Khalila Butik Hijab Syar'i

Friday, May 31, 2013

Makna Satu Kata #30 JAMAAH: Membeli Kedelai

Tulisan ini lahir berangkat dari ceramah seorang ustadz bernama Ustadz Abdurrohim, dalam sebuah acara pengajian 'peringatan Isra' Mi'raj' di masjid kampungku. Tak seperti biasa, acara malam ini disambut meriah oleh hujan lebat yang ikut hadir, Bersama-sama rombongan jamaah masjid yang tak kalah semangat menembus rinai hujan. Acara berlangsung riuh di serambi masjid. Kontan dingin terasa menusuk kulit, menembus seperti hendak membekukan arteri.

Sang Ustadz yang tampak santai, sudah diwanti-wanti oleh ketua takmir. Agar beliau menyampaikan isi ceramah dengan bahasa yang 'merakyat' alias mudah dicerna jamaah. "Bahasanya jangan tinggi-tinggi, nanti malah tidak paham." Mungkin pengalaman dari ceramah acara sebelumnya, seingat saya memang bahasanya tingkat tinggi. Alhasil, jamaah pun tak bisa mengelak lebih menuruti kantuknya, tidur berjamaah saat pengajian berlangsung.

Satu poin saja yang paling saya ingat, dan paling menarik yang ingin saya utarakan. Yaitu saat si ustadz menjelaskan analogi tentang shalat berjamaah. Shalat berjamaah itu, ibarat kita membeli kedelai. Belinya pasti ombyokkan alias kiloan, langsung banyak. Jika dalam satu kilo ada yang krewek alias boncel eh, apa ya bahasanya... kedelainya kualitasnya kurang bagus maksud saya. Maka, tetap saja kedelai itu akan ikut 'terbeli' karena kita belinya tidak perbiji.

Begitu pula dengan shalat berjamaah. Meski makmum dalam shaf shalat berjamaah tersebut ada yang kewek alias tidak khusyuk shalatnya tetapi jika imamnya saja sudah khusyuk, maka malaikat tetap mencatat seluruhnya dengan status "KHUSYUK". Asyik kan? Itu ustadznya lho yang bilang. tapi, bukan berarti kita bisa seenaknya dalam shalat ya? Kita kan hanya dianjurkan untuk selalu berusaha khusyuk dalam shalat kita. Terlebih, yang saya tahu.. tandanya shalat khusyuk itu bukan saat shalat berlangsung saja. Tapi bagaimana selepas kita shalat, ada perubahan yang signifikan atau tidak dalam hidup kita dan lingkungan kita.

Jadi, memang banyak sekali keutamaan shalat berjamaah. Selain hal tersebut di atas, shalat berjamaah juga dapat mempererat silaturahim, pahala yang berlipat derajatnya, serta dapat meramaikan masjid. Masjid yang bagus bukan hanya yang megah, tapi yang selalu ramai oleh kegiatan jamaah. Apakah yang menulis ini termasuk yang sudah meramaikan masjid? Sayapun masih jauh dari hal tersebut. Doakan ya, semoga segera insyaf. Ramadhan segera datang menyambut, bisa dipastikan masjid-masjid akan makin ramai saat isya', tarawih dan shubuh. Juga saat tadarusan. Full, gak setengah-setengah. Paling baru berguguran kalau sudah mendekati akhir Ramadhan, karena kebanyakan agenda buka bersama. Tapi, pasti ramai juga yang i'tikaf sepuluh hari terakhir. Countdown timer, Rmadhan menanti 39 hari di depan mata. Mari persiapkan diri. Semoga kita diberikan ke-istiqomahan. Aamiin.

Khalila Indriana, 2013.
100 hari, PSH jalan lagi

Thursday, May 23, 2013

Makna Satu Kata #29 DISTRIBUSI: Buka Kerannya!


"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (QS. Az Zukhruf : 32).

Seringkali kita bertanya tentang keadilan Allah dalam hal pembagian rezeki. Banyak yang bilang, Indonesia hari ini sudah melekat dengan jargon-jargon yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Apa daya, jika disinggung tentang distribusi pendapatan di Indonesia, bisa dipastikan yang muncul adalah ketimpangan yang amat memprihatinkan. Indonesia memiliki banyak milyader dengan asset harta yang melimpah, tetapi di sisi lain banyak yang terbelit soal kemiskinan. Kontras. Apabila kita gambarkan dengan kurva Lorenz, garis kurva yang seharusnya lurus akan melengkung kian jauh dari harapan. Seperti ayat di awal tulisan ini menyebutkan, memang Allah-lah yang mengatur pembagian rezeki kepada hambanya. Allah yang mengatur penghidupan kita (ma'isyah kita) bukan orang lain, bukan pelanggan, bukan pimpinan perusahaan dan bukan diri kita, tapi Allah-lah yang menentukan seberapa banyak rezeki kita hari ini dan esok.

Lalu, apakah Allah adil? Tentu, karena Allah itu Maha Adil (Al-'Adl). Tinggal bagaimana kita mampu berlaku adil pada diri kita dalam berjuang meraih hak-hak kita. Meskipun Allah telah menjamin rezeki yang terhampar di muka bumi ini akan cukup untuk seluruh umat manusia, bukan berarti kita bebas berpasrah apalagi berleha-leha. Kita harus tetap berusaha. Mengapa? Ketahuilah, kita tidak pernah tahu takdir kita sebelum takdir itu terjadi. Oleh karena itu tetaplah berusaha bekerja sungguh-sungguh dan banyak beramal kebaikan untuk menyambut takdir kita, karena kita akan dipermudah menuju takdir kita. Meraih takdir terbaik kita.

Lebih jauh kita memaknainya, rezeki itu setidaknya ada tiga macamnya. Pertama, rezeki yang dijamin oleh Allah SWT. Allah berfirman, yang artinya, "Tidak suatu binatangpun (termasuk manusia) yang bergerak di atas bumi ini yg tidak dijamin oleh Allah rezekinya" (QS. Hud/11: 6). Rezeki yang berperan sebagai penguat tubuh kita, minimal untuk menjaga tubuh kita tetap hidup. Meski kita sedang sakit, dalam perjalanan, di pedalaman paling pelosok bahkan ketika masih di kandung ibu kita Allah masih memberikan curahan kasih sayang kepada hambanya. Ia tidak akan dibiarkan kelaparan. Ia mencukupkan segala yang kita butuhkan, bahkan tanpa kita memintanya.

Kedua, rezeki yang digantungkan. Sebagaimana Allah menyebutkan, "Tidaklah manusia mendapat apa-apa, kecuali apa yg telah dikerjakannya" (QS. 53: 39). Jadi, dibutuhkan usaha untuk mendapatkannya. Semakin besar usaha yang kita kerjakan, makin banyaklah rezeki yang mengalir pada kita. Allah membalas apa yang kita lakukan dengan tepat dan kadar yang sesuai. Apapun ikhtiar kita, selama itu tidak menyalahi aturan-Nya maka bisa dipastikan hasilnya juga akan sepadan. Bukan usaha yang sekedarnya, tapi dilandasi dengan kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas. Berdoa dan terus berhusnudzon pada Allah akan membuat rezeki kita semakin lancar.

Ketiga, rezeki yang dijanjikan. Bersyukur akan menambah nikmat, setidaknya itulah janji allah dalam Al-Qur'an, “... Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. Ibrahim/14: 7). Dalam Ayat lain, Allah telah berjanji akan melipat gandakan rezeki kita sepuluh bahkan tujuh ratus kali lipat apabila kita mau menafkahkan rezeki itu di jalan-Nya lewat sedekah. Janji Allah itu selalu benar, maka jangan teus menerus menuntut janji Allah. Tetapi justu banyak-banyaklah berfikir bagaimana untuk memenuhi janji kita pada Allah sebagai hamba-Nya. Sholat yang baik, sedekah rajin, serta beramal shalih setiap waktu.

Nah, bagi kita yang masih merasa rezeki kita seret, pas-pasan, bahkan kurang maka kita tidak boleh berhenti beputus asa akan hadirnya rahmat Allah. Karena sudah jelas, dalam perhitungan Allah pendistribusian rezeki itu sangat detail dan 'profesional' sehingga mustahil akan adanya kekeliruan atau semacam rezeki yang tertukar. Jika sumber rezeki itu adalah Allah, maka pekerjaan yang kita lakukan berfungsi sebagai kerannya. Keran hanya berfungsi megalirkan 'jatah' rezeki kita. Jadi, jika sumbernya ada (Allah), wadah tempat penampunganya juga tersedia (kita), apa yang seharusnya kita lakukan? Tentu saja membuka kerannya (pekerjaan, bisnis, perusahaan, dll). Kita ikuti aturan atau ketetapan dari-Nya. Banyak yang bisa kita lakukan untuk membuka keran rezeki itu, antara lain dengan doa, ikhtiar, shalat sunnah tahajjud, sholat dhuha, dan sedekah. Oh ya, silaturahim juga termasuk. Utamanya tentang sedekah yang dapat melipat gandakan rezeki yang kita terima, ia ibarat pompa yang dapat memperderas arus rezeki yang masuk pada kita. Niatkanlah dengan baik agar Allah ridho dengan itu semua.

Demikianlah Allah telah banyak menerangkan tanda kekuasaannya. Menyoal distribusi rezeki yang telah Allah atur skenarionya, tinggal bagaimana kita menempuh babak demi babak episodenya. Berperan aktif menghidupkan kehidupan yang singkat ini dengan penuh rasa syukur atas karunia-Nya. Rezeki sudah ada yang mengatur. Rezeki tidak perlu di cari, tapi dijemput. Di mana? Tentu dengan terus bergerak, berdekat-dekat dengan sumbernya yaitu Allah SWT. So, jangan pernah takut kemiskinan, karena kekayaan yang besar justru lahir dari hati yang ikhlas pada segala ketentuan Tuhannya. Semangat menjemput rezeki!

Khalila Indriana, 2013
100 hari, menumpahkan amunisi.

Tuesday, May 21, 2013

Makna Satu Kata #28 CHEMISTRY: Terbangun Karena Terbiasa

Tidak ada alasan khusus ketika saya mulai menulis tentang ini. Hanya terbersit pernah mendengar istilah chemistry ini erat kaitannya dengan suatu kecocokan dalam sebuah interaksi yang terjadi antar personal. Sehubungan dengan arti kata, chemistry  yaitu suatu reaksi kimiawi yang biasa dalam bahasa sehari-hari digunakan untuk menggambarkan ‘konektivitas’, ketersambungan hubungan antara seseorang dengan orang lain. Secara sederhana, chemistry dapat diartikan sebagai keterikatan batin atau kontak batin satu sama lain. Hal ini bisa terjadi pada siapa saja terhadap siapa saja. Maksudnya, siapa pun dapat menemukan chemistry-nya pada siapa saja.

Chemistry yang saya maksud tentu tidak hanya terjadi melulu soal hubungan percintaan lawan jenis. Ya, ini memang diperlukan juga. Karena cinta tanpa adanya chemistry , seringkali memicu keretakan karena kebosanan dan ketidakcocokan di kemudian hari. Cepat atau lambat. Terlebih lagi dalam hubungan pertemanan, rekan kerja, anggota komunitas, chemistry sangat mempengaruhi kinerja serta kualitas suatu hubungan yang terjalin. Ketika kita memiliki sebuah kesempatan dimana kita bertemu dengan seseorang atau lebih yang memiliki visi, pandangan dan ketertarikan yang sama maka kita cenderung ingin mendekat dengannya. Mengapa? Karena kita merasa ide-ide yang kita fikirkan diterima. Selaras. Kita bilang begini, ia setuju. Ia berpendapat demikian, dengan cepat kita mengiyakan. Bahkan terkadang hal ekstrim yang terjadi kemudian adalah kita berusaha mencocok-cocokkan saja apa yang ada, hanya berfokus pada hal-hal yang disuka. Tanpa sadar kita tidak menunjukkan diri kita yang sebenarnya.

Jika kita menginginkan hubungan yang baik berlangsung, menghilangkan kepalsuan itu penting, kata Mira Kirshenbaum, penulis Is He Mr. Right? Everything You Need to Know Before You Commit. "Tidak menjadi diri sendiri adalah kesalahan yang sering orang perbuat saat tahap pendekatan," kata Kirshenbaum. "Mereka takut jika terlalu terbuka orang yang dimaksud tidak akan tertarik." Maka, chemistry begitu terasa kuat awal-awal lalu memudar seiring waktu berjalan.

Lalu, apakah kita yang awalnya tak ada chemistry sama sekali, tidak dapat berjalan bersama? Mungkin tidak juga, selama kita mau mengkondisikannya. Kalau Ustadz Salim A.Fillah bilang, yang diperlukan itu nadzar, melihat. Bukan sekedar ta'aruf. Melihat sesuatu yang paling menarik dari diri seseorang. Tidak perlu banyak-banyak tahu, tapi kita menerimanya dulu. Baru setelahnya kita akan temukan keunikan-keunikan dan kejutan darinya. Chemistry bukan hanya perkara persamaan yang segala sesuatunya begitu sempurna, cocok dalam setiap pertemuan, pembicaraan terasa menakjubkan. Tetapi bagaimana cara kita membangunnya menjadi sebuah dimensi keberagaman yang saling melengkapi, mewarnai, semakin menarik untuk terus dilanjutkan dijalani. Jadi, chemistry itu bukan semata-mata terbatas pada anugerah yang maha kuasa tetapi juga dapat terbangun karena terbiasa. Kuncinya tetap pada kejujuran, keterbukaan, komunikasi yang baik serta komitmen untuk mempertahankannya selalu seimbang.

Pribadi saya ingin menyampaikan, saya sendiri belum seratus persen berani berkata saya telah memahami ini. Masih dalam tataran pemahaman yang dangkal, untuk dapat pembaca kritisi. Dalam rangka belajar membangun cemistry antara saya dan Anda lewat apa yang saya tuliskan.

Khalila Indriana, 2013.
100 hari, sudah H-50 menuju Catatan Ramadhan.

Saturday, May 18, 2013

Makna Satu Kata #27 PERANG: Bertahan untuk Menang

Ingatanku melesat saat usiaku masih kanak-kanak. Cerita ini sedikit konyol sebenarnya, biarlah. Tapi, amat berkesan dan memberiku pelajaran berharga. Suatu hari, ibuku berniat mengajakku jalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan. Akupun jejingkrakan senang bukan main, jarang-jarang karena dulu masih langka anak kecil bisa nge-mall sendirian. Mana berani. Ibuku juga sibuk, karena itu harus meluangkan waktu untuk sekedar menemani anak-anaknya main. Aku senang karena sebentar lagi impian kecilku main ke timezone akan segera terwujud. Anak udik yang biasanya main di sawah, kini akan bersua dengan berbagai mainan serba modern kala itu. Sulit bagiku membayangkan bangunan tinggi, megah dan berlantailicin itu. Membayangkan bagaimana aku naik ke lantai tertinggi, naik tangga?Aku pasti minta gendong.

Hari yang ku tunggu tiba. Senangnya, oh senangnya. Bertiga Ibu, aku dan adikku naik bus mini ke kota. Sekitar tiga puluh menit, sampai di depan mall aku dirundung sedikit kecewa. Ternyata kami kepagian. Semangat heboh-heboh dari rumah tadi berangsur memudar. Masih satu jam lagi baru buka. “Sabar, ini mungkin ujian,” hiburku dalam hati. Hahaha. Untunglah kami tidak sendiri, banyak juga yang mengantri. Jika mengingat kisah ini, aku senyum-senyum sendiri atas kekonyolan kami.

Jam buka sebentar lagi, petugas tengah bersiap depan pintu. Bagai pagar betis, kami barisan calon pengunjung tak mau kalah. Sedetik setelah gerbang di buka, detik itu juga kami menyeruak bagai air bah menjebol bendungan yang tak kuat menahan arus. Ah, mungkin ceritanya jadi lebay. Tapi, memang begitu adanya. Pengalaman masa kanak-kanak yang benar norak. Tanpa ba-bi-bu kami langsung menuju lantai tiga. Oh, ternyata kami dimanja. Ada tangga yang bisa berjalan, kami besorak karena tak perlu capek naik tangga diam. Ini norak jilid dua. Aku dan adikku sok berani, ibuku ngeri. Jadi beliau yang naik tangga biasa. Nanti ketemu di lantai tiga ya, begitu pesan beliau sok bijak. Hahaha.

Sampai juga di lantai tiga. Sensasi sang eskalator masih membuatku mual. Tapi aku senang, hamparan mainan tengah menanti di hadapanku. Mainan injak-injak tombol, motor-motoran, mandi bola, ambil boneka, dan banyak lagi. Seingatku, aku lebih banyak melihat-lihat. Karena aku sepertinya juga tidak bisa kalau disuruh memainknnya. Ada permainan yang aku jajal, yaitu mainan capit-capit dapat boneka. Cara mainnya, masukkan koin yang bisa kita dapatkan dengan membelinya ke petugas, lalu tekan tombolnya arahkan ke segunung boneka lucu-lucu di wadah kaca mirip akuarium. Capit, lalu arahkan kecorong agar bonekanya lahir. Hap, si boneka sasaran tadi jadi deh milik kita. Tapi, malang.Berkali-kali mencoba, aku gagal mendapatkan sebuah-pun dari boneka-boneka itu sampai koinku habis. Gemas, rasanya ingin menangis saja di bawah mesin boneka. Huhuhu.

Cring..! Tiba-tiba pandanganku tersita pada sesosok boneka teletubbies warna ungu favoritku, Tinky Winky! Ia tergeletak lunglai tak berdaya di bawah tempat pengambilan boneka di mesin samping tempatku main. Jelas itu bukan hasil tangkapanku, pasti ada yang tidak mengambilnya tadi. Aha! Bagaimana kalau aku mengambilnya, sayang kan kalau dibiarkan disana tidak ada yang memilikinya? Tapi, itu kan bukan milikku? Perang batinpun dimulai. Ah, tapi kan tak ada yang lihat?  Tapi kan Allah Maha Melihat? Aku belum dapat satupun boneka lucu! Ah, belum rezeki kali. Boneka ungu, jelas juga bukan rezekimu. Kamu tidak berhak memilikinya.

Dan akhirnya aku menyerah. Kutinggalkan boneka itu tetap di sana. Aku tak peduli lagi, ia melambai-lambai tersenyum padaku. Aku selalu diajarkan untuk tidak mengambil barang yang bukan hak ku, meski benda itu sangat kuinginkan. Meski ia ada di depan mata ku. Walaupun takkan ada yang melihatku mengambilnya, ada yang maha melihatku. Pelajaran penting ini sangat melekat dalam ingatanku hingga hari ini. Kecuali dalam hal meraih rezeki yang halal, jika ia sudah ada di depanmu maka kita harus berjuang mendapatkannya. Toh jika belum rezekimu, maka ia takkan sampai ke kerongkonganmu.

Aku pulang. Meski tanpa boneka itu. Tapi aku berhasil memenangkan gejolak perang batinku. Aku menang, karena aku bertahan. Bertahan pada prinsip yang ku yakini. Aku pulang dengan perasaan adem, seadem saat menikmati es krim connello rasa cokelat yang ibu belikan untukku. Bahagia rasanya.

Khalila Indriana, 2013.

100 hari, inspirasi masa laluyang menyelinap di ingatanku.

Friday, May 17, 2013

Makna Satu Kata #26 TOLONG: Tentang Mengapa Kita Sedia Berbuat


Manusia sebagai makhluk sosial, diciptakan ke dunia ini tidak sendiri. Mereka hidup bersama dan berinteraksi satu sama lain karena dasar saling membutuhkan, memberi  juga menerima. Masing-masing telah dikaruniakan kelebihan di samping kekurangan, itu sunatullah. Seperti firman-Nya yang termaktub dalam surah Al-Nahl ayat 71,

“Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki (lantaran usaha masing-masing kamu jelas berbeda-beda). Tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Apakah mereka mengingkari (dan tidak mensyukuri) nikmat Allah?” 

Kelebihan itu bukan untuk kita jadikan bahan berbangga diri semata, tetapi  untuk mengembangkan diri serta menumbuhkan rasa untuk berbagi. Semakin kita mengerti setiap hal yang kita miliki terdapat hak orang lain, maka tiada keraguan untuk memberi. Ada Allah yang maha Memiliki apa yang ada di langit, di bumi serta di antaranya. Memiliki sikap berbagi adalah wujud tanggung jawab terhadap amanah yang Ia titipkan pada kita.

Ketika saya belajar tentang ekonomi misalnya, hubungan interaksi  tersebut bisa terwujud dalam suatu kegiatan berbisnis. Ada etika yang harus kita ikuti agar tujuan bersama dapat tercapai, saling menguntungkan dari kedua belah pihak dan bukan sebaliknya. Syed Nawab Haidar Naqvi, dalam buku “Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sistesis Islami”, memaparkan empat aksioma etika ekonomi, yaitu, tauhid, keseimbangan (keadilan), kebebasan, tanggung jawab.

Pertama, tauhid menyadarkan bahwa manusia adalah makhluk ilahiyah yakni makhluk yang bertuhan. Jadi, ketika ia melakukan kegiatan apapun termasuk berbisnis maka hal tersebut ia lakukan semata-mata karena menjalankan perintah Allah SWT. Selalu ada kontrol diri, karena ia menyadari bahwa ia berada dalam pengawasan-Nya. Kedua, keseimbangan dan keadilan mengedepankan setiap perilaku bisnis harus seimbang dan adil. Ia tidak akan mengagungkan kepemilikan harta individu yang berlebihan, namun setiap keping harta ada fungsi sosial yang harus diperhatiakan di sana.

Ketiga, kebebasan. Artinya, manusia memiliki hak kebebasan untuk melakukan aktivitas bisnis. Jika kita mengikuti aspek dalam bermuamalah, maka berlaku padanya kaidah umum, “Semua boleh kecuali yang dilarang”. Namun, kebebasan di sini tentu mengedepankan prinsip kebebasan yang adil dan bertanggungjawab. Keempat, tanggung jawab. Pada dasarnya segala sesuatu kelak akan di mintai pertanggungjawabannya. Termasuk tanggung jawab moral terhadap Allah SWT dalam setiap gerak bisnis yang kita jalankan.

Secara praktik, etika bisnis yang sesuai syariat telah di contohkan oleh Rasulullah SAW  ketika beliau berdagang. Paling mendasar adalah soal kejujuran beliau sampai-sampai gelar Al-Amin sangat melekat pada sosok Rasulullah. Banyak sekali yang dapat kita teladani agar bisnis yang kita jalani menjadi berkah tersendiri bagi semua yang terlibat, jadi bukan hanya berpusat pada kepentingan pribadi. Kembali pada judul tulisan saya kali ini. Setiap perbuatan kita tentu memiliki landasan yang menggerakkan diri kita mau melakukannya, termasuk dalam bisnis yang kita jalani. Mengapa kita bersedia melakukannya untuk orang lain? Padahal terkadang hal tersebut kurang menguntungkan bagi kita.

Dalam ekonomi Islam, pelaku bisnis tidak semata-mata mencari keuntungan sebanyak-banyaknya namun juga berorientasi pada ta’awun (menolong orang lain). Caranya dengan mempermudah orang lain yang berbisnis dengan kita untuk meraih rezeki. Niat berbisnis karena Allah akan membuat kita sadar untuk lebih peduli terhadap kepentingan makhluk Allah yang lain. Selalu ingat, jika kita memudahkan orang lain, maka Allah akan memudahkan urusan kita. Karena mencari rezeki yang halal adalah perintah agama yang kita yakini, maka peran kita menjadi begitu besar. Sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an surat Muhammad ayat 7,

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” 

Menolong, bukan sekedar mengasihani. Ketika kita tak lagi mengerti, mengapa banyak manusia yang enggan menjalani.

Khalila Indriana, 2013.
100 hari, inspirasi yang harus dikemas lebih rapi

Makna Satu Kata #25 SUJUD: Barangkali Inilah Titik Nol-ku (Part 2)

(Baca dulu Makna satu kata 24 PART 1 ya...)

Uangku kembali tiga ribu rupiah. Si penjaga kasir mengembalikannya utuh, tanpa embel-embel permen khas kasir swalayan kecil. Usai menyelesaikan urusanku dengan kasir, aku menoleh sembari mencari keberdaan Fiya dan Hanif. Kudengar ada suara meneriakiku dari arah pintu keluar.

"Khalila, sini..!" teriak Hanif,  suaranya khas sekali.

Aku berjingkat menghampiri mereka. Lalu mengambil langkah beiringan keluar dari toko buku, sepertinya tidak sempat kalau mau jalan-jalan berkeliling lagi. Jam menunjukkan hampir pukul lima sore.

“Sholat dulu yuk, sudah sore nih,”ajak Hanif.

“Ashar? Kita tadi sudah, di rumah. Kan tadi sudah masuk ashar sebelum kita berangkat,” sahut Fiya.

Hanif terperanjat. Ia tidak menyangka hanya dia yang belum shalat, kamipun bergegas turun cari mushola. Salahku juga, tadi tidak memberitahunya. Aku ingat, kalau dia tadi dia tidak berangkat dari rumah. Tapi, masih ada waktu mengejar waktu shalatnya. Meski sepertinya sudah injury time kalau dalam permainan sepak bola.

Kami menyusuri jalan setapak ke basement pusat perbelanjaan itu. Terdengar suara bising mobil dan motor yang keluar masuk parkiran. Hanif bertanya ke salah satu petugas, di mana letak mushala. Oh, ternyata mushalanya berada di pojokan sebelah kiri dari pintu masuk. Kulihat ada beberapa keran berjajar dekat pintu. Tempat wudhunya terbuka, jadi jangan harap ada tempat untuk wudhu muslimah-akhwat. Kami bertiga beringsut masuk ke mushala.

Mushala kecil itu tak ubahnya ruangan sempit sekitr tujuh kali empat meter persegi. Dengan karpet warna abu-abu yang tergelar di lantai marmer warna putih. Dindingnya biru dengan gradasi mendekati putih, cukup senada dengan karpet tadi. Dindingnya lembab, kusam dan mengelupas sana sini. Di atap sebelah selatan ku lihat pipa-pipa air menggantung, semerawut. Apa tidak takut bocor? Lalu, ada tulisan standar yang akan terinjak siapapun yang hendak masuk, ‘BATAS SUCI’. Di lantai tepat di pintu masuk. Itu artinya dalam mushala kecil ini suci, di luar tidak. Itu, tulisannya seolah mengatakan tegas demikian. Ah, memikirkannya saja aku bingung. Hehe. Aku dan Fiya tercengang berjamaah. Apakah ini masih layak disebut tempat ibadah? Agaknya sulit dipercaya.

Hanif khusyuk dalam sujud rakaat terakhirnya. Sujud memang selalu mendamaikan, bagi yang melakukan bahkan bagi yang melihatnya. Usai shalat dan berdoa, Hanif mendekat menghampiri kami. Bebincang sebentar tentang aktifitas kami sehari-hari. Biasanya kami hanya mengobrol di jejaring sosial, sebagai salah satu sarana kami berkomunikasi.

“Nif, hari ini kamu gak ada acara kan?” tanyaku takut-takut. Takut, kalau ia sebenarnya ada agenda lain.

Ndak ada kok, dirimu-dirimu itu yang sibuk terus. Mungkin aku yang terlalu banyak waktu luangnya,” Hanif tersenyum simpul.

“Haha, apa gitu ya?” Kamitergelak mendengar ungkapannya yang jujur. Ada benarnya juga, mungkin aku dan Fiya yang terlalu sibuk. Sehingga perjalanan yang kami alami hari ini sungguh sangat jarang terjadi, beberapa tahun setelah kami lulus seolah dasar. Hanya dapat memanfaatkan sebaik-baiknya quality time yang kami miliki sekarang.

“Eh, Nif. Kamu ngerasa ada yang aneh gak? Masa di mal sebear ini, mushalanya terletak dekat parkiran gini? Kenapa tidak di lantai atas saja, ya? Heran.” Ujar Fiya.

“Padahal pas di lantai tiga, aku sempat ke bagian pojok toko. Di sana tenang sekali. Lagian, lebih banyak tempat bersih kan kalau di dalam tadi.” Aku ikutan menggerutu.

“Iya juga ya, kayaknya tidak ada prioritas fasilitas gitu untuk aktifitas sekelas ibadah.” Hanif menimpali sambil terus tertawa mendengar protes kami.

Aku sibuk membuka-buka buku. Menimbang-nimbang, kiranya berapa lama waktu untuk membacanya sampai habis.

Perjalanan keliling adalah lingkaran yang sempurna: awal adalah akhir, tiada awal tiada akhir. Aku kembali ke titik nol.

Kubaca sepenggal kalimat di halaman limapuluh sembilan buku Agustinus Wibowo yang barusan kubuka segelnya. Aku terpekur dalam diam. Ingat posisiku di dalam sebuah mushala. Terbersit pemikiran dan pemahaman baru. Bagi seorang muslim, shalat adalah tiang agama. Ia menjadi amalan yang kelak ditimbang lebih dahulu daripada amalan-amalan lainnya. Salah satu gerakan shalat favoritku adalah sujud. Pernah kubaca, ketika sujud kita berada pada titik terendah, sekaligus tertinggi. Sebagai manusia yang rendah dihadapan Tuhan yang Maha Besar, juga sujud adalah wujud penghambaan tertinggi dengan menyebut nama-Nya. Tersadar, aku ingin sekali memperbaiki shalatku. Karena shalat adalah ibadah sepanjang waktu, sejak akil baligh hingga batas usia kita hidup.

Manusia seringkali disibukkan dengan segala aktifitas duniawi kita yang padat. Tugas-tugas sebagai khalifah di muka bumi yang tak terhitung. Namun, ada lima waktu wajib untuk seorang muslim bersujud pada-Nya. Rehat, menyandarkan takdir hidup dalam tiap sujud. Bagiku, barangkali inilah titik nol kita sebagai seorang muslim. Shalat, aktivitas , lalu shalat lagi begitu terus berulang seperti lingkaran yang tiada putus. Pada akhirnya setiap makhluk bernyawa akan kembali pada-Nya, bersujud menghambakan diri di hadapan Allah SWT. Karena Shalat bukan sekedar rutinitas. Sepertinya aku memaknai titik nol-ku lebih cepat, sebelum aku membaca buku yang aku beli. Sujud dalam shalat sebagai titik nol seorang muslim untuk menjalani segala sisi kehidupnya.

“Sudah hampir maghrib nih, ayo kita shalat di tempat lain saja. Di Masjid Agung dekat alun-alun lebih nyaman, InsyaAllah.” Ajakan Hanif menyeret kami keluar dari basement gedung megah ini.

Untuk kembali ke titik nol lagi.

Makna Satu Kata #24 SUJUD: Barangkali Inilah Titik Nol-ku (Part 1)

Bip. Telepon genggamku meneriakkan satu tanda pesan masuk. Aku baru saja terlelap, mengerjap malas. Letihku belum usai, baru saja tiba di rumah karena sedari pagi aku mengisi pelatihan kerajinan tangan di sebuah madrasah aliyah. Lebih tepatnya sebuah sekolah rintisan yayasan dhuafa yang juga berfokus pada entrepreneurship. Oh ya, kebetulan aku dan adikku, Shafiya, mendapat amanah untuk berbagi sedikit ilmu dan pengalaman kami tentang craft. Dengan senang hati, tiap akhir pekan begini aktifitas pagiku kuhabiskan menemani santri-santri muda yang usianya masih duduk di kelas satu MA. Hari ini pertemuan kedua kami.

Perlahan ku baca SMS. Ternyata dari temanku, Hanif.

Nanti tunggu aja di depan toko-ku. 10 menitan lagi nyampe.

Apa? Bahkan berganti pakaianpun aku belum. Bergegas aku ke kamar mandi untuk beres-beres. Tak lupa mengingatkan adikku untuk juga lekas bersiap. Beberapa hari lalu, Hanif memang telah sepakat mengantarku dan Shafiya untuk ke toko buku sore ini. Letaknya memang di kota sebelah, arah utara dari tempat tinggal kami. Karena aku ingin mencari buku baru. Maklum, buku baru yang kumaksud sepertinya belum masuk ke kotaku. Kalaupun ada, biasanya pesan dulu. Aku sendiri masih belum pernah kesana sendirian. Jadilah aku mengajak Hanif pergi, sebagai penunjuk jalan juga pastinya.

Sekitar lima belas menit kemudian, aku dan Fiya sudah siap. Karena sudah masuk waktu ashar, kami memutuskan shalat dulu. Hah, biar saja Hanif menunggu. Aku malah takut nanti tidak keburu shalat ketika sudah di jalan.

Agak tergesa kuhela motor bebek biruku, singgah dulu ke toko mebel ayah Hanif. Sia-sia saja kami mengebut, ternyata masih harus menunggu. Hanif malah belum disana! Benar-benar bikin gemas aku saja. Biasanya kan cewek  ya yang lama sekali siap-siapnya. Ini? Memang sih, tadi Hanif bilang ia harus ke tempat lain dulu sebelum berangkat. Jengah juga, karena di sana ada ibunya yang sedang jaga toko. Mana aku tak pandai basa-basi dengan orang tua.

“Mana nih bocah? Belum datang?” tanya Fiya.

“Masih di jalan mungkin, lagi disuruh ayahnya. Semoga tak lama. Bisa kesorean kita,” sahutku agak cemas.
Syukurlah, tak lama berselang Hanif muncul. Ia meringis sambil sedikit berbasa-basi menjelaskan atas keterlambatannya. Lalu ia masuk sebentar ke dalam tokonya.

“Sudah pamit ibumu belum, Nif?” sergapku waktu ia muncul dari dalam.

“Sudah, aku bilang mau ke Gramedia sama kalian. Ayo berangkat!” Jawab Hanif seraya memutar motornya.

Hanif ini temanku waktu duduk di madrasah, setingkat sekolah dasar. Meski rumah kami hanya berjarak dua rumah, kami jarang sekali bertemu apalagi keluar bersama ke suatu tempat. Kami bertiga melaju ke arah utara, menerobos angin sore yang mulai menggigit persendian. Cuaca lumayan cerah, tapi suara guntur sedari tadi menggelegar dari arah timur. Mungkin hujan sedang turun di sana, hanya bisa berdoa semoga perjalanan kami mulus nanti berangkat hingga pulangnya.

Aku memilih berada dua meter persis di belakang motor Hanif, karena sesungguhnya aku buta jalan. Delapan puluh kilometer per jam aku kira cukup untuk kami menjaga jarak, agar tidak terlalu tertinggal jauh dari motor Hanif. Jujur, aku lebih sering menyetir di depan memboncengkan Fiya. Tetapi hanya di seputaran kotaku saja. Belum pernah ke luar kota, jadiaku memiliih lebih berhati-hati lagi. Lagi, jalan antar kota ini juga dilewati bus-bus dari arah Surabaya. Di dunia nyata, aku tidak punya stuntman yang akan menggantikan peranku di atas kuda besi ini. Nyawaku hanya satu, apalagi ada Fiya yang setia di belakangku.

***

Satu jam berlalu, memasuki kota ini naik motor terasa masih canggung untukku. Karena biasanya aku hanya melintas saja naik bus antar kota, ketika bepergian ke Jogjakarta atau ke Surabaya. Setelah belok kanan menikung melintasi sebuah gereja, kamipun tiba di tempat tujuan. Sebuah pusat perbelanjaan tiga lantai yang ada toko buku Gramedia di dalamya. Kami memilih parkir di luar saja. Hari semakin sore, mempersingkat waktu bergegas kami masuk.

Welcome to the jungle. Ini hutan manusia, juga dengan segala pemuas kebutuhan juga keinginannya. Surga belanja bagi siapa saja yang datang. Kata Hanif, toko buku letakknya di lantai tiga. Rupanya ia agak lupa-lupa ingat. Ternyata memang benar, pintu selamat datang terpampang. Mempersilakan siapa saja yang ingin berkunjung. Bahkan sudah terlihat sejak kami menjejakkan langkah meninggalkan anak tangga eskalator terakhir tadi.

Bertiga kami masuk dan mulai menjelajah tanpa ampun menyusuri lorong-lorong yang dihimpit rak buku tinggi-tinggi. Hampir satu setengah kali tinggi badanku. Akupun mulai melihat-lihat, seperti orang yang kesetanan melihat buku segitu banyaknya. Ingin kubawa pulang semua saja, atau aku pindahkan toko ini ke kotaku. Tapi, aku akan bersabar saja. Toko buku terbesar itu suatu saat ada, dan itu milik Fiya. Sering ku mendengar celotehnya tentang toko buku impiannya. Tentu saja aku senang, karena ia bilang nanti aku boleh ambil buku apa saja semauku, sesukaku.

Kami bertiga berpencar, mengamati tiap buku yang dipajang rak yang berbeda. Sesekali ada petugas penjaga toko yang sibuk menata buku berseliweran di hadapanku. Ada yang sempat bersitatap seolah ingin menawarkan bantuan, buku apa yang tengah aku cari. Tapi sebenarnya, buku yang aku incar hari ini sudah mejeng santai di rak best seller. Terpampang paling depan dekat pintu masuk tadi. Tapi, aku juga butuh melihat-lihat buku yang lain. Siapa tahu nanti ada yang bagus, bisa jadi referensi untuk datang lagi.

Sekitar setengah jam berkutatdengan buku, akhirnya kami berkumpul lagi dekat kasir.

“Sudah dapat bukunya, La?” tanya Hanif.

Udah nih, aku ambil satu. Kamu, ingin baca juga gak?” tanyaku, aku lihat tadi Hanif sempat mengamati juga buku itu.

“Haha, ya terserah kamu saja.Kalau memang ingin itu, beli saja.” Hanif tergelak.

Aku sudah memeluk buku itu. Sejurus kemudian ku angsurkan ke kasir, sampulnya terbaca Titik Nol- karya terbaru penulis Agstinus Wibowo. Sebelum membeli, beberapa kali aku membaca resensinya di internet. Lalu hari ini, aku menggapai impian sederhanaku untuk memiliki buku itu. Tak sabar rasanya ingin melahap buku setebal kurang lebih lima ratusan halaman yang saat ini sudah berada dalam genggaman. Buku ini tentang kisah perjalanan, memaknai perjalanan. Aku yang tak pernah pergi jauh –jauh dari rumah tentu sangat haus akan cerita-cerita macam ini. Harga kisah mereka, tentu saja tidak sebanding dengan harga yang aku bayar untuk sebuh buku bagus. Terlalu murah untuk dapat membaca kisah-kisah yang menggelorakan imajinasi tentang tempat-tempat yang jauh di luar sana.

(bersambung PART 2)

Friday, May 3, 2013

Makna Satu Kata #23 MESSAGES: Pelukis Pasir (Part 2)



Berbicara kembali tentang pelukis pasir, dalam tulisan saya sebelumnya muncul pertanyaan tentang bagaimana cara kita mengabaikan momen jika kita mengibaratkan seni melukis pasir seperti perjalanan dalam hidup kita? Masing-masing pasti punya cara yang berbeda. Ada yang lebih nyaman mengabadiannya dalam bentuk gambar, menjepret benda mati, makhluk bernyawa ataupun momen-momen yang berharga. Tiap kali kita melihatnya kembali, seolah gambar itu berkata-kata dalam diamnya. Video juga seru, karena itu akhir-akhir ini banyak juga yang tiba-tiba tersohor jadi artis you tube. Karena ia mengabadikannya, termasuk apa yang terekam dalam CCTV.

Tentu saja yang tak kalah mengabadi adalah dengan cara menuliskannya. Scripta manent, verba volant. Sejarah hidup kita bisa saja menguap tak berjejak jika kita tak pandai-pandai mengabadikannya. Bagi penulis, mudah saja mendeskripsikan pengalaman-pengalaman hidupnya. Namun, yang tak bisa menulispun sebenarnya masih bisa menjadikan cerita hidupnya sebagai sejarah. Cukup lakukanlah hal-hal yang berharga dalam hidup, buat hidupmu moumental. Maka dengan senang hati, tanpa dimintapun akan banyak yang menuliskan cerita hidup seseorang yang tak lelah berkarya dengan gerakan yang nyata.

Sedikit mengoreksi pada tulisan saya yang terdahulu tentang jenis karya seni yang diapresiasi dan karya seni yang dinikmati. Seperti lukisan contohnya yang memiliki nilai estetika tentu akan mendapatkan apresiasi yang lebih. Jika bicara tentang musik, sand animation lebih kita ibaratkan sebagai musik pop yang leih bisa dinikmati.

Jadi, apa intinya? Dalam seni melukis pasir yang paling utama diperhatikan, ini adalah seni capturing moment. Bagaimana seorang pelukis pasir menemukan cara menciptakan momen yang tepat untuk ‘berbicara’. Karena ia menceritakannya secara beruntun dan terus menerus bergerak, maka butuh keselarasan antara gerak performer dengan penghayatan jalan ceritanya. Terlalu cepat, maka ada kemungkinan momen untuk menangkap sudut pandang jadi terlewatkan. Pelukis pasir memiliki kelebihan dalam hal penjabaran ilustrasi yang dinamis. Pada akhirnya, yang membedakan setiap penampilan adalah pada karakter masing-masing pelukis.

Memang, emosi yang dibangun ketika bercerita dengan ribuan butir pasir sangat menentukan bagaimana pesan cerita itu dapat tersampaikan. Ada pesan di setiap penampilan, yang dipaparkan dari satu frame ke frame yang lain. Jadi, performance sesungguhnya adalah pada saat menggambarnya. Pesan yang tersirat harus dapat di munculkan, meski hanya mengambil beberapa titik penekanan pada saat gambar itu tercipta. Tercipta lalu segera terhapus, maka tak ada yang lebih menarik daripada saat kita menikmati jalannya cerita.

Hidup yang kita jalani memiliki banyak pesan yang tersirat dari Tuhan yang dititipkan lewat skenario hidup kita. Tinggal kita yang memilih, ingin menjalani skenario itu dengan baik atau tidak memahaminya sama sekali. Karena pelukis pasir selalu tahu cara menyampaikan pesan dalam setiap penampilannya, begitu pula Tuhan Sang Maha Pencipta. Wang sinawang, saling mengamati lebih tepatnya. Pandai-pandailah menangkap momen pelajaran berharga yang daat mengubah hidup kita. Pengalaman kita sendiri maupun orang lain.

Pasir dalam perspektif yang berbeda, sepertinya ingin saya bahas lebih lanjut. Ada nilai keindahan perpaduan antara visual dan audio. Tentang butiran pasir yang terhampar, tentang cahaya yang berpendar. Temukan pada bahasan pelukis pasir bagian ke-3.

Khalila Indriana, 2013.
100 hari penuh inspirasi

Wednesday, May 1, 2013

Makna Satu Kata #22 Experience: Pelukis Pasir (Part 1)



Sand animator atau ‘pelukis pasir’ akhir-akhir ini mulai akrab oleh kita karena terekspose keberdaannya di media. Sebut saja Denny Darko, yang awalnya sebagai pesulap kemudian melakukan differensiasi dengan merambah bidang lain yakni bidang seni yang tak lazim ditekuni. Pada tahun 2009, ia menjajal keahliannya dengan menjadi seorang pelukis pasir pertama di Indonesia. Ada lagi nama Vina Candrawati, finalis salah satu ajang pencarian bakat yang hampir setiap minggu dapat kita nikmati penampilannya di layar kaca. Sebenarnya, apa dan bagaimana konsep pelukis pasir dalam berkarya? Hal ini cukup menggelitik saya untuk menguraikannya lebih dalam.

Sand animation adalah seni melukis menggunakan media pasir. Pasir secara acak digoreskan di atas meja kaca yang disinari cahaya yang berpendar dari bawah. Pelukis pasir akan menguraikan sebuah kisah lewat lukisan pasir yang terus berubah, dari satu frame ke frame berikutnya. Transformasi yang dilakukan tanpa putus tentu menyita perhatian kita untuk tidak beralih pandang sebelum permainan selesai. Layaknya melihat sebuah pertunjukan wayang yang di tampilkan dalang kondang, namun ini divisualisasikan lewat ilustrasi media yang abstrak, sambil diiringi musik yang sesuai dengan tema cerita yang dibawakan.

Penemu sand animation modern berasal dari Budapest bernama Ferenc Cako, ditemukan pada tahun 1994. Kemudian, terukir nama Kseniya Simonova pelukis pasir dunia yang mengawali kesuksesannya setelah menjadi pemenang  ajang Ukraine’s Got Talent. Di tiap negara, jumlah pelukis pasir masih sangat sedikit. Paling banyak hanya sekitar 3 orang. Sehingga, pertunjukan pelukis pasir menjadi sangat menarik untuk dinikmati.

Dalam konteksnya, kebanyakan karya seni baru dapat kita lihat hasil akhirnya. Masih jarang yang dapat kita ikuti proses pembuatannya. Keunikan seni lukisan pasir adalah karyanya secara maraton berubah dari gambar satu ke yang lain namun masih dalam satu cerita. Ia tidak menunggu pelukis selesai membuatnya lalu dinikmati, namun yang kita nikmati adalah prosesnya. Lucunya, kita akan dibuat tercengang karena gambar yang dibuat susah payah langsung dihapus berganti ke gambar berikutnya. Lalu, bagaimana dengan wujud hasil karyanya? Tidak ada, lukisan pasir berbicara tentang perjalanannya bukan hasil akhirnya. Jadi, lukisan pasir adalah experience. Ia menyuguhkan cerita secara flash, karena pengalaman itu dapat dinikmati ketika kita mengalami.

Menarik memang. Karena yang kita tahu, terkadang hasil karya seni hanya dapat dinikmati oleh orang-orang tertentu yang tahu dan tertarik di bidang seni. Ia dapat melihat experience-nya lewat karyanya. Tapi, pelukis pasir dapat menunjukkan hal yang beda kepada kita sebagai orang awam. Sand animation dikemas secara apik menjadi sebuah karya seni yang dapat menghibur penontonnya. Kita dibuat terkagum dan terpana oleh kibasan pasir yang digores membentuk sebuah cerita yang bermakna. Cara mengabadikan sand animation yang paling pas saat ini adalah dengan merekamnya dalam bentuk video. Kalau gambar, masih belum terlalu jelas bagaimana kita dapat memahami alur cerita yang ingin disampaikan.

Jadi, jika hidup kita diibaratkan cerita dalam lukisan pasir maka kira-kira bagaimana cara kita mengabadikannya? Dalam bentuk apa kita mengarsipkan pengalaman-pengalaman kita? Jika anda sudah mampu menjawabnya,beritahu saya. Jika belum maka temukan jawabannya di tulisan berikutnya, pelukis pasir bagian ke-2.

PS: Tulisan ini terinspirasi ketika saya melihat pelukis pasir di televisi dan membaca hasil wawancara bersama Denny Darko, Magician and Indonesian sand animator . Sumber referensi: google.com

Khalila Indriana, 2013.
100 hari penuh inspirasi