Dahulu, sewaktu sekolah menengah atas, saya pernah memiliki
benda kesayangan. Sebuah jam tangan bulat metalik dengan bahan karet warna biru
dongker pada tali pergelangannya. Angkanya bisa menyala jika dipencet tombol
pada sisinya. Agak norak, ya? Jam itu sebenarnya pemberian dari kakak tertua
saya, karena hingga saat ini saya sendiri belum pernah membeli jam tangan sendiri.
Entah kenapa saya sangat suka dan merasa nyaman memakainya. Kemanapun, terutama
saat pergi ke sekolah dan keluar rumah.
Suatu hari, saya dan keluarga dalam perjalanan pulang dari
kota Sidoarjo. Mengunjungi saudara, adik dari ayah yang berdomisili di sana.
Waktu itu sudah larut malam kami tiba di terminal Seloaji, kota Ponorogo.
Karena kondisi badan yang lelah, setengah terkantuk-kantuk saya turun dari bus
yang masih menyala. Maklum, mereka tidak ngetem
terlalu lama. Tetapi langsung melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya. Karena
barang bawaan saya cukup banyak saya luput meneliti satu persatu barang bawaan
saya. Setelah turun dan berjalan beberapa meter, barulah saya tersadar. Deg! Jam
tangan saya mana?
Saya raba di pergelangan tangan kanan-kiri dan di saku. Tapi
tidak juga ketemu. Karena saya yakin tadi waktu naik masih saya pakai. Setengah
mengingat, saya teringat waktu di perjalanan saya sempat melepas jam tersebut
dan menaruhnya di pangkuan saya. Sebelum akhirnya tertidur pulas sampai
terminal ini. Yah, pastilah itu terjatuh saat saya berdiri dan mengurus bawaan
yang lain. Saya celingukan mencari bus yang tadi saya tumpangi. Dan lutut
sayapun lemas, melihat punggung bus yang melaju keluar gerbang terminal. Seolah
mengatakan, “Selamat tinggal, sudah...
ikhlaskan saja jam tangannnya.” *nangis
***
Begitulah. Kita baru benar-benar merasa memiliki setelah
kehilangan. Pada apapun yang kita akui sebagai milik kita. Ada perasaan hampa,
kecewa dan sedih saat kehilangan sesuatu atau ditinggalkan seseorang dalam
fase-fase hidup kita. Belajar dari semua itu, hanya ada dua kemungkinan yang
saya yakini. Segala yang datang akan pergi, yang kita miliki akan hilang.
Konsep kepemilikan di dunia ini sebenarnya sederhana. Segala
seuatu yang diciptakan oleh Sang Maha Pencipta adalah milik-Nya. Semuanya,
termasuk diri kita. Sedangkan kita hanya diizinkan untuk memanfaatkan apa yang
Ia ciptakan untuk memenuhi kebutuhan kita, mempermudah kita dalam menjalani
kehidupan ini. Jadi, ketika manusia banting tulang mencari penghidupan, harta
dan seterusnya harus tetap memegang prinsip bahwa ada yang lebih Maha Kuasa.
Kita berusaha mendapatkan semua itu untuk menjalankan peran kita sebagai khalifah fil-ardh, menuju kehidupan yang
maslahah dan bermanfaat. Bukan untuk menguasai dunia, menumpuk harta kemudian
berperilaku sombong atas segala yang kita raih.
Dunia ini ibarat numpang minum, katanya. Sebagai ladang
beramal dan beribadah sebagai bekal kelak di akhirat. Ibarat jembatan yang
melayang, menyeberang untuk sampai ke negeri akhirat. Maka sepertinya tidak
bijak membangun istana di atas jembatan. Karena pada masanya ia akan hancur tak
bersisa. Selagi di dunia, jangan hanya kita gunakan untuk menumpuk harta. Tapi,
bagaimana kita dapat mencapai syurga dengan harta yang kita ‘diizinkan’
memanfaatkannya dan membawa keberkahan.
Entah berapa banyak kasus orang-orang yang kehilangan lalu
kecewa, depresi, bunuh diri dan seterusnya karena ia terlalu mencintai apa yang
mereka miliki. Maka, mengambil pelajaran dari itu semua, mari memaknai apa yang
berada di sekitar kita secara wajar dan bijak. Terutama yang selama ini kita
terlalu mengagungkan karena status kepemilikan tadi.
Ada sebuah cerita dari seorang teman. Ia menceritakan
tentang kisah kemurahan hati seorang wanita yang apabila suatu benda yang ada
pada dirinya (terutama yang ia sayangi) dipuji atau ada yang berkenan
memilikinya ia dengan rela hati melepas dan memberikannya pada orang tersebut.
Luar biasa. Bukan apa-apa, mungkin saja memang pemahamannya tentang konsep
memberi adalah barang yang kita cintai bukan yang kita melihatnya saja tidak
sudi. Wallahua’lam. Semoga kita meneladani yang baik-baik dan dapat mengambil
pelajaran.
Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Segalanya hanya milik
Allah dan kepada-Nyalah kita kembali.
-Khalilaindiana, 2013.
100 hari penuh inspirasi
NICE NOTE, menjadi pengingat bagi diri ini ^^
ReplyDeletesebuah teladan yang sangat indah.
dinda, teman firsty :)
Terimakasih Dinda... enjoy your visit... :)
Deleteterimakasih atas tulisan - tulisannya. menantikan tulisan Khalila selanjutnya ^^
ReplyDeleteSip.. insyaAllah... satu hari satu tulisan sampai 100 hari kedepan... :)
Deleteterimaksi atas karyanya....
ReplyDeletesemoga Yang Maha Pemberi menganugerahi kepada kita semua agar menjadi hamba yang takwa