Berbicara tentang pagar, saya
pernah dicurhati seorang teman yang sedang kebingungan mengenai
rencananya memagar rumah. Ia masih ragu karena menurut pengakuannya, selama ini
rumahnya tersebut sering didatangi banyak orang. Mulai dari yang sekedar mampir
hingga yang sengaja datang untuk bemain. Maklum, pengusaha playstation. Ia takut jika ia memagari rumahnya, orang-orang jadi
sungkan untuk datang kerumahnya. Ia memang lebih senang rumahnya ramai
dikunjungi orang karena baginya itu adalah berkah. Iya juga ya, memangnya kalau
punya rumah yang pagarnya tinggi sekali itu sudah jaminan hidup nyaman dan
tenteram? Terkadang malah menjauhkan kita dari tetangga. Pagar yang tinggi
menjulang malah kerap mengundang maling yang penasaran dengan isi rumah di baliknya.
Eh, kenapa juga jadi bicara tentang pagar?
Hidup di perkampungan yang
dinamis, memberi kenyamanan tersendiri. Banyaknya pedagang keliling yang lewat
depan rumah, membuat kita merasa terfasilitasi dalam memenuhi berbagai
kebutuhan sehari-hari. Kita tidak perlu repot-repot pergi kemanapun, para
pedagang siap sedia menghadirkan dagangannya sampai kepada kita. Mereka yang
menawarkan dagangannya sering membuat trik sederhana untuk memanggil
pelanggannya. Ada yang memakai sistem waktu sehingga ia hanya akan lewat pada
jam-jam tertentu. Mereka akan mengulanginya setiap hari pada jam itu. Maka,
pembeli akan hafal dengan sendirinya.
Ada juga yang menggunakan
bunyi-bunyian menggunakan alat maupun suara mereka sendiri. Contohnya, tik-tok-tik-tok adalah tanda pedagang
bakso yang lewat. Beda pedagang bakso akan lain lagi bunyinya. Serius. Pedagang
sayur akan teriak, ”Sayur..sayur!”. Tapi
rupanya, sekarang pedagang sayur berbunyi klakson karena gerobaknya dibawa pakai
motor. Kalau pagi ada pedagang ikan bandeng tulang lunak, iapun berteriak dengan
lantang, “Bandeng preesstooooo.....” Kalau
seperti pedagang eskrim yang punya brand
dan menyetel kaset sesuai jigle produknya, memang sudah tidak asing bagi kita. Ada
lagi yang spesial adalah pedagang ‘harum manis’ yang sangat langka dan unik.
Langka sebab yang jual hanya ada dua orang yaitu seorang bapak-bapak dan
anaknya. Merek berjualan produk yan sama tapi beda rute. Unik karena ia memakai
alat musik mirip sasando rote membawakan lagu yang khas pula. Sering merindukan
mereka lewat depan rumah karena sebulan sekalipun belum tentu mereka lewat
lagi. Sepertinya pernah diliput acara “Orang Pinggiran” di salah satu stasiun
TV swasta.
Selain makanan, penjual jasa juga
tak kalah aktif menawarkan jasanya. Tukang sol sepatu, tukang jahit kasur,
tukang tambal panci, tukang cap sendok-cap piring, dan tukang-tukang yang lain.
Dalam perjalannya, pengumpul barang bekas alias rongsokan juga makin kreatif
saja. Mereka berkeliling menggunakan mobil pick-up
dan speker toa. Siap berteriak, “Rosok...rosok..rosok,”
melenggang dengan santainya. Keren juga ya
naik mobil, padahal yang dicari barang bekas lho.
Nah, intinya tiap pedagang
keliling baik yang menjual barang kebutuhan maupun jasa masing-masing memiliki
cara untuk meraih simpati calon pembelinya. Mereka secara kreatif memberikan
semacam kode kepada kita agar menyadari kehadirannya. Kita dapat menangkap
sinyal yang mereka pancarkan dan meresponnya. Akhirnya kita tertarik, kemudian
membeli dagangannya. Pengulangan penawaran yang bersifat kontinyu dan konsisten
akan membentuk pola hingga membuat kita rela menjadi pelanggan. Tapi, semua itu
tidak terlepas dari kesadaran kita akan kebutuhan. Kalau kita tidak butuh,
besar kemungkinan kita tidak akan merespon sinyal panggilan itu meskipun sudah berada
tepat di hadapan kita.
Sekilas, saya menangkap makna
yang berharga. Begitu pula kita sebagai seorang muslim, Allah memiliki
panggilan sayang terbaik pada kita untuk bertemu dengan-Nya. Lewat suara adzan
yang merdu, lewat lantunan ayat suci yang indah, lewat ajakan-ajakan ke majelis
ilmu dan berbagai kebaikan lainnya. Selayaknya kita mendatangi suatu kebaikan
dengan segera. Syaratnya, bukan hanya karena kewajiban namun juga karena kita
butuh.
Ingat, ketika kita mendatangi
Allah dengan berjalan maka Ia akan mendekati kita dengan berlari.
Khalila Indriana, 2013.
100 hari penuh inspirasi
No comments:
Post a Comment