Apa itu
malu?
Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), mengartikan ‘malu’ sebagai merasa sangat tidak enak,
hina, dan rendah karena berbuat sesuatu yang kurang baik atau kurang benar. Sementara
itu, definisi ‘malu’ menurut Imam An-Nawawi adalah akhlak mulia yang akan
mendorong seseorang untuk meninggalkan keburukan dan mencegahnya dari
melalaikan hak para pemiliknya.
Dalam
perspektif Islam, malu merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh
seorang muslim. Bahkan dalam beberapa hadits disebutkan bahwa malu adalah
sebagian dari iman. Bagaikan dua sisi yang tak terpisahkan. Di mana jika tiada
malu pada diri seseorang maka tidak sempurnanya pula imannya.
“Iman
itu bercabang tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih, yang paling utama adalah
kalimat la illaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan
rintangan dari jalan, dan malu termasuk cabang dari iman.” (HR.
Bukhari & Muslim)
Menempatkan malu di kehidupan
akan memberikan benteng pada kita dalam setiap keputusan untuk bertindak. Kita
tidak akan berbuat sesuka hati tanpa mengindahkan aturan, hukum, syariat dan
segala hal yang menjadi batasan. Akan ada sanksi sosial maupun hukum dari Tuhan
apabila seseorang tidak mengindahkan adanya rasa malu ketika melakukan perbuatan
yang kurang baik. Orang yang merasa malu cenderung bersikap menarik diri dari
orang-orang di sekitarnya, karena takut dicemooh atau karena tidak siap
menghadapi respon yang timbul setelahnya.
Ibnul Qayyim
rahimahullah mengatakan, “Al-Hayaa’ (malu) merupakan pecahan dari kata
al-Hayaat (hidup). Hal ini karena sesuai dengan hidupnya hati seseorang yang
mendorong untuk berperangai dengan sifat malu. Sedikitnya rasa malu merupakan
tanda matinya hati dan ruh. Maka apabila hati itu hidup, rasa malunya akan
lebih sempurna.”
Jadi,
jelaslah sudah. Malu merupakan sifat yang harus dimanajemenkan dengan baik agar
ia menjadi sifat yang terpuji. Agar ia dapat menjadi pengendali amal baik. Kita
perlu membenamkan perasaan malu pada Allah ketika berbuat maksiat. Malu pada
Allah yang Maha Melihat. Malu jika suatu saat rekaman video kemaksiatan kita di
dunia diputar dengan gamblang tanpa tedeng aling-aling di hari pembalasan. Na’udzubillahi min dzaalik.
Namun,
dewasa ini malu tidak lagi terbatas pada malu berbuat keburukan. Ada hal yang
menurut saya lebih memalukan darpada sekedar berbuat keburukan. Yakni malu untuk
melakukan perbuatan baik. Mengapa? Malu dianggap baik, malu dianggap sok
pintar, malu dianggap alim, serba malu pada anggapan manusia. Malu pada
pandangan positif yang tertuju pada kita. Sehingga seringkali kita ragu-ragu dalam berbuat kebaikan. Nanggung, tidak total. Malu berbuat baik
menjadi penghalang terbesar untuk menebar kebaikan. Sering saya mendengar, “Saya
begini sajalah, lebih baik berbuat buruk tapi niatnya baik, daripada berbuat
baik niatnya buruk”. Nah, belum apa-apa sudah berprasangka buruk pada orang
yang berbuat baik. Sejatinya, niat dan amal memang harus benar. Selaraskan
antara niat dan realisasi perbuatan.
Terkadang,
berbuat baik memang harus ‘nampak’ secara nyata. Karena di tengah hiruk-pikuk
kehidupan dunia yang penuh hal negatif saat ini, sangat dibutuhkan contoh
konkrit apa dan bagaimana perbuatan baik itu dilakukan. Bukan, bukan untuk
membanggakan diri. Bukan untuk sekedar pameran. Hanya saja, masyarakat harus
lebih banyak porsi asupan contoh kegiatan positif. Teladan untuk berbuat baik.
Harus lebih banyak orang yang tidak malu untuk menyatakan diri dia berbuat
baik. Palagi untuk saling menasehati
dalam kebaikan.
Taruhlah malu
pada tempatnya. Saat ini, orang yang berbuat maksiat saja santai dan percaya
diri pada keburukannya. Jadi, mengapa kita harus malu untuk mengaku berbuat
baik dan saling menasehati dalam kebaikan?
Khalila
Indriana, 2013.
100 hari
penuh inspirasi
No comments:
Post a Comment