah dan Muhammad sebagai Rasulullah adalah mereka yang dihina, disiksa, dan diperlakukan semena-mena oleh kaum kafir laknatullah. Tapi mereka menang, mereka bergerak fi sabilillah yang dibukakan pintu syurga selebar-lebarnya. Mereka yang menyerahkan hidup dan matinya istiqamah di jalan kebenaran, kelak menerima pula balasan terbaik. Sungguh, balasan tersebut adalah  dari Tuhannya, bukan para pendusta agama yang mencemooh mereka di dunia. Ganjaran bagi para pendosa adalah neraka, sedangkan bagi yang beriman dan beramal shalih sudah barang tentu syurga balasannya. Itulah janji Allah yang sebenar-benarnya. Kita memilih yang mana?
Jadi, jika anda takut melangkah dalam kebenaran, ingat-ingatlah pesan saya satu ini. Jutaan ide setiap harinya terbentang di hadapan kita, namun hanya orang yang pandai menangkap peluang dan meraih kesempatan yang akan menjadikannya pemenang. Orang yang melakukan kebaikan dan keburukan sebenarnya hanya satu yang sedang mereka lakukan. Yaitu, membuat keputusan untuk sebuah pilihan. Memilih yang manapun, tetap ada implikasi dan resiko yang harus di pertanggungjawabkan. Yang ingin melakukan perubahan dalam hidupnya, akan senantiasa bergerak. Action, action, dan action. Air yang tergenang seiring waktu bisa jadi keruh, berbeda dengan air yang terus mengalir. Setiap saat berganti dengan air bersih lagi jernih. Teruslah bergerak, karena diam identik dengan mati!
(Rabu, 16 Mei 2012)

Mahar, Mudah Bukan Berarti Murah

Foto: dian pelangi

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh..

Bismillah..
Saya tergerak menulis catatan ini untuk mengingatkan pada diri saya sendiri tentang esensi sebuah mahar. Mahar merupakan salah satu bagian dari suatu pernikahan, yang acap kali dibahas secara sederhana namun juga terkadang menarik untuk dibahas secara mendetail. Bahwasanya Nabi bernah bersabda,”Sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan).” (HR. al-Hakim) Seorang perempuan boleh meminta ‘apapun’ kepada calon suaminya. Tentunya dengan batasan-batasan yang dapat diterima secara wajar, dimana si pria mampu untuk memenuhinya. Jangan sampai mahar yang ditetapkan menjadi sebuah penghalang terjadinya sebuah pernikahan karena memberatkan sang calon suami.

Mahar adalah tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita. Mahar adalah sepenuhnya hak bagi seorang istri. Tidak berhak keluarga dari pihak isteri maupun keluarga suami bahkan suaminya sendiri untuk meminta atau mengambil alih hak sebuah mahar yang diberikan suami kepada isterinya. Kecuali sang isteri dengan kerelaan hati menggunakannya untuk kemaslahatan keluarganya. Hal tersebut diperbolehkan. Istri yang baik selalu memilih jalan-jalan terbaik ikut memikirkan bagaimana agar kehidupan keluarganya berjalan dengan baik pula.

Mahar yang paling umum diberikan pengantin pria adalah...

Pengabdian

image by google


“Pengabdian. Mengasah jiwa sosial yang masih terserak oleh ego. Agar suatu saat dapat lebih banyak memberi manfaat bagi sesama...” (khalila_indriana)
Realitas kehidupan seringkali tak sejalan dengan yang kita inginkan. Namun, ketahuilah bagaimana cara Tuhan menyayangi hambanya. Agar kita semakin mengerti bagaimana cara mencintai sesama. Jika kita merasa lebih beruntung dikaruniai akal dan fisik yang sempurna, selanjutnya belajarlah bersyukur dengan melihat saudara kita yang mungkin kita rasa lebih tak berdaya dengan segala kekurangannya. Bukan, bukan untuk mencemooh mereka dan membanggakan yang kita punya. Lebih kepada melihat kebesaran Tuhan dalam penciptaannya. Kita yang di beri kelebihan diciptakan untuk melengkapi yang kekurangan. Alangkah indahnya. Namun kebanyakan manusia lupa.
Kepedulian sering di terjemahkan sebegai rasa belas kasihan. Tipis sekali perbedaan dan cara memaknainya. Padahal, bagi saya kepedulian berarti pengambilan sikap yang menunjukkan rasa ikut bertanggungjawab, rasa memiliki dan rasa ingin berbagi. Bagaimana merasakan kekuatan yang kita miliki akan jauh lebih berharga untuk sebanyak-banyaknya untuk memberi. Bukan untuk menindas, mencibir apalagi mencaci. Sungguh, bukan karena kita patut dipuji dengan kelebihan yang kita sandang, apalagi dicap dermawan dengan jiwa sosial tinggi lantas kita pantas berbangga hati. Karena masih ada Dzat yang lebih Maha dari jiwa-jiwa yang lupa ini.
Saya terhenyak menyimak profil seorang dilayar kaca hari ini. Pengabdian seorang bapak penggagas sebuah yayasan bagi orang sakit jiwa. Tak kurang hampir 100 orang penghuni yang menjadi binaannya. Ia mengabdikan seluruh hidupnya, tenaga, waktu, fikiran dan tentu saja biaya untuk merawat para manusia yang hilang akal. Yang seringnya kita temui, dibiarkan berkeliaran di jalanan. Kadang tanpa busana, mengais makanan di sampah, atau apa saja yang ia temukan. Beruntung jika masih ada beberapa yang peduli untuk memberinya makanan sekedarnya karena iba. Namun bapak satu ini lain, lain dalam memperlakukan mereka. Mereka di ajak untuk tinggal di sebuah barak penampungan bernama yayasan. Yayasan yang ia bangun dengan pondasi kepedulian, mengabdi atas nama  kemanusiaan. Ia tanggalkan jabatan kepegawaiannya. Ia tak lantas selamanya menjadi ‘kacung negara’. Tapi berfikir bagaimana hidupnya lebih bermanfaat bagi sesamanya.
Tak banyak modal yang ia punya. Sebuah lapak bekas terminal ia sulap menjadi rumah yang ‘nyaman’ bagi manusia-manusia itu. Manusia yang berwujud namun jiwanya terbang entah kemana. Ah, ini sebuah barak yang tak ubahnya sel, dengan jeruji bambu semakin menyatakan jiwa-jiwa disini tengah mengembara... Gelap, karena jika terang mereka tak mampu terlelap karena saling terusik satu sama lainnya. Namun semangat bapak pengasuh yayasan tak pernah padam, justru makin menyala-nyala ikut menerangi jiwa-jiwa yang hampa.
Belajar tentang pengabdian, kita sebagai abdi. Pelayan, menjadi pelayan yang baik dalam melayani saudara kita yang membutuhkan tangan-tangan emas yang mau menyentuh mereka. Bukan seperti kenyataan ironis, banyak pejabat aparatur negara justru minta ‘dilayani’ karena jabatannya. Padahal ia dipercaya sebagai pelayan publik! Masih adakah seberkas rasa malu di relung hati mereka?
Sedikit berfikir dan banyak bertindak. Tidak dipungkiri, itulah yang paling berguna untuk dilakukan. Bukan sekedar lisan atu janji belaka. Apalagi dalih ketidakmampuan. Sama saja meragukan pertolongan dari Tuhan, bukan? Belajar mengasah kepekaan, bukan acuh tak acuh dan membuang muka. Apa yang kita lihat, cobalah rasakan. Bayangkan jika orang yang mengalami gangguan jiwa tersebut adalah saudara kita sendiri. Alangkah angkuhnya diri kita mengelak untuk tidak merasa terguncang dan ingin meringankan beban hidup mereka.
Baiklah, mungkin bentuk pengabdian yang sanggup kita upayakan kita sesuaikan dengan kemampuan dan inisiatif kita sendiri. Akan jauh lebih bijak dan tak memaksakan diri. Apabila kita belajar untuk menjadi pribadi yang ingin sebanyak-banyaknya bermanfaat bagi orang lain, tentu kita tak punya banyak waktu mengeluh ini-itu. Karena diluar sana banyak tugas yang selayaknya kita kerjakan bersama. Asah kepedulianmu, dan belajar untuk mengabdikan diri bagi kehidupan yang singkat ini. Hidup hanya sekali, lakukan yang berarti. (Ahad, 12 Mei 2012)

Dapatkah Kita Membeli Kesempatan?



“Your prayer is your conversation with Allah. Your prayer is your Vision. Your prayer is your Hope. Your prayer is your Objective and Goal. Make it Firmly.” #M.Syafi’i Antonio

Berdoalah kepada-Ku, maka akan kupekenankan bagimu. Setiap hari kita diberi kesempatan untuk berdialog dengan Allah. Lewat dzikir, sholat, juga doa. Allah selalu online kapan saja kita ingin ngobrol, free talk istilahnya. Terkadang, kita saja yang sok sibuk dan yang tidak bisa daring. Disaat kita senang, kita lupa untuk sekedar berucap syukur. Ketika susah mendera, malah bilang Allah tidak care pada kita. Gimana urusannya, ya? Padahal online dengan Allah setiap saatpun bisa dengan senantiasa membasahi lisan dan hati dzikir pada-Nya. Tanpa harus repot punya gadget terbaru yang super canggih.
Dalam setiap doa tersimpan berbagai makna. Terjadi percakapan kita dengan Allah, yang menjadi visi kita. Sebuah proposal yang kita rancang untuk mendapatkan ACC dari-Nya. Didalamnya, kita boleh-boleh saja mengukirnya dengan tinta emas harapan yang kita inginkan terjadi pada hidup kita. God is the best director. But, sometimes we consider that we’re an architect of our life. Allah lah yang berhak mengatur setiap fragmen kehidupan seorang manusia. Namun, kita tetap disuruh meminta. Bukan pasrah begitu saja. Disitulah kita berperan sebagai hamba yang aktif, mintakan yang hal-hal terbaik yang ingin kita lakukan dalam hidup di setiap doa yang kita panjatkan. Karena dengan berdoa, semuanya jadi nyata. Jalan menuju titik pencapaian yang telah kita tetapkan dengan keteguhan. Selalu ada campur tangan dari yang maha kuasa, disetiap doa kita akan senantiasa melibatkan Allah dalam urusan kita. Dengan begitu, tiada yang perlu kita sombongkan semuanya hasil kerja kita saja.
Maka, tiada yang lebih berharga dari sebuah kesempatan yang Allah berikan. Kesempatan memang tak pernah datang dua kali. Maksudnya, ketika ada kesempatan kemudian hari, tentu kesempatan tersebut tidak sama dengan kesempatan yang telah lewat. Berbeda. Meski kita tekadang ingin mengulanginya. Maka, jika suatu hari kita belum mendapatkan kesempatan itu, kita boleh berharap dapat mendapatkan kesempatan yang lebih baik dari itu di kemudian hari. Dan jika kita ingin mendapatkan kesempatan yang juga dapat diraih orang lain, maka berusahalah lebih keras. Sering dengar kan, jika ingin menjadi seperti orang-orang yang telah lebih dulu sukses, maka ikutilah jejaknya. Bisa jadi, kita lebih sukses darinya. Atau minimal mendekati kesuksesannya. Sudah ada bedanya kan, dengan orang yang sibuk mengagumi kesuksesan orang lain tapi tidak melakukan apa-apa?
Kembali ke pertanyaan awal, dapatkah kita membeli sebuah kesempatan? Jawabannya adalah bisa. Dengan apa kita membeli kesempatan? Dengan ikhtiar yang kita lakukan tentunya. Ingin dapat kesempatan haji, ke masjid saja anti. Ingin kesempatan jadi orang kaya, zakat dan sedekah saja lupa. Meraih kesempatan bukan sekedar perkara kebetulan, faktor luck yang tinggi, maupun dapat diperoleh dengan cara-cara yang tidak benar (KKN misalnya). Tapi seberapa besar ikhtiar kita untuk membuat kesempatan  itu hadir dalam kehidupan kita. Ciptakan kesempatanmu lewat doa dan teguhkanlah dengan bertawakkal kepadanya. Ngomong-ngomong, tulisan ini juga takkan  bisa hadir tanpa adanya kesempatan untuk menulisnya. Betul? Wallahua’lam bi ash-shawab. (Selasa, 08 Mei 2012)

Kompetisi Melawan Diri Sendiri

image by google


*artikel ini di publikasikan di Mading AlMa Zone, mading Lembaga Dakwah Kampus UKMI Al Manar Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Sudah menjadi perkara yang biasa jika kita bertanding dalam suatu perlombaan, turnamen, kompetisi dan seterusnya, melawan rival kita untuk menduduki posisi juara. Terkadang kita menyusun strategi yang matang agar lebih siap menghadapi lawan. Kita memprediksi, meneliti kelemahan-kelemahan lawan kita, dan berusaha mempersiapkan ‘senjata’ yang ampuh untuk menjadi pemenangnya. Diluar itu semua, kita juga mempersiapkan amunisi, untuk mengasah kelebihan kita sendiri. Namun, apabila kita memahami bahwa sebenarnya dalam diri manusia ada yang jauh lebih berat yang harus kita hadapi. Siapa?
Yup, benar sekali. Sebenarnya, diri kita sendiri-lah lawan yang paling berat untuk dapat kita taklukkan. Disaat hati kita ingin melakukan hal yang kita sukai, boleh jadi Allah melarangnya. Allah tidak meridhoinya. Namun di saat Allah memerintahkan untuk dikerjakan, kita malah mangkir. Ya, begitulah sifat manusia. Selain akal dan fikiran, manusia dikaruniakan hawa nafsu yang mempengaruhi setiap gerak langkahnya. Terkadang nafsu kita jauh lebih besar pengaruhnya dari akal sehat dan hati nurani. Menuruti hawa nafsu, meskipun niatnya baik terkadang menimbulkan cara yang salah dalam praktiknya. Maka, tugas kita adalah me-manage-nya agar tidak timbul sesuatu yang berlebihan dan bertentangan dengan kehendak Allah Swt.
Lalu, di manakah letak hawa nafsu itu? Tak lain ada dalam diri kita sendiri! Itulah tantangannya, jika kita berkompetisi dengan orang lain pengaruh bisa jadi dari pihak eksternal. Kita dapat merumuskan stategi perlawanan dan defence-nya dengan melihat lawan kita. Namun, jika yang harus kita lawan ternyata adalah diri kita sendiri, harusnya kita jauh lebih paham apa yang harus kita lakukan. Memang, seorang manusia tak dapat melihat tengkuknya sendiri. Namun, kita masih bisa bercermin bukan? Bercermin dengan apa dan lewat apa? Bercermin dari pengalaman, history kita sendiri untuk senantiasa jadi bahan muhasabah diri yang bagus. Kita tentu juga memiliki orang lain yang hidup di sekeliling kita, yang dapat melihat sisi kelebihan dan kekurangan kita. Masukan berharga dari mereka juga perlu kita dengar.
Hari ini saya terfikir memaknai tentang kompetisi melawan diri sendiri. Banyaknya target-target, cita-cita, impian serta planning yang kita rancang terkadang seperti bongkahan batu bata yang disusun dan lama kelamaan menjadi satu tembok besar yang menjadi penghalang dalam mencapainya. Yang benar, harusnya kerika satu batu bata kita letakkan, maka kita harus mau untuk naik ke atasnya. Terus dan terus hingga batu bata yang tersusun tinggi kitapun mampu berdiri lebih tinggi diatasnya. Menjadi pijakan yang kokoh, bukan lagi menjadi tembok penghalang.
Menulis, menghafal, membiasakan yang baik, kebanyakan diri kitalah yang harus menumbuhkan kedisiplinan. Tanpa adanya kedisiplinan dari diri, tak ada tanggung jawab. Karena, oranglain hanyalah sebagai pihak yang mendukung, mengingatkan dan memberikan kritik pada oranglain. Bukan yang membangun kepribadian dalam diri seseorang. Saya ingin memiliki kesadaran diri untuk lebih disiplin. Keraslah pada dirimu sendiri, maka dunia akan lunak padamu. Sepertinya menjadi kalimat yang harus saya ulang-ulang dan lekatkan dalam setiap perjuangan saya melawan diri sendiri. Satu halaman perhari, mulai menghafal al-Qur’an (lagi) dan membiasakan kebiasaan baik mulai dari yang paling mudah untuk di jalani adalah hal yang saya putuskan untuk jalani saat ini. Yang ingin saya jadikan modal untuk memperkokoh menuju pribadi yang lebih baik lagi. Andaikata saat ini saya belum mambu berbuat sesuatu yang besar, perubahan kecil saya adalah bukti keseriusan saya mengikuti jejak langkah orang-orang besar,dan kelak menjadi orang yang besar pula di masa yang akan datang. Wallahua’lam bi ash-shawab. (Senin, 07 Mei 2012)

Thursday, May 17, 2012

Menulis Satu Halaman Perhari, 365 Halaman Setahun. Subhanallah!

image by google


Fakta yang cukup menarik untuk direnungkan. Betapa seringnya kita beralasan untuk tidak menulis. Memulai sebuah tulisan maupun untuk menyelesaikan sebuah tulisan. Ibarat seorang pejuang, kita lantas mengibarkan bedera putih tanda menyerah. Kalah sebelum berperang. Padahal, dewasa ini sudah banyak gadget yang mendukung sebagai sarana untuk menulis. Komputer, laptop, tablet sampai handphone memiliki memori yang cukup lega untuk menulis sebuah note atau catatan. 

Apalagi didukung situs-situs semacam blog maupun jejaring sosial yang dapat kita manfaatkan untuk sharing tulisan yang kita lahirkan. Flash. Cepat dan mudah. Dengan sharing hasil pemikiran kita, akan jauh lebih bermanfaat jika orang lain dapat mengambil hikmah dari apa yang kita tulis. Pembaca juga sebagai editor sukarela untuk memperbaiki tulisan-tulisan kita selanjutnya.

Setiap hari manusia dan alam terus berubah. Begitu juga dengan tulisan. Apabila kita rutin meluangkan waktu kita untuk menulis minimal satu halaman perharinya, maka dalam satu tahun kita dapat menghasilkan tulisan sebanyak 365 halaman! Jumlah yang fantastis bermula dari satu gerakan sederhana. Tak kalah dengan satu buah novel yang tebal. Dari situ pula kita apat melihat kualitas tulisan kita dari waktu ke waktu. Kata Salim A. Fillah, jika kita mampu menertawai tulisan kita 2-3 bulan yang lalu, maka itulah indikator adanya peningkatan pada kualitas tulisan kita. So, akan sangat bermanfaat menyimpan draft tulisan-tulisan kita mulai hari ini hingga satu tahun kedepan. Ingat, ini hanya minimal. Satu halaman saja perharinya. Apapun yang mampu kita tuliskan, tulis saja!

Saya sendiri mulai menyadari ini sebagai suatu bentuk perubahan pola pikir yang selama ini membelenggu. Menulis itu berat, menulis itu butuh ide yang besar, menulis itu hanya untuk dimuat di media, parahnya lagi mengatakan saya tidak punya ide untuk menulis! Sangat beralasan dan membuang banyak kesempatan. Saran yang bagus dari salah satu penulis novel hebat, Tere Liye untuk belajar konsisten menulis seribu kata per hari. Agar kita dapat lebih akrab dengan kata-kata. Agar jemari kita makin lincah memainkan tuts keyboard. Dulu, saya masih ‘telaten’ menulis diary secara manual di kertas atau buku. Sama, satu halaman perhari. Dan saya merasa enjoy kala itu. Sampai sekarang saya suka senyum-senyum sendiri jika membaca tulisan saya, menertawainya karena bahasa yang saya gunakan saat itu sangat berbeda dengan tulisan saya hari ini. Tak apa, itulah hebatnya mengikat ilmu dengan tulisan. Suatu saat akan menjadi asset yang sangat berharga jika dapat dikembangkan.

Lewat tulisan ini, saya belajar. Belajar untuk tidak membebani diri dengan membuat rumit sesuatu yang sederhana. Namun memecah kerumitan agar lebih sederhana untuk dipahami. Sangat menyenangkan, jika melakukan sesuatu yang kita senangi tanpa beban. Tanpa paksaan. Menulis bukan hal baru yang pernah saya lakukan, tapi mengasahnya secara berkelanjutan adalah hal yang terus saya perjuangkan. Sulit tapi bisa, berat tapi inilah tantangannya. Saya ingat betul pernah merasa ciut berada diantara penulis-penulis hebat seperti mbak Afifah Afra, Ustad Salim A. Fillah, juga mbak Sinta Yudisia. Mereka semua penulis-penulis dengan jam terbang yang tinggi dan karya-karya hebatnya. Saya tak hendak sibuk memupuk ke-iri-an saja, tapi sebagai pelecut saya harus meyakinan diri bahwa saya juga pasti bisa melakukan apa yang mereka juga lakukan. Menulis. Menulis apa saja yang kita mampu bagikan. Just do it your self. Menulis satu halaman perhari, bukan pekara yang sulit. Namun yang sulit adalah mempertahankan konsistensi dalam menulis. Mari menulis, mari berkarya dengan niat anfa’uhum lin nas!Wallahu a’lam bi ash-shawab. (Sabtu, 05 Mei 2012 21:09)

Tuesday, May 15, 2012

Hidupkan energi untuk 'mulai': MENULIS


image by google


Bismilahirrahmanirrahim.

Mengawali niat untuk berbuat baik, banyak pekerjaan yang berawal dari niat hari ini, suatu saat berubah menjadi hal luar biasa yang ada dalam diri. Banyak orang mengelak tuk berbuat baik karena merasa tak pantas. Namun,siapa yang memantaskan diri tuk jadi orang baik atau tidak adalah diri kita sendiri,dengan ridho dari Allah tentunya
Maka,
Mengawali niat baik itu PERLU. Dan saya berniat MENULIS 'lagi' sebagai jalan tuk berbuat baik lalu merealisasikan hal yang benar dalam kehidupan.
Karena,hidup saya harus berubah.Saya memberi,maka saya harus memiliki sesuatu. Saya tak peduli apakah saya yakin bisa melakukan sesuatu yang besar dalam hidup saya, yang penting orang lain yakin pada apa yang saya kerjakan.
Welcome home,this is my world. Writing is my Wold.

Selalu dengan semangat,

12:01 pm
Puskom Universitas Muhammadiyah Ponorogo,
by. Khalila indriana