“Dalam ranah tulis-menulis, cerita anak adalah yang tersulit dan di
ujung ekstremnya yang termudah adalah skripsi…” (YB.
Mangunwijaya-Sastrawan Besar Indonesia)
***
Awalnya kalimat sakti ini ditiupkan oleh saudara kembar saya beberapa waktu lalu. Saya iya-iya aja mengiyakan. Alasan?
Ya, karera percaya dan yakin aja. Bahkan saudara saya menjadikan ini
sebagai motonya dalam mengerjakan skripsi. Bekerja? Bisa jadi. Saat ini
semua kata dan pernyataan yang merujuk bahwa dalam menyusun skripsi itu
mudah, gak pakai ribet, dibikin enjoy aja, gampang, kerjakan aja, dan
dan dan... seterusnya bakal meghiasi benak dan sanubari saya dalam
menghadapi semester cantik aduhai ini. Entah ini karena ingin mensugesti
diri sendiri, meyakinkan kemampuan diri, menyemangati diri sendiri,
menghibur diri *abaikan yang terakhir, tolong. Skripsi bukanlah
penderitaan, tapi bagian dari perjalanan menempuh pendidikan formal.
Yah.. itu... juga yang bikin saya berkata yak...bisa jadi, bisa jadi.
Biar ada yang nyela dan bikin orang bilang 'sekate-kate aje lu', mari
tetap kalem aja dan lanjut ke bab berikutnya.
Ketika mengingat obrolan sore saya kermarin dengan saudari kembar saya, bahwa ukuran
kesuksesan menempuh pendidikan formal hingga tingkat yang tertinggi
dalam hidupmu adalah ketika engkau menyadari begitu banyak hal yang
belum engkau ketahui. Maka selanjutnya, selamat menempuh universitas
kehidupan nyata. Tapi, tugas
dan kewajiban orang tua itu menanamkan aqidah dan keimanan. Rejeki juga
sudah dijamin Allah. Pendidikan tinggi itu untuk membuat anak anak lebih
bijaksana dalam bersikap (Budi Oeding). Saya meyakini keduanya ada benarnya.
Kemudian,
tiba-tiba saja terlintas potongan pesan dosen saya di semester enam
kemaren yang mengingatkan bahwa salah satu fungsi kita berkuliah strata
satu adalah mengajak kita untuk berpikir runtut, menjalani segala
sesuatu tahap demi tahap, dari A ke Z, semua harus melewati proses.
Tidak asal menjalani dengan urutan yang sesuai, alias loncat batu eh
loncat-loncat maksudnya. Kata orang bijak, orang SukSes itu Suka proSes.
Bukan Suka protes. Juga jangan ngeles melulu kayak bajaj.
Alhamdulillah,
sampai tanggal baru di bulan baru ini proposal belum kelar. Mungkin
sedikit terlambat. Tapi, apalah arti terlambat jika kita isi dengan
penyesalan. Jika nasi jadi bubur, kita hidangkan saja jadi bubur yang
lezat. Bubur ayam, misalnya. *jadi laper pengen sarapan bubur. Itu baru
kreatif.
Mungkin banyak yang bertanya-tanya (apa gak ada? semoga ada ya, minimal yang sering baca tulisan saya, hehe). Ngarep.
Saya kemana aja? Saya di rumah.
Ngapain aja? Wara-wiri ngerjain skripsi dan tetap mengurus bisnis. Lebih banyak waktu buat keluarga, maklum pas sekolah dan kuliah kayak indekos gak pernah banyak waktu buat keluarga dan urus rumah.
Masih aktif nulis? Alhamdulillah, semakin jarang *ini penyakit yang paling sering kambuh sepanjang usia: malas.
Trus, tambah gimana? Pertanyaan yang sering muncul. Tambah
tembem, mungkin. Tapi, sejauh ini baik-baik saja dengan urusan
kesehatan. Paling begadangnya mulai kumat lagi *bukan karena skripsi ya.
Oh ya, lagi seneng muter lagu korea nih. Play list-nya album EXO-MAMA dan XOXO. Hiburan, hiburan. Juga lagi tertarik liat NET. Saluran tipi baru itu, kayaknya lumayan.
Sekian
basa-basi saya ditengah pengerjaan skripsi ini. Buat yang baca, doain
saya ya. Buat nambah semangat, katanya silaturahim bisa jadi charger power
untuk kita. Saya target lulus tahun depan, sidang setelah KKN bulan
Februari dan Wisuda bulan Mei. #Semoga. Pengen nulis note ini buat
pengingat saya aja. Jadi, sebagai antibodi agar saya terhindar
terjangkit virus malas.
Karena saya berkeyakinan, tidak ada sesuatu yang tidak selesai. Karena memulai adalah langkah pertama untuk menuju akhir. Itu visi.
Hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa..
-5cm
Showing posts with label ekonomi. Show all posts
Showing posts with label ekonomi. Show all posts
Monday, September 30, 2013
Saturday, April 6, 2013
Makna Satu Kata #4 Alur: Perjalanan Kangkung
Pagi menjelang Dhuha. Matahari mulai tinggi. Berdua bersama
ibu saya beringsut pergi ke pasar. Niatnya membeli beberapa ekor ikan nila
segar untuk digoreng, lauk sarapan pagi ini. Wah, asik juga. Lumayan lama tidak
jalan ka pasar pagi bersama ibu. Meski jaraknya cukup dekat di tengah kota, sekitar
15 menit dari rumah dengan mengendarai motor. Akhir pekan paling enak
dihabiskan di rumah saja, masak-masak dan makan enak sama keluarga. Maklum, hari-hari
biasa sebelum ke kampus suka tidak keburu sarapan bersama (bandel). Maka dari
itu, kemarin malam kami membuat rencana masak ikan goreng favorit keluarga. Oh
ya, jangan lupa masak juga cah kangkung dan sambal sebagai pelengkap.
Mari berburu ikan!
Sudah ada langganan ikan di pasar pagi, ikannya lumayan
lengkap di sana. Meluncurlah kami dengan santai menuju TKP. Lhoh? Mas-mas pedagang
ikannya mana? Celingukan kita jadinya. Ooh, ternyata lokasinya pindah agak ke
selatan di ruas kiri jalan. Singkat cerita tidak pakai lama, terpilihlah 9
ikan-ikan nila gendut seberat 1,5 kg. Sekilonya kena 20 ribu rupiah. Itupun sudah
ditawar dari harga awal 22 ribu rupiah. Lumayan, sisa uangnya buat bakal beli
kangkung nanti di seberang jalan. Begitulah wanita dalam hal tawar-menawar.
Meski terkadang harus ngotot-ngototan dengan si penjual, harga turun seribu dua
ribu sudah senang minta ampun. Dalam teori ekonomi, potongan harga selalu
memberi efek lebih kaya bagi pembeli. Ibuku memberi sedikit petunjuk cara
memilih ikan. Pegang bagian dada ikan, cari yang masih kencang dan tidak
lembek. Jadi, ikan yang kita pilih dipastikan dalam kondisi segar bugar sehat
wal’afiat. Nah lo, bukannya itu ikan mati ya? Hehe..
Lanjut jalan ke los pedagang sayur-mayur. Karena ini pasar,
barang tentu kita harus menentukan jenis sayur apa yang hendak kita beli. Biar
tidak putar-putar, nanti malah tidak dapat yang dibutuhkan. Karena kita mau
beli kangkung, kita ke pedagang kangkung. Meski ia juga menjual terong,
alangkah lebih bijak kita tetap fokus membeli kangkung. Biar tidak jadi cah
terong. Halah!
Nah, itu dia kangkungnya. Digelar oleh seorang ibu-ibu yang
cukup renta. Kelelahan nampak jelas di kerut wajahnya. Sepagi dan setua itu, ia
masih berjualan di pasar. Setia dengan dagangan sayurannya. Tapi, nampaknya ia
terlelap cukup pulas.
“Buk, kangkungnya berapa buk?” tanya ibuku.
Masih belum menyahut. Ibuku menyenggol bahu si ibuk yang
tengah asyik dengan mimpinya. Si ibu terbangun dan menyadari kehadiran dua
sosok di depannya. Setengah tergagap ia berusaha mengingat harga kangkungnya.
“Lima ratus, satu ikat,” jawabnya pelan.
“Seribu tiga nggih?”
ibuku mencoba jurus menawarnya.
“Mboten tawi buk,-tidak
menawarkan. Kalo pedagang keliling jualnya sudah tujuh ratus lima puluh rupiah.”
Si ibu melakukan pertahanan, dengan sedikit pembelaan. Iyakah? Batinku.
“Seribu tiga kalau boleh,” mulai minta kepastian.
“Dereng angsal,Bu -belum
boleh,Bu.” Kekeuh juga ni ibu yang jualan.
Ibuku jalan lagi. Coba cari pedagang kangkung tiga meter di
sebelahnya. Ternyata sama saja. Harganya lima ratus perak juga seikat. Eh,
waktu ditawar malah ditunjukin
kangkung yang kualitasnya lebih buruk. Layu-layu, padahal yang ditawar ibuku
juga tidak seberapa segar dari yang tadi. Urung, akhirnya ibuku memutuskan
untuk membeli di pedagang kangkung yang pertama ia tawar.
“Sama-sama lima ratusnya, pilih yang sana aja. Lebih segar-segar.
Heran, masa kangkung di rumah sama di pasar harganya sama,” geleng-geleng.
Ya, maklumlah bu. Mungkin karena kita end user kali ya. Jadi harganya ya di kasih segitu-gitu saja. Akhirnya
tiga ikat kangkung seharga seribu lumaratus rupiah jadi kami bawa pulang
bersama ikan-ikan yang lebih dulu kami beli. Lumayan. Namun yang paling
menyenangkan adalah momen tawar-menawar di pasar, memang selalu sayang tuk di
lewatkan.
***
Ada yang menarik bagi saya, menyadari bahwa harga-harga
sayuran semisal seikat kangkung tadi ternyata tak lebih mahal dari harga
sebotol air mineral yang biasa saya beli di kampus. Seharga sekali parkir di
swalayan dan lebih murah daripada ngasih pengamen yang lewat depan rumah. Iya,
soalnya di tempat saya, pengamen suka melengos sih kalo dikasih koin lima ratusan.
Minimal serbu baru bilang terimakasih mbak. Kalau dibawa ke pasar, masih dapat
seikat kangkung segar ternyata saudara.
Padahal, jika kita runtut lagi asal muasal si kangkung
tentunya telah melalui proses perjalanan panjang sampai akhirnya tersaji di
meja makan. Kita telusur mundur ya. Dari meja makan, sebelum dimasak kita membelinya
dari pedagang di pasar. Pedagang pasar dari tengkulak besar, tengkulak besar
dari pengumpul, pengumpul dari petani. Nah, petani kan butuh menanam. Menanam
awalnya dari benih, benih ditunggu empat sampai enam minggu baru bisa panen!
Belum lagi letak ia ditanam jauh dari pasar, perlu berapa lama lagi agar si
kangkung sampai ke tangan konsumen akhir seperti saya.
Kita? Cukup datang kepasar bawa uang lima ratus rupiah saja
bisa membawa pulang seikat kangkung, memasaknya lalu menikmati sepiring cah
kangkung yang lezat. Membayangkannya, saya jadi ternganga. Betapa panjang perjalanan
si kangkung. Maka, hanya dapat berucap syukur. Membuat kita sadar agar lebih
banyak bersyukur. Terima kasih banyak kepada para petani karena kita tidak
perlu capek-capek menanam. Terimakasih bagi para distributor karena kita tidak
perlu capek-capek mengangkut. Dan terimakasih kepada para pedagang pasar yang
sediakan kangkung untuk kita. Apalagi jika kita membelinya pada tukang sayur
keliling. Tidak perlu capek-capek ke pasar. Banyak sekali yang harus kita
syukuri. Maka, nikmat Tuhan manakah yang patut kita dustakan?
Allah membentangkan bumi yang luas. Menurunkan hujan dan
menumbuhkan tumbuhan juga buah-buahan. Dari sayuran di kebun sampai ikan di
laut, kita tidak lantas harus mengambilnya sendiri untuk dapat menikmati.
Karena sejatinya rezeki dari-Nya itu apa-apa yang telah sampai ke perut dan
melewati kerongkongan kita. Kita dikaruniai harta tidak untuk dimiliki, itu hanya
karena kita diizinkan untuk dapat menggunakannya. Karena segalanya hanyalah
milik Allah semata.
Perjalanan si kangkung dari petani sampai kita, sejatinya
memberi makna. Segala sesuatu ada alurnya. Disetiap alur ada yang mengaturnya.
Ingat, tak sehelaipun daun jatuh tanpa sepengetahuan-Nya. Tinggal sikap kita,
masih mengeluh kekurangan atau mensyukuri segala yang ada. Bahkan dari hal-hal
yang paling sederhana.
Ah, cah kangkung lezat pelengkap ikan goreng tadi pagi.
Memberikan cerita yang lain untuk tulisanku hari ini.
-khalilaindriana,2013
100 hari penuh inspirasi
Tuesday, October 30, 2012
Fast Forward
Pernahkah anda menekan tombol fast forward pada remote televisi atau DVD, ketika anda menonton film? Mengapa? Karena penasaran endingnya, atau karena anda tidak ingin acara nonton film anda berakhir sia2 karena tidak mengerti apa yang anda tonton? Mungkin anda yang tidak setuju dengan saya akan membantah dan akan mengatakan itu acara nonton yang tidak seru. Namun, apakah anda pernah membayangkan untuk iseng-iseng menekan tombol fast forward kehidupan anda? Tidak penasarankah bagaimana kehidupan Anda 10 sampai dengan 20 tahun kedepan? Atau barangkali hingga usia 70 tahun mendatang? Setahu saya, ada orang yang berhasil merencanakan tiap detil impian dalam hidupnya dan menuangkannya dalam sebuah proposal hidup dan timeline yang jelas. Bu Marwah Daud Ibrahim sepertinya sudah. Lalu, sudahkah anda melakukannya? Jujur saja: saya belum!
Saya bukan manusia yang tidak punya impian sama sekali. Banyak, tapi masih berputar-putar dalam otak. Juga masih jarang menuliskannya. Timeline impian dan apa saja target pencapaian dalam hidup saya belum tergambar secara rinci dan apik untuk sekedar di baca sendiri. Jika proposal hidup saya ajukan, sepertinya akan langsung dikembalikan. REVISI! tidak jelas. :D
Mungkin beberapa saja yang pernah saya tuliskan sacara jelas dan detail sekali. Dan kesemuanya impian jangka pendek, yang Alhamdulillah sebagian besar Allah berkenan mengabulkan. Sebagian besar terealisasi dengan eksekusi yang aduhai. Bukan masalah hasil akhirnya. Tapi, prosesnya! Pernah dengar kan, jika Allah tidak memberi apa yang kita minta, maka itulah yang terbaik bagi kita? Sudah, tidak usah bertanya, Anda harus mengalaminya sendiri untuk mempercayainya. :-)
Fast forward yang pernah saya tulis adalah saat saya belum masuk kuliah. Selepas SMA saya libur panjang dan punya banyak waktu untuk menulis,apa saja. Saya saja sampai bisa menertawai tulisan saya kala itu, berarti ada kemajuan. Saya sempat menulis diary yang bertanggal, kira-kira saat saya sudah masuk kuliah. Maklum, saat itu saya bercita2 sederhana. Ingin masuk kuliah, titik. Motivasi saya, meski banyak yang bilang pendidikan tidak penting namun saya bertekad untuk memasuki lembah bernama universitas itu untuk belajar lagi. Berbekal keyakinan, insyaAllah banyak kesempatan yang bisa saya raih ketika di sana. Dan apa yang saya tulis menjadi nyata. meski tidak seratus persen, saya yakin ini yang terbaik.
Kembali saya diingatkan untuk segera dan harus sesegera mungkin bergegas menyelesaikan proposal hidup saya! Most people don't plan to fail. they just fail to plan. And I won't do it in my life! Saya harus berhasil, minimal merencanakan grand design hidup saya sendiri. Iya, saya tahu. Dari tadi batin kalian berontak. Bilan bahwa kita merencanakan, Allah yang menentukan. Tapi, jika kita tak menjalankan apapun yang kita rencanakan.... Allah akan tetap menentukan. Bedanya apa? Kabar baiknya bahwa nasib masih dapat dirubah. Salah satunya dengan ikhtiar, untuk tidak gagal merencanakan hidup apa yang ingin kita jalani.
Saya beri contoh ya. Impian sederhana, jangka pendek saya adalah menulis minimal 100 postingan di blog sampai akhir tahun 2012. Impian jangka panjang, dari sinilah awal saya akan menulis ratusan judul buku. Sampai nanti saya tidak sanggup lagi menulis karena penyakit yang tidak ada obatnya, tua dan pikun. Amin.
Sebaik apapun rancangan yang kita buat, takkan ada nilainya jika kita sendiri tidak bersiap untuk berubah.
So, sudah siap menekan tombol fast forward hidup anda sekarang? Siapkan pena, tulis segera!
"Jika anda sedang bekerja keras, tetapi tidak untuk memburu impian Anda sendiri, kemungkinan besar Anda sedang bekerja keras untuk mewujudkan impian oang lain." (Anonim)
Selamat merancang!
P.S. Beberapa hari kedepan saya UTS, saya hanya akan mengingat, rupiah terakhir yang saya bayar hari ini akan terbayar mahal dikemudian hari. :)
@khalilaindriana
Okt, 30 2012
23:28
Label:
blog,
ekonomi,
fast forward,
hidup,
khalila indriana,
notes,
penggagas,
proposal,
rencana,
semangat,
usia
Wednesday, October 24, 2012
Efek Domino (Repost Ponorogo Pos,Maret 2013)
Bismillah...
Efek
domino.
Pernah dengar istilah di atas? Istilah 'efek domino' diambil dari
analogi permainan domino itu sendiri. Dimana ketika domino itu jatuh kearah
barisan domino selanjutnya, semuanya akan jatuh terus menerus sampai akhirnya
tak satupun domino itu berdiri. Definisi dari analogi tersebut adalah
penyebaran suatu perubahan yang secara terus menerus dalam bentuk reaksi
berantai sampai masalah itu dapat dihentikan.
Oke, saya tidak akan membahas permainan domino.
Tetapi, dari analogi tersebut akan lebih menarik jika dikaitkan dengan
kehidupan kita sehari-hari. Apapun aktifitas yang tengah kita geluti, semuanya
takkan lepas dari keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Katakanlah,
adakah hubungannya antara mandi pagi dan kambing congek? Tentu saja ada. Kalau
anda tidak mandi dan berani berdekat-dekatan dengan orang lain, minimal orang
yang kita dekati akan kebauan dan biilang bahwa bau badan anda mirip kambing
congek. Ah, ini hanya asal kepikiran saja kok menulisnya. Bukan pengalaman
pribadi. :D
Maksudnya, jika kita lalai atau sering
menggampangkan suatu urusan maka hal tersebut dapat menjadi masalah besar
dilain hari. Meski itu sepele, hal-hal kecil dan tidak penting bagi kita.
Katakanlah ada sederet agenda yang harus kita jalani, rangkaian agenda tersebut
telah kita susun dengan rapi. Satu kali saja kita lalai, ibarat balok domino
yang anda sentil maka merembetlah ke deretan balok domino selanjutnya. Semuanya
jatuh, ambruk. Entah berapa kerugian yang harus ditanggung hingga kita dapat
menghentikannya.
Kita sering shalat tidak tepat waktu. Ya,
karena hal yang paling mudah dilakukan manusia adalah menunda-nunda shalat.
Dikasih waktu yang longgar sekalipun belum tentu akan bersegera. Makanya,
shalatlah tepat pada waktunya (YANG UTAMA, INI JELAS-JELAS ADALAH PERINGATAN
UNTUK DIRI SAYA SENDIRI!). Shalat itu ibadah yang rutin, yang wajib sehari lima
kali. Cukuplah untuk membina kebiasaan dengan sebuah rutinitas. Harusnya, bukan
lagi hanya suatu rutinitas melainkan kebutuhan. Ya, semuanya berawal dari
shalat.
Lalu, apakah hikmah dari efek domino hanya
perkara kejatuhan pada hal-hal yang buruk saja? Mari memaknainya dengan
definisi yang lain. Misalnya, kita ingin berpartisipasi dalam membangun
peekonomian umat. Kalau menunggu anda menjadi menteri perekonomian, sepertinya
kejauhan ya. Ambil saja contoh tentang penerapan ilmu distribusi rezeki. Satu
hal yang sepele memang, katakanlah yang anda miliki hanyalah uang 1000 rupiah. Bagaimana
caranya dengan potensi itu ikut membangun perekonomian umat?
Caranya, carilah pedagang keliling (asongan)
yang berjualan permen atau tissue. Meskipun anda sedang tidak ingin mengemut
permen atau makan tissue (eh?), belilah produk mereka. Penting tidak penting, kita
sudah menjadi ‘orang penting’ bagi mereka. Si pedagang menerima uang, dapat
mengambil laba dan tentu saja akan berpengaruh pada pendapatannya hari itu.
Lalu ia membeli beras, di pedagang beras dapat mengulak dagangannya kembali dan
seterusnya hingga laporan PDB negara ini meningkat. Pendapatan perkapita
meningkat, ekonomipun tergerak. Hebat kan? Itulah penerapan efek domino lain
yang saya maksud. Satu tindakan yang efektif dan terarah akan menduduki peranan
yang besar lewat proses akumulasi.
Milikilah prinsip, satu kebaikan akan membawa
kebaikan lain. Bangunlah balok domino-mu dengan berbagai kebaikan. Agar kelak
jika harus jatuh, yang merembet itu semua adalah kebaikan. Kebaikan yang
menular, itu bagus!
Selamat belajar!
kalau belum bisa wukuf, kita puasa arafah yuk!
J
@khalilaindriana
Oktober, 25st 2012
6:14
Subscribe to:
Posts (Atom)