"Pesen satu ya, modelnya gini trus warnanya gitu. Dibikin paling
spesial, kalo bisa jadinya sebelum tanggal sekian, bisa? Oh ya, harganya
masih sama khan? Buat temen ada diskon dong, ya? Pastinya, tengkyu
yaa.... Hehehe..."
See?
Memberikan
pelayanan terbaik bagi pelanggan merupakan prinsip dasar seorang
pengusaha, apalagi mereka yang membuat produknya sendiri seperti saya
ini. Service excellent istilahnya. Pelanggan adalah raja dan ratu.
Seringkali kita dihadapkan dengan pilihan yang sulit terutama ketika
menghadapi pelanggan yang 'rewel'. Ingin yang terbaik, tapi jatuhnya
terkesan mendikte. Pada dasarnya kita yang menerima order, sangat
memikirkan soal kualitas dan pelayanan terbaik bagi pelanggan. Tidak
menjadi masalah jika pelanggan kita adalah murni pelanggan yang tidak
terlalu dekat dengan kehidupan kita alias pembeli umum secara
keseluruhan. Yang sulit justru menghadapi pelanggan yang terhitung masih
kerabat atau sahabat. Masih ada rasa 'pakewuh' ketika menghubungkan
bisnis dengan hubungan kedekatan emosional kita.
Misalnya,
bicara tentang harga. Harga standar produk kita tentu sudah dipatok
berdasarkan perhitungan harga bahan baku, biaya produksi dan keuntungan
yang akan kita ambil. Tidak mungkin kita lantas menetapkan harga seenak
jidat agar untung kita berkali lipat, tapi seringkali pembeli tidak mau
tahu. Dikiranya harga sepuluh ribu untung kita delapan ribu. Ini tentu
menjadi pemikiran yang tidak rasional. Terjadilah aksi tawar menawar.
Selama itu wajar, sah-sah saja demi mendapat harga terbaik dan kerelaan
dari kedua belah pihak. Membeli satu tentu berbeda dengan membeli secara
grosir, jika bicara masih terkait harga. Memberi potongan harga barang
grosir menjadi petimbangan tersendiri, karena ada kemungkinan itu akan
dijual kembali.
Namun, jika yang membeli kebetulan
adalah kerabat atau teman biasanya pula mereka hanya akan membeli untuk
dipakai sendiri. Sebut saja saya ingin membeli produk si A yang
kebetulan adalah teman saya SMA. Lantas saya merasa berhak menawar
harga, meminta diskon, minta bonus ini-itu apalagi hingga meminta
gratis. Yah, karena saya merasa dia 'pasti' mau dengan kerelaan hati
memberikannya untuk saya. Ya, karena kita teman. Tapi, pernahkah saya
memikirkan perasaan teman saya tersebut? Pernahkah saya memikirkan
bagaimana kondisi bisnis dan keuangan teman saya yang mencari rezeki
memang dari jalan bisnisnya itu? Pernahkan saya memikirkan bahwa aksi
minta harga lebih murah itu akan mengurangi setidaknya sepersekian
persen keuntungan bahkan modal yang sudah ia keluarkan untuk membuat
produk yang saya beli? Ah, rasanya ini yang perlu menjadi bahan
pemikiran.
Sebagai sahabat yang baik, kita tentu ingin
mengapresiasi apa saja yang sahabat kita lakukan. Misal, ia memiliki
bisnis (produk jualan) kita setidaknya akan rela membantunya. Meski
hanya sekedar membeli produk tersebut dengan alasan kalau teman saja ada
yang punya, ngapain cari ke yang lain. Prinsipnya saling bantu, agar
bisnisnya juga bertambah besar dan sukses. Tidak hanya sebatas saling
mendoakan ia sukses, tapi ada satu gerakan yang nyata untuk
mendukungnya. Mendoakan tentu hal yang baik, tapi mendorongnya agar
lebih bersemangat menjalankan usahanya tentu lebih baik lagi.
Ah, begitu saja itung-itungan. Wong sama teman sendiri saja pelit.
Mungkin begitu reaksi kita jika teman bersikukuh dengan harga
jualannya. Tanpa diskon, tanpa bonus. Padahal, mungkin memang saat itu
tidak bisa menurunkan harga karena alasan tertentu. Orang banderol
swalayan saja kita patuh, tidak menawar. Bisakah kita memaklumi, dalam
dunia bisnis seratus dua ratus rupiah itu tetap diperhitungkan. Entah
itu saudara, teman dekat, atau bukan. Jika tetap egois berpendapat bahwa
harga untuk teman harusnya lebih murah, entah apa yang terjadi lima
tahun ke depan pada bisnis teman kita tersebut. Bayangkan, satu teman
minta diskon. Tidak jadi soal. Namun, jika ada seratus orang teman yang
minta diskon, bisa jadi ia benar-benar gulung tikar.
Jika
saya dalam posisi sebagai penjual, saya tentu tidak merasa keberatan
memberikan harga teman. dengan catatan, itu hanya terjadi sekali-kali
dengan niat tulus saling bantu dan melihat kondisi yang sesungguhnya
dari teman saya tersebut. Kalau sudah berkali-kali, tentu bukan lagi
menjadi hal yang wajar. Apalagi kita sudah nawaitu menjadian bisnis
sebagai ladang untuk meraih rezeki dari-Nya. Pasti sedikit banyak kita
berpikir tentang keuntungan dan bagaimana caranya agar bisnis tetap
jalan. Meniatkan harga teman sebagai ladang amal pasti lebih baik lagi.
Bahkan, kita bisa saja berinisiatif beramal dengan apa yang kita miliki.
Misalnya memberi hadiah produk kita secara gratis pada orang terdekat
tanpa ada yang meminta. Ikhlas lillahi ta'ala.
Bukan
lagi saatnya mengeluarkan dalil, "itulah gunanya memiliki teman, enak
kalo kita beli ke dia dapat diskon dan harga termurah." Pernahkah kita
diajarkan untuk meminta diskon? Agaknya membaca kembali awal surat
al-muthaffifin perlu kita resapi lagi maknanya. Apakah kita masih
termasuk orang yang curang? Yang apabila menerima takaran minta
dilebihkan, apabila menakar ia mengurangi. Sudah siapkah kita
mengamalkannya?
Harga teman. Seharusnya jika kita sudah
mengaku teman, tidak pantas minta dilebihkan hanya karena kita teman.
Jika mengaku kita teman, harusnya malah berusaha membuat teman kita
merasa terbantu hanya dengan kita mau berpartisipai untuk ikut membeli.
Membeli, berarti ia bisa mendapatkan keuntungan. Apalagi kita belinya
banyak, senanglah ia bisnisnya lancar. Lagipula, beli ke teman bisa
sekalian mempererat silaturahim.
Harga teman. Jika
kita mengaku teman pastinya kita akan memberikan harga terbaik untuk
teman, tanpa teman kita harus meminta dan merengek. Tentu kita paham.
Sesekali, tunjukkan harga asli dan beritahu padanya ada potongan
untuknya pasti ia akan senang menerimanya. Menjadi teristimewa karena
tidak seperti pembeli yang lain. Bisnis ya bisnis, teman ya teman.
Menggabungkan keduanya pada porsi yang tepat, akan membuatnya lebih
bermakna.
Harga teman. Tinggal kita belajar memposisikan diri kita di mana.
Suka sama suka, hanya keberkahan yang kita harapkan dari ini semua.
Saturday, October 26, 2013
Thursday, October 3, 2013
Kata Kunci Memantik Ide Belajar Hal Baru
“Je bent nooit te oud om te leren”
Anda tidak pernah terlalu tua untuk belajar.
(Pepatah Belanda)
Ketika ingin berhenti belajar karena alasan usia, saya akan selalu mengingat ini. Rasulullah juga menganjurkan kita sebagai umat muslim untuk selalu belajar, belajar, dan belajar hingga akhir hayat. Setiap hari adalah kesempatan bagi kita untuk belajar. Memiliki pemikiran dan inisiatif untuk belajar hal-hal baru tentu sebuah keterampilan tersendiri. Ada ide, cari tahu, lalu pelajari dengan sungguh-sungguh. Kapan itu bermanfaat bagi kita? Suatu saat, pasti. Tidak ada yang sia-sia dalam belajar, kecuali kita memang belajar tentang hal yang negatif. Semua yang kita pelajari, itulah diri kita. Penggambaran siapa diri kita sesungguhnya. Jika minimal kita berfikir tentang sebuah ide, belajarlah untuk lebih kreatif. Bikin sesuatu yang berbeda dari hal yang kita pelajari, dengan cara memodifikasinya menjadi hal yang lebih segar. Kemudian coba jalankan ide tersebut, mulai dari hal yang paling sederhana yang dapat kita lakukan. Itu namanya inovasi.
Coba kita ingat-ingat dan hitung kembali, apa saja minat yang kita miliki. Jangan bilang, tidak ada? Milikilah ketertarikan terhadap sesuatu, agar ada gairah untuk kita belajar lebih banyak tentang hal tersebut. Saya selalu tertarik pada orang-orang yang sukses dan berhasil mantap menekuni bidang yang ia sukai menjadi pilihan karirnya. Masih terus bertanya dan mencari tahu, bagaimana mereka menemukan kepercayaan diri untuk yakin seyakin-yakinnya dan memantapkan diri untuk menjalaninya. Saya masih belajar dan akan selalu mencari tahu tentang itu. Lalu, bagaimana saya memulai?
Awalnya saya iseng, selalu begitu. Saya sering menulis kata kunci yang random berputar-putar di kepala saya. Saya buka informasinya, dan ternyata banyak hal menarik yang saya temukan di sana. Sesuatu yang sebelumya telah saya ketahui maupun hal yang benar-benar baru! Ini salah satu hal yang menyenangkan bagi saya. Biasanya saya search seputar craft, kreatif, menulis, info kesehatan, tokoh, dan seterusnya. Semakin menelusur, saya semakin haus dengan rasa ingin tahu. Who knows, I have much question and I need the answer. Bukan jawaban yang biasa dan sekedarnya. Pasti ada jawaban yang menarik dari pertanyaan yang muncul.
Belajarlah, buat apa punya gadget mewah di tangan kalau miskin ide? Kita terlahir bukan untuk menjai generasi latah yang suka gonta-ganti gadget, mengikuti fitur terbaru, atau ber haha hihi di akun obrolan dan jejaring sosial. Setiap diri kita bertanggung jawab terhadap apa yang kita perbuat, apalagi masa muda adalah salah satu yang harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Masa muda, bukan masa kecil atau masa tua. Selagi muda, banyak-banyaklah berbuat kebaikan. Bukan untuk berbangga-bangga, apalagi masih minta orang tua. Jelas saja mereka rela hartnya untuk diberikan pada kita, orang tua tiada pernah minta balasan harta kok pada kita. Mereka butuh kita menjadi anak yang shalih-shalihah yang kelak mendoakan mereka. Buah dari masa muda kita, panen raya kita nikmati saat kita mulai beranjak menua. Tapi tetaplah belajar selagi nafas masih menyertai kita.
So, sediakan waktu untuk memulai. Belajar hal yang baru, bahkan bukan pada bidang mu. Belajar keluar dari zona nyaman, itulah cara menikmati hidup dengan cara yang baru. Dunia ini terlalu singkat, untuk melakukan hal yang sia-sia. Hanya saj, butuh kata kunci yang tepat untuk memunculkan ide dan mulailah belajar hal yang lebih banyak lagi. Selamat belajar! :)
<photo id="1" />
Wednesday, October 2, 2013
#2 Menyoal Tema
Jeng..jeng.. *back sound song title MAMA (EXO)
Careless careless, shoot anonymous anonymous. Heartless mindless. No one, who care about me?
***
Meratap dikit, boleh ya? udah berapa bulan ya hidup tanpa hape? sebulan? dua bulan? ah, lupa. Lama-lama mikir juga. nanti takutnya ada yang penting dan ada yang nyari (ada gitu?? ya, ada ternyata!), soalnya juga itu nomer hape ane dah disebarin dan bertebaran di muka bumi. Di kampus, hapenya temen-temen seluruh indonesia (cieh), blog, page, nomer bisnis sampe di hangtag ane juga ane nomer itu. Pff, *sigh. Belom tau sih it hapenya yang rusak apa cuman chagernya. Ntar deh ane pikirin lagi.
Jadi, ada hubungannya gak sih sama backsound lagu diatas, hhehehe...
***
Catatan berhashtag ini sejujurnya adalah catatan yang berisi perjalanan saya saat menulis skripsi. Niat awal sih kemarin bgitu, semoga istiqomah ya.. doakan. Catatan suka-suka aja, namanya juga suka-suka. suka-suka judulnya juga isinya, suka-suka ngepostnya kapan, suka-suka penulisnya lah pokoknya. Kebetulan lagi sok sibuk sih dia, katanya pengen skripsinya cepet kelar. Semoga, ini lagi giat terus berdoa dan mohon doa. Jadi, bakalan ngebahas gak jauh-jauh seputar cerita skripsinya dan kejadian yang mengiringinya. Alah, bahasanya kecakepan. Aslinya saya itu gak bisa ngadepin skripsi dan bertatap muka terlalu lama dengannya. Asli, saya nulisnya sempoyongan kalo lebih dari tiga jam. Sehari nulis, dua hari gak pegang. Lupakan. Ini tidak baik. Jadi saya ubah strategi untuk mengerjakan sebentar, istirahat, ngerjakan lagi nanti, istirahat sebentar, dan hasilnya sebentar-sebentar istirahat. Pffiuh... saya berusaha tekun dan istiqomah, karena konon katanya sodara2, Allah lebih seneng amalan kita yang sedikit tapi konsisten. Oke, ini prinsip.
Untuk tema skripsi yang saya garap, adalah tentang "bank syariah". Iya, ekonomi Islam... gak sesuai jurusan ya? emang. susah dong? enggak juga. kenapa nekat amat ambil tema itu? asik aja, minat saya dai dulu emang ekonomi Islam. Cuman nyasar aja di jurusan ekonomi pembangunan. salah jurusan? bisa iya, bisa tidak. Bisa jadi tidak lah... saya selalu bersyukur kok, belajar di mana aja. Nah, karena agak-agak nyeleneh dari jurusan asli saya, saya otomatis harus punya pendirian. Dosen-dosen saya, agaknya juga asik-asik aja. jadi mari kita lanjutkan. Hidup dengan passion, mari kita ikuti aturan mainnya. Putuskan, hadapi dan kerjakan sebaik-baiknya. InsyaAllah sudah mantap ambil tema ini, bahkan dulu awalnya saya ambil jurusan D3 perbankan Syariah kok. Jadi, gak ada yang perlu kita ributin dan digalaukan soal tema ini. Pasti lebih banyak tantangannya dong, secara saya hanya punya bekal yang sedikit tentang ekonomi syariah. Tapi apa daya, saya sudah mengetuk palu sebelum sidang (sidang skripsi maksudnya).
Oke, mari kita berdamai dengan keadaan. Ekonomi syariah, ekonomi Islam, perbankan syariah, oke saya akan berdamai dengan kalian.
Semoga dukungan selalu bersama orang-orang yang yakin. Semoga.
Careless careless, shoot anonymous anonymous. Heartless mindless. No one, who care about me?
***
Meratap dikit, boleh ya? udah berapa bulan ya hidup tanpa hape? sebulan? dua bulan? ah, lupa. Lama-lama mikir juga. nanti takutnya ada yang penting dan ada yang nyari (ada gitu?? ya, ada ternyata!), soalnya juga itu nomer hape ane dah disebarin dan bertebaran di muka bumi. Di kampus, hapenya temen-temen seluruh indonesia (cieh), blog, page, nomer bisnis sampe di hangtag ane juga ane nomer itu. Pff, *sigh. Belom tau sih it hapenya yang rusak apa cuman chagernya. Ntar deh ane pikirin lagi.
Jadi, ada hubungannya gak sih sama backsound lagu diatas, hhehehe...
***
Catatan berhashtag ini sejujurnya adalah catatan yang berisi perjalanan saya saat menulis skripsi. Niat awal sih kemarin bgitu, semoga istiqomah ya.. doakan. Catatan suka-suka aja, namanya juga suka-suka. suka-suka judulnya juga isinya, suka-suka ngepostnya kapan, suka-suka penulisnya lah pokoknya. Kebetulan lagi sok sibuk sih dia, katanya pengen skripsinya cepet kelar. Semoga, ini lagi giat terus berdoa dan mohon doa. Jadi, bakalan ngebahas gak jauh-jauh seputar cerita skripsinya dan kejadian yang mengiringinya. Alah, bahasanya kecakepan. Aslinya saya itu gak bisa ngadepin skripsi dan bertatap muka terlalu lama dengannya. Asli, saya nulisnya sempoyongan kalo lebih dari tiga jam. Sehari nulis, dua hari gak pegang. Lupakan. Ini tidak baik. Jadi saya ubah strategi untuk mengerjakan sebentar, istirahat, ngerjakan lagi nanti, istirahat sebentar, dan hasilnya sebentar-sebentar istirahat. Pffiuh... saya berusaha tekun dan istiqomah, karena konon katanya sodara2, Allah lebih seneng amalan kita yang sedikit tapi konsisten. Oke, ini prinsip.
Untuk tema skripsi yang saya garap, adalah tentang "bank syariah". Iya, ekonomi Islam... gak sesuai jurusan ya? emang. susah dong? enggak juga. kenapa nekat amat ambil tema itu? asik aja, minat saya dai dulu emang ekonomi Islam. Cuman nyasar aja di jurusan ekonomi pembangunan. salah jurusan? bisa iya, bisa tidak. Bisa jadi tidak lah... saya selalu bersyukur kok, belajar di mana aja. Nah, karena agak-agak nyeleneh dari jurusan asli saya, saya otomatis harus punya pendirian. Dosen-dosen saya, agaknya juga asik-asik aja. jadi mari kita lanjutkan. Hidup dengan passion, mari kita ikuti aturan mainnya. Putuskan, hadapi dan kerjakan sebaik-baiknya. InsyaAllah sudah mantap ambil tema ini, bahkan dulu awalnya saya ambil jurusan D3 perbankan Syariah kok. Jadi, gak ada yang perlu kita ributin dan digalaukan soal tema ini. Pasti lebih banyak tantangannya dong, secara saya hanya punya bekal yang sedikit tentang ekonomi syariah. Tapi apa daya, saya sudah mengetuk palu sebelum sidang (sidang skripsi maksudnya).
Oke, mari kita berdamai dengan keadaan. Ekonomi syariah, ekonomi Islam, perbankan syariah, oke saya akan berdamai dengan kalian.
Semoga dukungan selalu bersama orang-orang yang yakin. Semoga.
ini tema skripsi saya |
Monday, September 30, 2013
#1 Skripsi
“Dalam ranah tulis-menulis, cerita anak adalah yang tersulit dan di
ujung ekstremnya yang termudah adalah skripsi…” (YB.
Mangunwijaya-Sastrawan Besar Indonesia)
***
Awalnya kalimat sakti ini ditiupkan oleh saudara kembar saya beberapa waktu lalu. Saya iya-iya aja mengiyakan. Alasan? Ya, karera percaya dan yakin aja. Bahkan saudara saya menjadikan ini sebagai motonya dalam mengerjakan skripsi. Bekerja? Bisa jadi. Saat ini semua kata dan pernyataan yang merujuk bahwa dalam menyusun skripsi itu mudah, gak pakai ribet, dibikin enjoy aja, gampang, kerjakan aja, dan dan dan... seterusnya bakal meghiasi benak dan sanubari saya dalam menghadapi semester cantik aduhai ini. Entah ini karena ingin mensugesti diri sendiri, meyakinkan kemampuan diri, menyemangati diri sendiri, menghibur diri *abaikan yang terakhir, tolong. Skripsi bukanlah penderitaan, tapi bagian dari perjalanan menempuh pendidikan formal. Yah.. itu... juga yang bikin saya berkata yak...bisa jadi, bisa jadi. Biar ada yang nyela dan bikin orang bilang 'sekate-kate aje lu', mari tetap kalem aja dan lanjut ke bab berikutnya.
Ketika mengingat obrolan sore saya kermarin dengan saudari kembar saya, bahwa ukuran kesuksesan menempuh pendidikan formal hingga tingkat yang tertinggi dalam hidupmu adalah ketika engkau menyadari begitu banyak hal yang belum engkau ketahui. Maka selanjutnya, selamat menempuh universitas kehidupan nyata. Tapi, tugas dan kewajiban orang tua itu menanamkan aqidah dan keimanan. Rejeki juga sudah dijamin Allah. Pendidikan tinggi itu untuk membuat anak anak lebih bijaksana dalam bersikap (Budi Oeding). Saya meyakini keduanya ada benarnya.
Kemudian, tiba-tiba saja terlintas potongan pesan dosen saya di semester enam kemaren yang mengingatkan bahwa salah satu fungsi kita berkuliah strata satu adalah mengajak kita untuk berpikir runtut, menjalani segala sesuatu tahap demi tahap, dari A ke Z, semua harus melewati proses. Tidak asal menjalani dengan urutan yang sesuai, alias loncat batu eh loncat-loncat maksudnya. Kata orang bijak, orang SukSes itu Suka proSes. Bukan Suka protes. Juga jangan ngeles melulu kayak bajaj.
Alhamdulillah, sampai tanggal baru di bulan baru ini proposal belum kelar. Mungkin sedikit terlambat. Tapi, apalah arti terlambat jika kita isi dengan penyesalan. Jika nasi jadi bubur, kita hidangkan saja jadi bubur yang lezat. Bubur ayam, misalnya. *jadi laper pengen sarapan bubur. Itu baru kreatif.
Mungkin banyak yang bertanya-tanya (apa gak ada? semoga ada ya, minimal yang sering baca tulisan saya, hehe). Ngarep.
Saya kemana aja? Saya di rumah.
Ngapain aja? Wara-wiri ngerjain skripsi dan tetap mengurus bisnis. Lebih banyak waktu buat keluarga, maklum pas sekolah dan kuliah kayak indekos gak pernah banyak waktu buat keluarga dan urus rumah.
Masih aktif nulis? Alhamdulillah, semakin jarang *ini penyakit yang paling sering kambuh sepanjang usia: malas.
Trus, tambah gimana? Pertanyaan yang sering muncul. Tambah tembem, mungkin. Tapi, sejauh ini baik-baik saja dengan urusan kesehatan. Paling begadangnya mulai kumat lagi *bukan karena skripsi ya.
Oh ya, lagi seneng muter lagu korea nih. Play list-nya album EXO-MAMA dan XOXO. Hiburan, hiburan. Juga lagi tertarik liat NET. Saluran tipi baru itu, kayaknya lumayan.
Sekian basa-basi saya ditengah pengerjaan skripsi ini. Buat yang baca, doain saya ya. Buat nambah semangat, katanya silaturahim bisa jadi charger power untuk kita. Saya target lulus tahun depan, sidang setelah KKN bulan Februari dan Wisuda bulan Mei. #Semoga. Pengen nulis note ini buat pengingat saya aja. Jadi, sebagai antibodi agar saya terhindar terjangkit virus malas.
Karena saya berkeyakinan, tidak ada sesuatu yang tidak selesai. Karena memulai adalah langkah pertama untuk menuju akhir. Itu visi.
Hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa..
-5cm
***
Awalnya kalimat sakti ini ditiupkan oleh saudara kembar saya beberapa waktu lalu. Saya iya-iya aja mengiyakan. Alasan? Ya, karera percaya dan yakin aja. Bahkan saudara saya menjadikan ini sebagai motonya dalam mengerjakan skripsi. Bekerja? Bisa jadi. Saat ini semua kata dan pernyataan yang merujuk bahwa dalam menyusun skripsi itu mudah, gak pakai ribet, dibikin enjoy aja, gampang, kerjakan aja, dan dan dan... seterusnya bakal meghiasi benak dan sanubari saya dalam menghadapi semester cantik aduhai ini. Entah ini karena ingin mensugesti diri sendiri, meyakinkan kemampuan diri, menyemangati diri sendiri, menghibur diri *abaikan yang terakhir, tolong. Skripsi bukanlah penderitaan, tapi bagian dari perjalanan menempuh pendidikan formal. Yah.. itu... juga yang bikin saya berkata yak...bisa jadi, bisa jadi. Biar ada yang nyela dan bikin orang bilang 'sekate-kate aje lu', mari tetap kalem aja dan lanjut ke bab berikutnya.
Ketika mengingat obrolan sore saya kermarin dengan saudari kembar saya, bahwa ukuran kesuksesan menempuh pendidikan formal hingga tingkat yang tertinggi dalam hidupmu adalah ketika engkau menyadari begitu banyak hal yang belum engkau ketahui. Maka selanjutnya, selamat menempuh universitas kehidupan nyata. Tapi, tugas dan kewajiban orang tua itu menanamkan aqidah dan keimanan. Rejeki juga sudah dijamin Allah. Pendidikan tinggi itu untuk membuat anak anak lebih bijaksana dalam bersikap (Budi Oeding). Saya meyakini keduanya ada benarnya.
Kemudian, tiba-tiba saja terlintas potongan pesan dosen saya di semester enam kemaren yang mengingatkan bahwa salah satu fungsi kita berkuliah strata satu adalah mengajak kita untuk berpikir runtut, menjalani segala sesuatu tahap demi tahap, dari A ke Z, semua harus melewati proses. Tidak asal menjalani dengan urutan yang sesuai, alias loncat batu eh loncat-loncat maksudnya. Kata orang bijak, orang SukSes itu Suka proSes. Bukan Suka protes. Juga jangan ngeles melulu kayak bajaj.
Alhamdulillah, sampai tanggal baru di bulan baru ini proposal belum kelar. Mungkin sedikit terlambat. Tapi, apalah arti terlambat jika kita isi dengan penyesalan. Jika nasi jadi bubur, kita hidangkan saja jadi bubur yang lezat. Bubur ayam, misalnya. *jadi laper pengen sarapan bubur. Itu baru kreatif.
Mungkin banyak yang bertanya-tanya (apa gak ada? semoga ada ya, minimal yang sering baca tulisan saya, hehe). Ngarep.
Saya kemana aja? Saya di rumah.
Ngapain aja? Wara-wiri ngerjain skripsi dan tetap mengurus bisnis. Lebih banyak waktu buat keluarga, maklum pas sekolah dan kuliah kayak indekos gak pernah banyak waktu buat keluarga dan urus rumah.
Masih aktif nulis? Alhamdulillah, semakin jarang *ini penyakit yang paling sering kambuh sepanjang usia: malas.
Trus, tambah gimana? Pertanyaan yang sering muncul. Tambah tembem, mungkin. Tapi, sejauh ini baik-baik saja dengan urusan kesehatan. Paling begadangnya mulai kumat lagi *bukan karena skripsi ya.
Oh ya, lagi seneng muter lagu korea nih. Play list-nya album EXO-MAMA dan XOXO. Hiburan, hiburan. Juga lagi tertarik liat NET. Saluran tipi baru itu, kayaknya lumayan.
Sekian basa-basi saya ditengah pengerjaan skripsi ini. Buat yang baca, doain saya ya. Buat nambah semangat, katanya silaturahim bisa jadi charger power untuk kita. Saya target lulus tahun depan, sidang setelah KKN bulan Februari dan Wisuda bulan Mei. #Semoga. Pengen nulis note ini buat pengingat saya aja. Jadi, sebagai antibodi agar saya terhindar terjangkit virus malas.
Karena saya berkeyakinan, tidak ada sesuatu yang tidak selesai. Karena memulai adalah langkah pertama untuk menuju akhir. Itu visi.
Hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa..
-5cm
Tuesday, June 4, 2013
Makna Satu Kata #32 ANDIL: Membangun Kebaikan
Sambil menunggu masuk kelas kewirausahaan kemarin, saya menyempatkan diri ke perpustakaan sebentar. Biasa, sekedar baca-baca artikel di koran untuk menyegarkan fikiran. Saat saya membolak-balik koran republika, ada kolom yang (selalu) menarik untuk saya baca. Yaitu tulisan mbak Asma Nadia, yang kali membahas tentang "MEMBANGUN KEBAIKAN".
Seperti yang beliau sampaikan dalam tulisannya, saya juga yakin saat ini masih banyak orang yang baik. Namun yang menjadi permasalahan, kebanyakan masih diam. Dalam artian untuk menyeru kebaikan dan kebenaran. Perasaan takut, merasa sok baik, dsb. tentu menjadi faktor yang membuat banyak orang masih diam dan ragu dalam menyeru kebaikan. Misal, kita tahu banyak mal yang masih tidak memperhatikan fasilitas ibadah bagi pengnjungnya. Hanya tersedia mushala kecil di basement dekat parkiran. Jika kita ingin pelayanan ditingkatkan, sempatkanlah untuk datang ke customer service untuk mengajukan keluhan. Satu, dua, sepuluh dst. jika setiap kali orang berfikir untuk mengajukan komplain maka pihak manajemen mal pasti akan 'ngeh', dan berusaha meningkatkan kualitas.
Dalam membangun kebaikan, setiap orang harus punya andil yakni mem-follow up kebaikan2 yang ada di sekitarnya. Saat ini media, sosmed, memiliki pengaruh sangat signifikan dijadikan sarana untuk menjalankannya. Memanfaatkan fasilitas retweet, share, atau menuliskan kembali gagasan kebaikan dengan bahasa kita sendiri. Satu orang yang mengutarakan kebaikan, disambung dengan kebaikan-kebaikan yang lain lama kelamaan akan membentuk ikatan yang kuat. Sehingga tidak hanya keburukan yang umum ditunjukkan, namun kebaikan menjadi suatu hal yang wajar dan harusnya memang lebih dapat diterima.
Dalam hadits arba'in yang di riwayatkan oleh Muslim disebutkan, Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.”
Ya, itu semua kebali pada masing-masing. Mau ikut berjuang menerbar kebaikan atau memilih tetap menjadi baik bagi dirinya sendiri dalam DIAM.
Just for share. Semoga Allah mencatat amal baik kita.. :)
Khalila Indriana, 2013
100 hari, kurang berapa hari ini PSH? :P
Saturday, June 1, 2013
Makna Satu Kata #31 RELA: Mari Bermurah Hati!
Kepedulian terhadap sesama merupakan hal yang tak terpisahkan dari sifat-sifat yang menaungi seseorang dalam berperilaku dan bersosialisasi dengan orang lain. Di jaman yang serba hitung-hitungan ini, manusia yang paling mendapat tempat di hati masyarakat adalah yang murah hati. Mereka yang melakukan segala sesuatu atas dasar kerelaan (tulus), bukan dari seberapa besar keuntungan yang akan diraih. Meski memang harus ada pengorbanan bagi orang lain yang ia pedulikan. Kalau bahasa orang jawa, sifat seperti itu disebut "loman", tidak eman-eman. Waktu, tenaga, pikiran seolah-olah sudah lunas terbayar asal orang lain dapat merasakan manfaat dari apa yang kita lakukan. Tanpa pamrih, tanpa mengharap imbalan.
Tuhan menciptakan manusia di muka bumi ini dengan berbagai keutamaan, di antaranya kesabaran dan murah hati (hilm). Rasulullah menegaskan bahwa kesabaran dan kemurahhatian dapat membawa manfaat di dunia dan menghasilkan pahala berlimpah di akhirat. Menurut Ibn Abi Dunya, sabar dan murah hati merupakan puncak keutamaan, sumber kebaikan, dan pokok ketentraman hidup manusia.
Banyak juga yang menganggap orang loman ini sudah langka alias jarang ada. Jadi, kalau menemui orang yang murah hati, ada saja komentar negatifnya yang muncul. Cari muka lah, gila aja jaman gini ada orang yang mau ngasih cuma-cuma, paling baiknya sekali-kali doang, dan seterusnya. Bahkan tak jarang orang yang berbuat baik dan murah hati ini malah dicurigai. Wah, miris juga ya.
Sikap positif dan apresiatif terhadap orang yang murah hati akan menimbulkan kepercayaan diri seseorang untuk senantiasa berbuat baik dan lebih baik lagi. Bukan sekedar maksud menyanjung-nyanjung secara berlebihan, yang justru dapat menimbulkan kesombongan semata. Tetapi, menjadikan sifat murah hati menjadi lazim dalam kehidupan sehari-hari.
Pesan singkat yang ingin saya sampaikan adalah jangan ragu untuk berbuat kebaikan, milikilah sifat murah hati kepada sesama dalam bentuk apa saja. Entah itu harta, waktu, pemikiran, tenaga, lakukan apa saja selama itu beranfaat. Sedikit atau banyak yang mampu kita lakukan, pasti akan ada efeknya bagi orang lain dan kehidupan yang lebih baik. Benarkah tidak perlu hitung-hitungan? Iya, ada Allah yang menjaminnya. Allah punya pahala, Allah punya segalanya. Yakin, perhitungan Allah jauh lebih tepat dan tak diragukan ke-valid-annya.
Murah hati merupakan salah satu sifat Rasullullah yang patut kita teladani. Mengingat cerita Rasulullah yang tetap berbuat baik kepada seorang yahudi buta, tetap setia menyuapinya dengan lemah lembut meski si yahudi sangat membenci beliau. Muhammad sebagai Rasul utusan Allah. Begitulah seharusnya, berbuat baik kepada siapa saja. Bermurah hati dalam rangka mensyukuri nikmat yang Allah karuniakan.
Saya masih ingat betul kata-kata guru agama saya di SMA. Jika kita berani mengatakan nyoh (memberikan yang kita miliki di jalan Allah), maka Allah tanpa ragu akan membalasnya dengan nyoh nyoh nyoh nyoh.... (apapun akan Allah kabulkan). Wallahua'lam. :)
Khalila Indriana, 2013
100 hari, semangat menginsprasi
Tuhan menciptakan manusia di muka bumi ini dengan berbagai keutamaan, di antaranya kesabaran dan murah hati (hilm). Rasulullah menegaskan bahwa kesabaran dan kemurahhatian dapat membawa manfaat di dunia dan menghasilkan pahala berlimpah di akhirat. Menurut Ibn Abi Dunya, sabar dan murah hati merupakan puncak keutamaan, sumber kebaikan, dan pokok ketentraman hidup manusia.
Banyak juga yang menganggap orang loman ini sudah langka alias jarang ada. Jadi, kalau menemui orang yang murah hati, ada saja komentar negatifnya yang muncul. Cari muka lah, gila aja jaman gini ada orang yang mau ngasih cuma-cuma, paling baiknya sekali-kali doang, dan seterusnya. Bahkan tak jarang orang yang berbuat baik dan murah hati ini malah dicurigai. Wah, miris juga ya.
Sikap positif dan apresiatif terhadap orang yang murah hati akan menimbulkan kepercayaan diri seseorang untuk senantiasa berbuat baik dan lebih baik lagi. Bukan sekedar maksud menyanjung-nyanjung secara berlebihan, yang justru dapat menimbulkan kesombongan semata. Tetapi, menjadikan sifat murah hati menjadi lazim dalam kehidupan sehari-hari.
Pesan singkat yang ingin saya sampaikan adalah jangan ragu untuk berbuat kebaikan, milikilah sifat murah hati kepada sesama dalam bentuk apa saja. Entah itu harta, waktu, pemikiran, tenaga, lakukan apa saja selama itu beranfaat. Sedikit atau banyak yang mampu kita lakukan, pasti akan ada efeknya bagi orang lain dan kehidupan yang lebih baik. Benarkah tidak perlu hitung-hitungan? Iya, ada Allah yang menjaminnya. Allah punya pahala, Allah punya segalanya. Yakin, perhitungan Allah jauh lebih tepat dan tak diragukan ke-valid-annya.
Murah hati merupakan salah satu sifat Rasullullah yang patut kita teladani. Mengingat cerita Rasulullah yang tetap berbuat baik kepada seorang yahudi buta, tetap setia menyuapinya dengan lemah lembut meski si yahudi sangat membenci beliau. Muhammad sebagai Rasul utusan Allah. Begitulah seharusnya, berbuat baik kepada siapa saja. Bermurah hati dalam rangka mensyukuri nikmat yang Allah karuniakan.
Saya masih ingat betul kata-kata guru agama saya di SMA. Jika kita berani mengatakan nyoh (memberikan yang kita miliki di jalan Allah), maka Allah tanpa ragu akan membalasnya dengan nyoh nyoh nyoh nyoh.... (apapun akan Allah kabulkan). Wallahua'lam. :)
Khalila Indriana, 2013
100 hari, semangat menginsprasi
Friday, May 31, 2013
Makna Satu Kata #30 JAMAAH: Membeli Kedelai
Tulisan ini lahir berangkat dari ceramah seorang ustadz bernama Ustadz Abdurrohim, dalam sebuah acara pengajian 'peringatan Isra' Mi'raj' di masjid kampungku. Tak seperti biasa, acara malam ini disambut meriah oleh hujan lebat yang ikut hadir, Bersama-sama rombongan jamaah masjid yang tak kalah semangat menembus rinai hujan. Acara berlangsung riuh di serambi masjid. Kontan dingin terasa menusuk kulit, menembus seperti hendak membekukan arteri.
Sang Ustadz yang tampak santai, sudah diwanti-wanti oleh ketua takmir. Agar beliau menyampaikan isi ceramah dengan bahasa yang 'merakyat' alias mudah dicerna jamaah. "Bahasanya jangan tinggi-tinggi, nanti malah tidak paham." Mungkin pengalaman dari ceramah acara sebelumnya, seingat saya memang bahasanya tingkat tinggi. Alhasil, jamaah pun tak bisa mengelak lebih menuruti kantuknya, tidur berjamaah saat pengajian berlangsung.
Satu poin saja yang paling saya ingat, dan paling menarik yang ingin saya utarakan. Yaitu saat si ustadz menjelaskan analogi tentang shalat berjamaah. Shalat berjamaah itu, ibarat kita membeli kedelai. Belinya pasti ombyokkan alias kiloan, langsung banyak. Jika dalam satu kilo ada yang krewek alias boncel eh, apa ya bahasanya... kedelainya kualitasnya kurang bagus maksud saya. Maka, tetap saja kedelai itu akan ikut 'terbeli' karena kita belinya tidak perbiji.
Begitu pula dengan shalat berjamaah. Meski makmum dalam shaf shalat berjamaah tersebut ada yang kewek alias tidak khusyuk shalatnya tetapi jika imamnya saja sudah khusyuk, maka malaikat tetap mencatat seluruhnya dengan status "KHUSYUK". Asyik kan? Itu ustadznya lho yang bilang. tapi, bukan berarti kita bisa seenaknya dalam shalat ya? Kita kan hanya dianjurkan untuk selalu berusaha khusyuk dalam shalat kita. Terlebih, yang saya tahu.. tandanya shalat khusyuk itu bukan saat shalat berlangsung saja. Tapi bagaimana selepas kita shalat, ada perubahan yang signifikan atau tidak dalam hidup kita dan lingkungan kita.
Jadi, memang banyak sekali keutamaan shalat berjamaah. Selain hal tersebut di atas, shalat berjamaah juga dapat mempererat silaturahim, pahala yang berlipat derajatnya, serta dapat meramaikan masjid. Masjid yang bagus bukan hanya yang megah, tapi yang selalu ramai oleh kegiatan jamaah. Apakah yang menulis ini termasuk yang sudah meramaikan masjid? Sayapun masih jauh dari hal tersebut. Doakan ya, semoga segera insyaf. Ramadhan segera datang menyambut, bisa dipastikan masjid-masjid akan makin ramai saat isya', tarawih dan shubuh. Juga saat tadarusan. Full, gak setengah-setengah. Paling baru berguguran kalau sudah mendekati akhir Ramadhan, karena kebanyakan agenda buka bersama. Tapi, pasti ramai juga yang i'tikaf sepuluh hari terakhir. Countdown timer, Rmadhan menanti 39 hari di depan mata. Mari persiapkan diri. Semoga kita diberikan ke-istiqomahan. Aamiin.
Khalila Indriana, 2013.
100 hari, PSH jalan lagi
Sang Ustadz yang tampak santai, sudah diwanti-wanti oleh ketua takmir. Agar beliau menyampaikan isi ceramah dengan bahasa yang 'merakyat' alias mudah dicerna jamaah. "Bahasanya jangan tinggi-tinggi, nanti malah tidak paham." Mungkin pengalaman dari ceramah acara sebelumnya, seingat saya memang bahasanya tingkat tinggi. Alhasil, jamaah pun tak bisa mengelak lebih menuruti kantuknya, tidur berjamaah saat pengajian berlangsung.
Satu poin saja yang paling saya ingat, dan paling menarik yang ingin saya utarakan. Yaitu saat si ustadz menjelaskan analogi tentang shalat berjamaah. Shalat berjamaah itu, ibarat kita membeli kedelai. Belinya pasti ombyokkan alias kiloan, langsung banyak. Jika dalam satu kilo ada yang krewek alias boncel eh, apa ya bahasanya... kedelainya kualitasnya kurang bagus maksud saya. Maka, tetap saja kedelai itu akan ikut 'terbeli' karena kita belinya tidak perbiji.
Begitu pula dengan shalat berjamaah. Meski makmum dalam shaf shalat berjamaah tersebut ada yang kewek alias tidak khusyuk shalatnya tetapi jika imamnya saja sudah khusyuk, maka malaikat tetap mencatat seluruhnya dengan status "KHUSYUK". Asyik kan? Itu ustadznya lho yang bilang. tapi, bukan berarti kita bisa seenaknya dalam shalat ya? Kita kan hanya dianjurkan untuk selalu berusaha khusyuk dalam shalat kita. Terlebih, yang saya tahu.. tandanya shalat khusyuk itu bukan saat shalat berlangsung saja. Tapi bagaimana selepas kita shalat, ada perubahan yang signifikan atau tidak dalam hidup kita dan lingkungan kita.
Jadi, memang banyak sekali keutamaan shalat berjamaah. Selain hal tersebut di atas, shalat berjamaah juga dapat mempererat silaturahim, pahala yang berlipat derajatnya, serta dapat meramaikan masjid. Masjid yang bagus bukan hanya yang megah, tapi yang selalu ramai oleh kegiatan jamaah. Apakah yang menulis ini termasuk yang sudah meramaikan masjid? Sayapun masih jauh dari hal tersebut. Doakan ya, semoga segera insyaf. Ramadhan segera datang menyambut, bisa dipastikan masjid-masjid akan makin ramai saat isya', tarawih dan shubuh. Juga saat tadarusan. Full, gak setengah-setengah. Paling baru berguguran kalau sudah mendekati akhir Ramadhan, karena kebanyakan agenda buka bersama. Tapi, pasti ramai juga yang i'tikaf sepuluh hari terakhir. Countdown timer, Rmadhan menanti 39 hari di depan mata. Mari persiapkan diri. Semoga kita diberikan ke-istiqomahan. Aamiin.
Khalila Indriana, 2013.
100 hari, PSH jalan lagi
Thursday, May 23, 2013
Makna Satu Kata #29 DISTRIBUSI: Buka Kerannya!
"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (QS. Az Zukhruf : 32).
Seringkali kita bertanya tentang keadilan Allah dalam hal pembagian rezeki. Banyak yang bilang, Indonesia hari ini sudah melekat dengan jargon-jargon yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Apa daya, jika disinggung tentang distribusi pendapatan di Indonesia, bisa dipastikan yang muncul adalah ketimpangan yang amat memprihatinkan. Indonesia memiliki banyak milyader dengan asset harta yang melimpah, tetapi di sisi lain banyak yang terbelit soal kemiskinan. Kontras. Apabila kita gambarkan dengan kurva Lorenz, garis kurva yang seharusnya lurus akan melengkung kian jauh dari harapan. Seperti ayat di awal tulisan ini menyebutkan, memang Allah-lah yang mengatur pembagian rezeki kepada hambanya. Allah yang mengatur penghidupan kita (ma'isyah kita) bukan orang lain, bukan pelanggan, bukan pimpinan perusahaan dan bukan diri kita, tapi Allah-lah yang menentukan seberapa banyak rezeki kita hari ini dan esok.
Lalu, apakah Allah adil? Tentu, karena Allah itu Maha Adil (Al-'Adl). Tinggal bagaimana kita mampu berlaku adil pada diri kita dalam berjuang meraih hak-hak kita. Meskipun Allah telah menjamin rezeki yang terhampar di muka bumi ini akan cukup untuk seluruh umat manusia, bukan berarti kita bebas berpasrah apalagi berleha-leha. Kita harus tetap berusaha. Mengapa? Ketahuilah, kita tidak pernah tahu takdir kita sebelum takdir itu terjadi. Oleh karena itu tetaplah berusaha bekerja sungguh-sungguh dan banyak beramal kebaikan untuk menyambut takdir kita, karena kita akan dipermudah menuju takdir kita. Meraih takdir terbaik kita.
Lebih jauh kita memaknainya, rezeki itu setidaknya ada tiga macamnya. Pertama, rezeki yang dijamin oleh Allah SWT. Allah berfirman, yang artinya, "Tidak suatu binatangpun (termasuk manusia) yang bergerak di atas bumi ini yg tidak dijamin oleh Allah rezekinya" (QS. Hud/11: 6). Rezeki yang berperan sebagai penguat tubuh kita, minimal untuk menjaga tubuh kita tetap hidup. Meski kita sedang sakit, dalam perjalanan, di pedalaman paling pelosok bahkan ketika masih di kandung ibu kita Allah masih memberikan curahan kasih sayang kepada hambanya. Ia tidak akan dibiarkan kelaparan. Ia mencukupkan segala yang kita butuhkan, bahkan tanpa kita memintanya.
Kedua, rezeki yang digantungkan. Sebagaimana Allah menyebutkan, "Tidaklah manusia mendapat apa-apa, kecuali apa yg telah dikerjakannya" (QS. 53: 39). Jadi, dibutuhkan usaha untuk mendapatkannya. Semakin besar usaha yang kita kerjakan, makin banyaklah rezeki yang mengalir pada kita. Allah membalas apa yang kita lakukan dengan tepat dan kadar yang sesuai. Apapun ikhtiar kita, selama itu tidak menyalahi aturan-Nya maka bisa dipastikan hasilnya juga akan sepadan. Bukan usaha yang sekedarnya, tapi dilandasi dengan kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas. Berdoa dan terus berhusnudzon pada Allah akan membuat rezeki kita semakin lancar.
Ketiga, rezeki yang dijanjikan. Bersyukur akan menambah nikmat, setidaknya itulah janji allah dalam Al-Qur'an, “... Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. Ibrahim/14: 7). Dalam Ayat lain, Allah telah berjanji akan melipat gandakan rezeki kita sepuluh bahkan tujuh ratus kali lipat apabila kita mau menafkahkan rezeki itu di jalan-Nya lewat sedekah. Janji Allah itu selalu benar, maka jangan teus menerus menuntut janji Allah. Tetapi justu banyak-banyaklah berfikir bagaimana untuk memenuhi janji kita pada Allah sebagai hamba-Nya. Sholat yang baik, sedekah rajin, serta beramal shalih setiap waktu.
Nah, bagi kita yang masih merasa rezeki kita seret, pas-pasan, bahkan kurang maka kita tidak boleh berhenti beputus asa akan hadirnya rahmat Allah. Karena sudah jelas, dalam perhitungan Allah pendistribusian rezeki itu sangat detail dan 'profesional' sehingga mustahil akan adanya kekeliruan atau semacam rezeki yang tertukar. Jika sumber rezeki itu adalah Allah, maka pekerjaan yang kita lakukan berfungsi sebagai kerannya. Keran hanya berfungsi megalirkan 'jatah' rezeki kita. Jadi, jika sumbernya ada (Allah), wadah tempat penampunganya juga tersedia (kita), apa yang seharusnya kita lakukan? Tentu saja membuka kerannya (pekerjaan, bisnis, perusahaan, dll). Kita ikuti aturan atau ketetapan dari-Nya. Banyak yang bisa kita lakukan untuk membuka keran rezeki itu, antara lain dengan doa, ikhtiar, shalat sunnah tahajjud, sholat dhuha, dan sedekah. Oh ya, silaturahim juga termasuk. Utamanya tentang sedekah yang dapat melipat gandakan rezeki yang kita terima, ia ibarat pompa yang dapat memperderas arus rezeki yang masuk pada kita. Niatkanlah dengan baik agar Allah ridho dengan itu semua.
Demikianlah Allah telah banyak menerangkan tanda kekuasaannya. Menyoal distribusi rezeki yang telah Allah atur skenarionya, tinggal bagaimana kita menempuh babak demi babak episodenya. Berperan aktif menghidupkan kehidupan yang singkat ini dengan penuh rasa syukur atas karunia-Nya. Rezeki sudah ada yang mengatur. Rezeki tidak perlu di cari, tapi dijemput. Di mana? Tentu dengan terus bergerak, berdekat-dekat dengan sumbernya yaitu Allah SWT. So, jangan pernah takut kemiskinan, karena kekayaan yang besar justru lahir dari hati yang ikhlas pada segala ketentuan Tuhannya. Semangat menjemput rezeki!
Khalila Indriana, 2013
100 hari, menumpahkan amunisi.
Tuesday, May 21, 2013
Makna Satu Kata #28 CHEMISTRY: Terbangun Karena Terbiasa
Tidak ada alasan khusus ketika saya mulai menulis tentang ini. Hanya terbersit pernah mendengar istilah chemistry ini erat kaitannya dengan suatu kecocokan dalam sebuah interaksi yang terjadi antar personal. Sehubungan dengan arti kata, chemistry
yaitu suatu reaksi kimiawi yang biasa dalam bahasa sehari-hari
digunakan untuk menggambarkan ‘konektivitas’, ketersambungan hubungan
antara seseorang dengan orang lain. Secara sederhana, chemistry
dapat diartikan sebagai keterikatan batin atau kontak batin satu sama
lain. Hal ini bisa terjadi pada siapa saja terhadap siapa saja.
Maksudnya, siapa pun dapat menemukan chemistry-nya pada siapa saja.
Chemistry yang saya maksud tentu tidak hanya terjadi melulu soal hubungan percintaan lawan jenis. Ya, ini memang diperlukan juga. Karena cinta tanpa adanya chemistry , seringkali memicu keretakan karena kebosanan dan ketidakcocokan di kemudian hari. Cepat atau lambat. Terlebih lagi dalam hubungan pertemanan, rekan kerja, anggota komunitas, chemistry sangat mempengaruhi kinerja serta kualitas suatu hubungan yang terjalin. Ketika kita memiliki sebuah kesempatan dimana kita bertemu dengan seseorang atau lebih yang memiliki visi, pandangan dan ketertarikan yang sama maka kita cenderung ingin mendekat dengannya. Mengapa? Karena kita merasa ide-ide yang kita fikirkan diterima. Selaras. Kita bilang begini, ia setuju. Ia berpendapat demikian, dengan cepat kita mengiyakan. Bahkan terkadang hal ekstrim yang terjadi kemudian adalah kita berusaha mencocok-cocokkan saja apa yang ada, hanya berfokus pada hal-hal yang disuka. Tanpa sadar kita tidak menunjukkan diri kita yang sebenarnya.
Lalu, apakah kita yang awalnya tak ada chemistry sama sekali, tidak dapat berjalan bersama? Mungkin tidak juga, selama kita mau mengkondisikannya. Kalau Ustadz Salim A.Fillah bilang, yang diperlukan itu nadzar, melihat. Bukan sekedar ta'aruf. Melihat sesuatu yang paling menarik dari diri seseorang. Tidak perlu banyak-banyak tahu, tapi kita menerimanya dulu. Baru setelahnya kita akan temukan keunikan-keunikan dan kejutan darinya. Chemistry bukan hanya perkara persamaan yang segala sesuatunya begitu sempurna, cocok dalam setiap pertemuan, pembicaraan terasa menakjubkan. Tetapi bagaimana cara kita membangunnya menjadi sebuah dimensi keberagaman yang saling melengkapi, mewarnai, semakin menarik untuk terus dilanjutkan dijalani. Jadi, chemistry itu bukan semata-mata terbatas pada anugerah yang maha kuasa tetapi juga dapat terbangun karena terbiasa. Kuncinya tetap pada kejujuran, keterbukaan, komunikasi yang baik serta komitmen untuk mempertahankannya selalu seimbang.
Pribadi saya ingin menyampaikan, saya sendiri belum seratus persen berani berkata saya telah memahami ini. Masih dalam tataran pemahaman yang dangkal, untuk dapat pembaca kritisi. Dalam rangka belajar membangun cemistry antara saya dan Anda lewat apa yang saya tuliskan.
Khalila Indriana, 2013.
100 hari, sudah H-50 menuju Catatan Ramadhan.
Chemistry yang saya maksud tentu tidak hanya terjadi melulu soal hubungan percintaan lawan jenis. Ya, ini memang diperlukan juga. Karena cinta tanpa adanya chemistry , seringkali memicu keretakan karena kebosanan dan ketidakcocokan di kemudian hari. Cepat atau lambat. Terlebih lagi dalam hubungan pertemanan, rekan kerja, anggota komunitas, chemistry sangat mempengaruhi kinerja serta kualitas suatu hubungan yang terjalin. Ketika kita memiliki sebuah kesempatan dimana kita bertemu dengan seseorang atau lebih yang memiliki visi, pandangan dan ketertarikan yang sama maka kita cenderung ingin mendekat dengannya. Mengapa? Karena kita merasa ide-ide yang kita fikirkan diterima. Selaras. Kita bilang begini, ia setuju. Ia berpendapat demikian, dengan cepat kita mengiyakan. Bahkan terkadang hal ekstrim yang terjadi kemudian adalah kita berusaha mencocok-cocokkan saja apa yang ada, hanya berfokus pada hal-hal yang disuka. Tanpa sadar kita tidak menunjukkan diri kita yang sebenarnya.
Jika kita menginginkan hubungan yang baik berlangsung, menghilangkan kepalsuan itu penting, kata Mira Kirshenbaum, penulis Is He Mr. Right? Everything You Need to Know Before You Commit. "Tidak menjadi diri sendiri adalah kesalahan yang sering orang perbuat saat tahap pendekatan," kata Kirshenbaum. "Mereka takut jika terlalu terbuka orang yang dimaksud tidak akan tertarik." Maka, chemistry begitu terasa kuat awal-awal lalu memudar seiring waktu berjalan.
Lalu, apakah kita yang awalnya tak ada chemistry sama sekali, tidak dapat berjalan bersama? Mungkin tidak juga, selama kita mau mengkondisikannya. Kalau Ustadz Salim A.Fillah bilang, yang diperlukan itu nadzar, melihat. Bukan sekedar ta'aruf. Melihat sesuatu yang paling menarik dari diri seseorang. Tidak perlu banyak-banyak tahu, tapi kita menerimanya dulu. Baru setelahnya kita akan temukan keunikan-keunikan dan kejutan darinya. Chemistry bukan hanya perkara persamaan yang segala sesuatunya begitu sempurna, cocok dalam setiap pertemuan, pembicaraan terasa menakjubkan. Tetapi bagaimana cara kita membangunnya menjadi sebuah dimensi keberagaman yang saling melengkapi, mewarnai, semakin menarik untuk terus dilanjutkan dijalani. Jadi, chemistry itu bukan semata-mata terbatas pada anugerah yang maha kuasa tetapi juga dapat terbangun karena terbiasa. Kuncinya tetap pada kejujuran, keterbukaan, komunikasi yang baik serta komitmen untuk mempertahankannya selalu seimbang.
Pribadi saya ingin menyampaikan, saya sendiri belum seratus persen berani berkata saya telah memahami ini. Masih dalam tataran pemahaman yang dangkal, untuk dapat pembaca kritisi. Dalam rangka belajar membangun cemistry antara saya dan Anda lewat apa yang saya tuliskan.
Khalila Indriana, 2013.
100 hari, sudah H-50 menuju Catatan Ramadhan.
Saturday, May 18, 2013
Makna Satu Kata #27 PERANG: Bertahan untuk Menang
Ingatanku melesat
saat usiaku masih kanak-kanak. Cerita ini sedikit konyol sebenarnya,
biarlah. Tapi, amat berkesan dan memberiku pelajaran berharga. Suatu
hari, ibuku berniat mengajakku jalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan.
Akupun jejingkrakan senang bukan main, jarang-jarang karena dulu masih langka anak kecil bisa nge-mall sendirian. Mana berani. Ibuku juga sibuk, karena itu harus meluangkan waktu untuk sekedar menemani anak-anaknya main. Aku senang karena sebentar lagi impian kecilku main ke timezone akan segera terwujud. Anak udik yang
biasanya main di sawah, kini akan bersua dengan berbagai mainan serba
modern kala itu. Sulit bagiku membayangkan bangunan tinggi, megah dan
berlantailicin itu. Membayangkan bagaimana aku naik ke lantai tertinggi,
naik tangga?Aku pasti minta gendong.
Hari yang ku tunggu tiba. Senangnya, oh senangnya. Bertiga Ibu, aku dan adikku naik bus mini ke kota. Sekitar tiga puluh menit, sampai di depan mall aku dirundung sedikit kecewa. Ternyata kami kepagian. Semangat heboh-heboh dari rumah tadi berangsur memudar. Masih satu jam lagi baru buka. “Sabar, ini mungkin ujian,” hiburku dalam hati. Hahaha. Untunglah kami tidak sendiri, banyak juga yang mengantri. Jika mengingat kisah ini, aku senyum-senyum sendiri atas kekonyolan kami.
Jam buka sebentar lagi, petugas tengah bersiap depan pintu. Bagai pagar betis, kami barisan calon pengunjung tak mau kalah. Sedetik setelah gerbang di buka, detik itu juga kami menyeruak bagai air bah menjebol bendungan yang tak kuat menahan arus. Ah, mungkin ceritanya jadi lebay. Tapi, memang begitu adanya. Pengalaman masa kanak-kanak yang benar norak. Tanpa ba-bi-bu kami langsung menuju lantai tiga. Oh, ternyata kami dimanja. Ada tangga yang bisa berjalan, kami besorak karena tak perlu capek naik tangga diam. Ini norak jilid dua. Aku dan adikku sok berani, ibuku ngeri. Jadi beliau yang naik tangga biasa. Nanti ketemu di lantai tiga ya, begitu pesan beliau sok bijak. Hahaha.
Sampai juga di lantai tiga. Sensasi sang eskalator masih membuatku mual. Tapi aku senang, hamparan mainan tengah menanti di hadapanku. Mainan injak-injak tombol, motor-motoran, mandi bola, ambil boneka, dan banyak lagi. Seingatku, aku lebih banyak melihat-lihat. Karena aku sepertinya juga tidak bisa kalau disuruh memainknnya. Ada permainan yang aku jajal, yaitu mainan capit-capit dapat boneka. Cara mainnya, masukkan koin yang bisa kita dapatkan dengan membelinya ke petugas, lalu tekan tombolnya arahkan ke segunung boneka lucu-lucu di wadah kaca mirip akuarium. Capit, lalu arahkan kecorong agar bonekanya lahir. Hap, si boneka sasaran tadi jadi deh milik kita. Tapi, malang.Berkali-kali mencoba, aku gagal mendapatkan sebuah-pun dari boneka-boneka itu sampai koinku habis. Gemas, rasanya ingin menangis saja di bawah mesin boneka. Huhuhu.
Cring..! Tiba-tiba pandanganku tersita pada sesosok boneka teletubbies warna ungu favoritku, Tinky Winky! Ia tergeletak lunglai tak berdaya di bawah tempat pengambilan boneka di mesin samping tempatku main. Jelas itu bukan hasil tangkapanku, pasti ada yang tidak mengambilnya tadi. Aha! Bagaimana kalau aku mengambilnya, sayang kan kalau dibiarkan disana tidak ada yang memilikinya? Tapi, itu kan bukan milikku? Perang batinpun dimulai. Ah, tapi kan tak ada yang lihat? Tapi kan Allah Maha Melihat? Aku belum dapat satupun boneka lucu! Ah, belum rezeki kali. Boneka ungu, jelas juga bukan rezekimu. Kamu tidak berhak memilikinya.
Dan akhirnya aku menyerah. Kutinggalkan boneka itu tetap di sana. Aku tak peduli lagi, ia melambai-lambai tersenyum padaku. Aku selalu diajarkan untuk tidak mengambil barang yang bukan hak ku, meski benda itu sangat kuinginkan. Meski ia ada di depan mata ku. Walaupun takkan ada yang melihatku mengambilnya, ada yang maha melihatku. Pelajaran penting ini sangat melekat dalam ingatanku hingga hari ini. Kecuali dalam hal meraih rezeki yang halal, jika ia sudah ada di depanmu maka kita harus berjuang mendapatkannya. Toh jika belum rezekimu, maka ia takkan sampai ke kerongkonganmu.
Aku pulang. Meski tanpa boneka itu. Tapi aku berhasil memenangkan gejolak perang batinku. Aku menang, karena aku bertahan. Bertahan pada prinsip yang ku yakini. Aku pulang dengan perasaan adem, seadem saat menikmati es krim connello rasa cokelat yang ibu belikan untukku. Bahagia rasanya.
Khalila Indriana, 2013.
100 hari, inspirasi masa laluyang menyelinap di ingatanku.
Hari yang ku tunggu tiba. Senangnya, oh senangnya. Bertiga Ibu, aku dan adikku naik bus mini ke kota. Sekitar tiga puluh menit, sampai di depan mall aku dirundung sedikit kecewa. Ternyata kami kepagian. Semangat heboh-heboh dari rumah tadi berangsur memudar. Masih satu jam lagi baru buka. “Sabar, ini mungkin ujian,” hiburku dalam hati. Hahaha. Untunglah kami tidak sendiri, banyak juga yang mengantri. Jika mengingat kisah ini, aku senyum-senyum sendiri atas kekonyolan kami.
Jam buka sebentar lagi, petugas tengah bersiap depan pintu. Bagai pagar betis, kami barisan calon pengunjung tak mau kalah. Sedetik setelah gerbang di buka, detik itu juga kami menyeruak bagai air bah menjebol bendungan yang tak kuat menahan arus. Ah, mungkin ceritanya jadi lebay. Tapi, memang begitu adanya. Pengalaman masa kanak-kanak yang benar norak. Tanpa ba-bi-bu kami langsung menuju lantai tiga. Oh, ternyata kami dimanja. Ada tangga yang bisa berjalan, kami besorak karena tak perlu capek naik tangga diam. Ini norak jilid dua. Aku dan adikku sok berani, ibuku ngeri. Jadi beliau yang naik tangga biasa. Nanti ketemu di lantai tiga ya, begitu pesan beliau sok bijak. Hahaha.
Sampai juga di lantai tiga. Sensasi sang eskalator masih membuatku mual. Tapi aku senang, hamparan mainan tengah menanti di hadapanku. Mainan injak-injak tombol, motor-motoran, mandi bola, ambil boneka, dan banyak lagi. Seingatku, aku lebih banyak melihat-lihat. Karena aku sepertinya juga tidak bisa kalau disuruh memainknnya. Ada permainan yang aku jajal, yaitu mainan capit-capit dapat boneka. Cara mainnya, masukkan koin yang bisa kita dapatkan dengan membelinya ke petugas, lalu tekan tombolnya arahkan ke segunung boneka lucu-lucu di wadah kaca mirip akuarium. Capit, lalu arahkan kecorong agar bonekanya lahir. Hap, si boneka sasaran tadi jadi deh milik kita. Tapi, malang.Berkali-kali mencoba, aku gagal mendapatkan sebuah-pun dari boneka-boneka itu sampai koinku habis. Gemas, rasanya ingin menangis saja di bawah mesin boneka. Huhuhu.
Cring..! Tiba-tiba pandanganku tersita pada sesosok boneka teletubbies warna ungu favoritku, Tinky Winky! Ia tergeletak lunglai tak berdaya di bawah tempat pengambilan boneka di mesin samping tempatku main. Jelas itu bukan hasil tangkapanku, pasti ada yang tidak mengambilnya tadi. Aha! Bagaimana kalau aku mengambilnya, sayang kan kalau dibiarkan disana tidak ada yang memilikinya? Tapi, itu kan bukan milikku? Perang batinpun dimulai. Ah, tapi kan tak ada yang lihat? Tapi kan Allah Maha Melihat? Aku belum dapat satupun boneka lucu! Ah, belum rezeki kali. Boneka ungu, jelas juga bukan rezekimu. Kamu tidak berhak memilikinya.
Dan akhirnya aku menyerah. Kutinggalkan boneka itu tetap di sana. Aku tak peduli lagi, ia melambai-lambai tersenyum padaku. Aku selalu diajarkan untuk tidak mengambil barang yang bukan hak ku, meski benda itu sangat kuinginkan. Meski ia ada di depan mata ku. Walaupun takkan ada yang melihatku mengambilnya, ada yang maha melihatku. Pelajaran penting ini sangat melekat dalam ingatanku hingga hari ini. Kecuali dalam hal meraih rezeki yang halal, jika ia sudah ada di depanmu maka kita harus berjuang mendapatkannya. Toh jika belum rezekimu, maka ia takkan sampai ke kerongkonganmu.
Aku pulang. Meski tanpa boneka itu. Tapi aku berhasil memenangkan gejolak perang batinku. Aku menang, karena aku bertahan. Bertahan pada prinsip yang ku yakini. Aku pulang dengan perasaan adem, seadem saat menikmati es krim connello rasa cokelat yang ibu belikan untukku. Bahagia rasanya.
Khalila Indriana, 2013.
100 hari, inspirasi masa laluyang menyelinap di ingatanku.
Friday, May 17, 2013
Makna Satu Kata #26 TOLONG: Tentang Mengapa Kita Sedia Berbuat
Manusia sebagai makhluk sosial, diciptakan ke dunia ini tidak sendiri.
Mereka hidup bersama dan berinteraksi satu sama lain karena dasar saling
membutuhkan, memberi juga menerima. Masing-masing telah dikaruniakan
kelebihan di samping kekurangan, itu sunatullah. Seperti firman-Nya yang
termaktub dalam surah Al-Nahl ayat 71,
“Dan Allah melebihkan sebagian kamu
dari sebagian yang lain dalam hal rezeki (lantaran usaha masing-masing kamu
jelas berbeda-beda). Tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak
mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka
sama (merasakan) rezeki itu. Apakah mereka mengingkari (dan tidak mensyukuri)
nikmat Allah?”
Kelebihan itu bukan untuk kita jadikan bahan berbangga diri semata,
tetapi untuk mengembangkan diri serta menumbuhkan rasa untuk berbagi.
Semakin kita mengerti setiap hal yang kita miliki terdapat hak orang lain, maka
tiada keraguan untuk memberi. Ada Allah yang maha Memiliki apa yang ada di
langit, di bumi serta di antaranya. Memiliki sikap berbagi adalah wujud
tanggung jawab terhadap amanah yang Ia titipkan pada kita.
Ketika saya belajar tentang ekonomi misalnya, hubungan interaksi tersebut
bisa terwujud dalam suatu kegiatan berbisnis. Ada etika yang harus kita ikuti
agar tujuan bersama dapat tercapai, saling menguntungkan dari kedua belah pihak
dan bukan sebaliknya. Syed Nawab Haidar Naqvi, dalam buku “Etika dan Ilmu
Ekonomi: Suatu Sistesis Islami”, memaparkan empat aksioma etika ekonomi, yaitu,
tauhid, keseimbangan (keadilan), kebebasan, tanggung jawab.
Pertama,
tauhid menyadarkan bahwa manusia adalah makhluk ilahiyah yakni makhluk yang
bertuhan. Jadi, ketika ia melakukan kegiatan apapun termasuk berbisnis maka hal
tersebut ia lakukan semata-mata karena menjalankan perintah Allah SWT. Selalu
ada kontrol diri, karena ia menyadari bahwa ia berada dalam pengawasan-Nya. Kedua,
keseimbangan dan keadilan mengedepankan setiap perilaku bisnis harus seimbang
dan adil. Ia tidak akan mengagungkan kepemilikan harta individu yang
berlebihan, namun setiap keping harta ada fungsi sosial yang harus
diperhatiakan di sana.
Ketiga,
kebebasan. Artinya, manusia memiliki hak kebebasan untuk melakukan
aktivitas bisnis. Jika kita mengikuti aspek dalam bermuamalah, maka berlaku
padanya kaidah umum, “Semua boleh kecuali
yang dilarang”. Namun, kebebasan di sini tentu mengedepankan prinsip
kebebasan yang adil dan bertanggungjawab. Keempat, tanggung
jawab. Pada dasarnya segala sesuatu kelak akan di mintai pertanggungjawabannya.
Termasuk tanggung jawab moral terhadap Allah SWT dalam setiap gerak bisnis yang
kita jalankan.
Secara praktik, etika bisnis yang sesuai syariat telah di contohkan oleh
Rasulullah SAW ketika beliau berdagang. Paling mendasar adalah soal
kejujuran beliau sampai-sampai gelar Al-Amin sangat
melekat pada sosok Rasulullah. Banyak sekali yang dapat kita teladani agar
bisnis yang kita jalani menjadi berkah tersendiri bagi semua yang terlibat,
jadi bukan hanya berpusat pada kepentingan pribadi. Kembali pada judul tulisan
saya kali ini. Setiap perbuatan kita tentu memiliki landasan yang menggerakkan
diri kita mau melakukannya, termasuk dalam bisnis yang kita jalani. Mengapa kita
bersedia melakukannya untuk orang lain? Padahal terkadang hal tersebut kurang
menguntungkan bagi kita.
Dalam ekonomi Islam, pelaku bisnis tidak semata-mata mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya namun juga berorientasi pada ta’awun (menolong
orang lain). Caranya dengan mempermudah orang lain yang berbisnis dengan kita
untuk meraih rezeki. Niat berbisnis karena Allah akan membuat kita sadar untuk
lebih peduli terhadap kepentingan makhluk Allah yang lain. Selalu ingat, jika
kita memudahkan orang lain, maka Allah akan memudahkan urusan kita. Karena
mencari rezeki yang halal adalah perintah agama yang kita yakini, maka peran
kita menjadi begitu besar. Sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an surat
Muhammad ayat 7,
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya
Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
Menolong, bukan sekedar mengasihani. Ketika kita tak lagi mengerti,
mengapa banyak manusia yang enggan menjalani.
Khalila Indriana, 2013.
100 hari, inspirasi yang harus dikemas lebih rapi
Makna Satu Kata #25 SUJUD: Barangkali Inilah Titik Nol-ku (Part 2)
(Baca dulu Makna satu kata 24 PART 1 ya...)
Uangku kembali tiga ribu rupiah. Si penjaga kasir mengembalikannya utuh, tanpa embel-embel permen khas kasir swalayan kecil. Usai menyelesaikan urusanku dengan kasir, aku menoleh sembari mencari keberdaan Fiya dan Hanif. Kudengar ada suara meneriakiku dari arah pintu keluar.
"Khalila, sini..!" teriak Hanif, suaranya khas sekali.
Aku berjingkat menghampiri mereka. Lalu mengambil langkah beiringan keluar dari toko buku, sepertinya tidak sempat kalau mau jalan-jalan berkeliling lagi. Jam menunjukkan hampir pukul lima sore.
“Sholat dulu yuk, sudah sore nih,”ajak Hanif.
“Ashar? Kita tadi sudah, di rumah. Kan tadi sudah masuk ashar sebelum kita berangkat,” sahut Fiya.
Hanif terperanjat. Ia tidak menyangka hanya dia yang belum shalat, kamipun bergegas turun cari mushola. Salahku juga, tadi tidak memberitahunya. Aku ingat, kalau dia tadi dia tidak berangkat dari rumah. Tapi, masih ada waktu mengejar waktu shalatnya. Meski sepertinya sudah injury time kalau dalam permainan sepak bola.
Kami menyusuri jalan setapak ke basement pusat perbelanjaan itu. Terdengar suara bising mobil dan motor yang keluar masuk parkiran. Hanif bertanya ke salah satu petugas, di mana letak mushala. Oh, ternyata mushalanya berada di pojokan sebelah kiri dari pintu masuk. Kulihat ada beberapa keran berjajar dekat pintu. Tempat wudhunya terbuka, jadi jangan harap ada tempat untuk wudhu muslimah-akhwat. Kami bertiga beringsut masuk ke mushala.
Mushala kecil itu tak ubahnya ruangan sempit sekitr tujuh kali empat meter persegi. Dengan karpet warna abu-abu yang tergelar di lantai marmer warna putih. Dindingnya biru dengan gradasi mendekati putih, cukup senada dengan karpet tadi. Dindingnya lembab, kusam dan mengelupas sana sini. Di atap sebelah selatan ku lihat pipa-pipa air menggantung, semerawut. Apa tidak takut bocor? Lalu, ada tulisan standar yang akan terinjak siapapun yang hendak masuk, ‘BATAS SUCI’. Di lantai tepat di pintu masuk. Itu artinya dalam mushala kecil ini suci, di luar tidak. Itu, tulisannya seolah mengatakan tegas demikian. Ah, memikirkannya saja aku bingung. Hehe. Aku dan Fiya tercengang berjamaah. Apakah ini masih layak disebut tempat ibadah? Agaknya sulit dipercaya.
Hanif khusyuk dalam sujud rakaat terakhirnya. Sujud memang selalu mendamaikan, bagi yang melakukan bahkan bagi yang melihatnya. Usai shalat dan berdoa, Hanif mendekat menghampiri kami. Bebincang sebentar tentang aktifitas kami sehari-hari. Biasanya kami hanya mengobrol di jejaring sosial, sebagai salah satu sarana kami berkomunikasi.
“Nif, hari ini kamu gak ada acara kan?” tanyaku takut-takut. Takut, kalau ia sebenarnya ada agenda lain.
“Ndak ada kok, dirimu-dirimu itu yang sibuk terus. Mungkin aku yang terlalu banyak waktu luangnya,” Hanif tersenyum simpul.
“Haha, apa gitu ya?” Kamitergelak mendengar ungkapannya yang jujur. Ada benarnya juga, mungkin aku dan Fiya yang terlalu sibuk. Sehingga perjalanan yang kami alami hari ini sungguh sangat jarang terjadi, beberapa tahun setelah kami lulus seolah dasar. Hanya dapat memanfaatkan sebaik-baiknya quality time yang kami miliki sekarang.
“Eh, Nif. Kamu ngerasa ada yang aneh gak? Masa di mal sebear ini, mushalanya terletak dekat parkiran gini? Kenapa tidak di lantai atas saja, ya? Heran.” Ujar Fiya.
“Padahal pas di lantai tiga, aku sempat ke bagian pojok toko. Di sana tenang sekali. Lagian, lebih banyak tempat bersih kan kalau di dalam tadi.” Aku ikutan menggerutu.
“Iya juga ya, kayaknya tidak ada prioritas fasilitas gitu untuk aktifitas sekelas ibadah.” Hanif menimpali sambil terus tertawa mendengar protes kami.
Aku sibuk membuka-buka buku. Menimbang-nimbang, kiranya berapa lama waktu untuk membacanya sampai habis.
Perjalanan keliling adalah lingkaran yang sempurna: awal adalah akhir, tiada awal tiada akhir. Aku kembali ke titik nol.
Kubaca sepenggal kalimat di halaman limapuluh sembilan buku Agustinus Wibowo yang barusan kubuka segelnya. Aku terpekur dalam diam. Ingat posisiku di dalam sebuah mushala. Terbersit pemikiran dan pemahaman baru. Bagi seorang muslim, shalat adalah tiang agama. Ia menjadi amalan yang kelak ditimbang lebih dahulu daripada amalan-amalan lainnya. Salah satu gerakan shalat favoritku adalah sujud. Pernah kubaca, ketika sujud kita berada pada titik terendah, sekaligus tertinggi. Sebagai manusia yang rendah dihadapan Tuhan yang Maha Besar, juga sujud adalah wujud penghambaan tertinggi dengan menyebut nama-Nya. Tersadar, aku ingin sekali memperbaiki shalatku. Karena shalat adalah ibadah sepanjang waktu, sejak akil baligh hingga batas usia kita hidup.
Manusia seringkali disibukkan dengan segala aktifitas duniawi kita yang padat. Tugas-tugas sebagai khalifah di muka bumi yang tak terhitung. Namun, ada lima waktu wajib untuk seorang muslim bersujud pada-Nya. Rehat, menyandarkan takdir hidup dalam tiap sujud. Bagiku, barangkali inilah titik nol kita sebagai seorang muslim. Shalat, aktivitas , lalu shalat lagi begitu terus berulang seperti lingkaran yang tiada putus. Pada akhirnya setiap makhluk bernyawa akan kembali pada-Nya, bersujud menghambakan diri di hadapan Allah SWT. Karena Shalat bukan sekedar rutinitas. Sepertinya aku memaknai titik nol-ku lebih cepat, sebelum aku membaca buku yang aku beli. Sujud dalam shalat sebagai titik nol seorang muslim untuk menjalani segala sisi kehidupnya.
“Sudah hampir maghrib nih, ayo kita shalat di tempat lain saja. Di Masjid Agung dekat alun-alun lebih nyaman, InsyaAllah.” Ajakan Hanif menyeret kami keluar dari basement gedung megah ini.
Untuk kembali ke titik nol lagi.
Uangku kembali tiga ribu rupiah. Si penjaga kasir mengembalikannya utuh, tanpa embel-embel permen khas kasir swalayan kecil. Usai menyelesaikan urusanku dengan kasir, aku menoleh sembari mencari keberdaan Fiya dan Hanif. Kudengar ada suara meneriakiku dari arah pintu keluar.
"Khalila, sini..!" teriak Hanif, suaranya khas sekali.
Aku berjingkat menghampiri mereka. Lalu mengambil langkah beiringan keluar dari toko buku, sepertinya tidak sempat kalau mau jalan-jalan berkeliling lagi. Jam menunjukkan hampir pukul lima sore.
“Sholat dulu yuk, sudah sore nih,”ajak Hanif.
“Ashar? Kita tadi sudah, di rumah. Kan tadi sudah masuk ashar sebelum kita berangkat,” sahut Fiya.
Hanif terperanjat. Ia tidak menyangka hanya dia yang belum shalat, kamipun bergegas turun cari mushola. Salahku juga, tadi tidak memberitahunya. Aku ingat, kalau dia tadi dia tidak berangkat dari rumah. Tapi, masih ada waktu mengejar waktu shalatnya. Meski sepertinya sudah injury time kalau dalam permainan sepak bola.
Kami menyusuri jalan setapak ke basement pusat perbelanjaan itu. Terdengar suara bising mobil dan motor yang keluar masuk parkiran. Hanif bertanya ke salah satu petugas, di mana letak mushala. Oh, ternyata mushalanya berada di pojokan sebelah kiri dari pintu masuk. Kulihat ada beberapa keran berjajar dekat pintu. Tempat wudhunya terbuka, jadi jangan harap ada tempat untuk wudhu muslimah-akhwat. Kami bertiga beringsut masuk ke mushala.
Mushala kecil itu tak ubahnya ruangan sempit sekitr tujuh kali empat meter persegi. Dengan karpet warna abu-abu yang tergelar di lantai marmer warna putih. Dindingnya biru dengan gradasi mendekati putih, cukup senada dengan karpet tadi. Dindingnya lembab, kusam dan mengelupas sana sini. Di atap sebelah selatan ku lihat pipa-pipa air menggantung, semerawut. Apa tidak takut bocor? Lalu, ada tulisan standar yang akan terinjak siapapun yang hendak masuk, ‘BATAS SUCI’. Di lantai tepat di pintu masuk. Itu artinya dalam mushala kecil ini suci, di luar tidak. Itu, tulisannya seolah mengatakan tegas demikian. Ah, memikirkannya saja aku bingung. Hehe. Aku dan Fiya tercengang berjamaah. Apakah ini masih layak disebut tempat ibadah? Agaknya sulit dipercaya.
Hanif khusyuk dalam sujud rakaat terakhirnya. Sujud memang selalu mendamaikan, bagi yang melakukan bahkan bagi yang melihatnya. Usai shalat dan berdoa, Hanif mendekat menghampiri kami. Bebincang sebentar tentang aktifitas kami sehari-hari. Biasanya kami hanya mengobrol di jejaring sosial, sebagai salah satu sarana kami berkomunikasi.
“Nif, hari ini kamu gak ada acara kan?” tanyaku takut-takut. Takut, kalau ia sebenarnya ada agenda lain.
“Ndak ada kok, dirimu-dirimu itu yang sibuk terus. Mungkin aku yang terlalu banyak waktu luangnya,” Hanif tersenyum simpul.
“Haha, apa gitu ya?” Kamitergelak mendengar ungkapannya yang jujur. Ada benarnya juga, mungkin aku dan Fiya yang terlalu sibuk. Sehingga perjalanan yang kami alami hari ini sungguh sangat jarang terjadi, beberapa tahun setelah kami lulus seolah dasar. Hanya dapat memanfaatkan sebaik-baiknya quality time yang kami miliki sekarang.
“Eh, Nif. Kamu ngerasa ada yang aneh gak? Masa di mal sebear ini, mushalanya terletak dekat parkiran gini? Kenapa tidak di lantai atas saja, ya? Heran.” Ujar Fiya.
“Padahal pas di lantai tiga, aku sempat ke bagian pojok toko. Di sana tenang sekali. Lagian, lebih banyak tempat bersih kan kalau di dalam tadi.” Aku ikutan menggerutu.
“Iya juga ya, kayaknya tidak ada prioritas fasilitas gitu untuk aktifitas sekelas ibadah.” Hanif menimpali sambil terus tertawa mendengar protes kami.
Aku sibuk membuka-buka buku. Menimbang-nimbang, kiranya berapa lama waktu untuk membacanya sampai habis.
Perjalanan keliling adalah lingkaran yang sempurna: awal adalah akhir, tiada awal tiada akhir. Aku kembali ke titik nol.
Kubaca sepenggal kalimat di halaman limapuluh sembilan buku Agustinus Wibowo yang barusan kubuka segelnya. Aku terpekur dalam diam. Ingat posisiku di dalam sebuah mushala. Terbersit pemikiran dan pemahaman baru. Bagi seorang muslim, shalat adalah tiang agama. Ia menjadi amalan yang kelak ditimbang lebih dahulu daripada amalan-amalan lainnya. Salah satu gerakan shalat favoritku adalah sujud. Pernah kubaca, ketika sujud kita berada pada titik terendah, sekaligus tertinggi. Sebagai manusia yang rendah dihadapan Tuhan yang Maha Besar, juga sujud adalah wujud penghambaan tertinggi dengan menyebut nama-Nya. Tersadar, aku ingin sekali memperbaiki shalatku. Karena shalat adalah ibadah sepanjang waktu, sejak akil baligh hingga batas usia kita hidup.
Manusia seringkali disibukkan dengan segala aktifitas duniawi kita yang padat. Tugas-tugas sebagai khalifah di muka bumi yang tak terhitung. Namun, ada lima waktu wajib untuk seorang muslim bersujud pada-Nya. Rehat, menyandarkan takdir hidup dalam tiap sujud. Bagiku, barangkali inilah titik nol kita sebagai seorang muslim. Shalat, aktivitas , lalu shalat lagi begitu terus berulang seperti lingkaran yang tiada putus. Pada akhirnya setiap makhluk bernyawa akan kembali pada-Nya, bersujud menghambakan diri di hadapan Allah SWT. Karena Shalat bukan sekedar rutinitas. Sepertinya aku memaknai titik nol-ku lebih cepat, sebelum aku membaca buku yang aku beli. Sujud dalam shalat sebagai titik nol seorang muslim untuk menjalani segala sisi kehidupnya.
“Sudah hampir maghrib nih, ayo kita shalat di tempat lain saja. Di Masjid Agung dekat alun-alun lebih nyaman, InsyaAllah.” Ajakan Hanif menyeret kami keluar dari basement gedung megah ini.
Untuk kembali ke titik nol lagi.
Makna Satu Kata #24 SUJUD: Barangkali Inilah Titik Nol-ku (Part 1)
Bip. Telepon genggamku meneriakkan satu tanda pesan masuk. Aku
baru saja terlelap, mengerjap malas. Letihku belum usai, baru saja tiba
di rumah karena sedari pagi aku mengisi pelatihan kerajinan tangan di
sebuah madrasah aliyah. Lebih tepatnya sebuah sekolah rintisan yayasan
dhuafa yang juga berfokus pada entrepreneurship. Oh ya, kebetulan aku
dan adikku, Shafiya, mendapat amanah untuk berbagi sedikit ilmu dan
pengalaman kami tentang craft. Dengan senang hati, tiap akhir
pekan begini aktifitas pagiku kuhabiskan menemani santri-santri muda
yang usianya masih duduk di kelas satu MA. Hari ini pertemuan kedua
kami.
Perlahan ku baca SMS. Ternyata dari temanku, Hanif.
Nanti tunggu aja di depan toko-ku. 10 menitan lagi nyampe.
Apa? Bahkan berganti pakaianpun aku belum. Bergegas aku ke kamar mandi untuk beres-beres. Tak lupa mengingatkan adikku untuk juga lekas bersiap. Beberapa hari lalu, Hanif memang telah sepakat mengantarku dan Shafiya untuk ke toko buku sore ini. Letaknya memang di kota sebelah, arah utara dari tempat tinggal kami. Karena aku ingin mencari buku baru. Maklum, buku baru yang kumaksud sepertinya belum masuk ke kotaku. Kalaupun ada, biasanya pesan dulu. Aku sendiri masih belum pernah kesana sendirian. Jadilah aku mengajak Hanif pergi, sebagai penunjuk jalan juga pastinya.
Sekitar lima belas menit kemudian, aku dan Fiya sudah siap. Karena sudah masuk waktu ashar, kami memutuskan shalat dulu. Hah, biar saja Hanif menunggu. Aku malah takut nanti tidak keburu shalat ketika sudah di jalan.
Agak tergesa kuhela motor bebek biruku, singgah dulu ke toko mebel ayah Hanif. Sia-sia saja kami mengebut, ternyata masih harus menunggu. Hanif malah belum disana! Benar-benar bikin gemas aku saja. Biasanya kan cewek ya yang lama sekali siap-siapnya. Ini? Memang sih, tadi Hanif bilang ia harus ke tempat lain dulu sebelum berangkat. Jengah juga, karena di sana ada ibunya yang sedang jaga toko. Mana aku tak pandai basa-basi dengan orang tua.
“Mana nih bocah? Belum datang?” tanya Fiya.
“Masih di jalan mungkin, lagi disuruh ayahnya. Semoga tak lama. Bisa kesorean kita,” sahutku agak cemas.
Syukurlah, tak lama berselang Hanif muncul. Ia meringis sambil sedikit berbasa-basi menjelaskan atas keterlambatannya. Lalu ia masuk sebentar ke dalam tokonya.
“Sudah pamit ibumu belum, Nif?” sergapku waktu ia muncul dari dalam.
“Sudah, aku bilang mau ke Gramedia sama kalian. Ayo berangkat!” Jawab Hanif seraya memutar motornya.
Hanif ini temanku waktu duduk di madrasah, setingkat sekolah dasar. Meski rumah kami hanya berjarak dua rumah, kami jarang sekali bertemu apalagi keluar bersama ke suatu tempat. Kami bertiga melaju ke arah utara, menerobos angin sore yang mulai menggigit persendian. Cuaca lumayan cerah, tapi suara guntur sedari tadi menggelegar dari arah timur. Mungkin hujan sedang turun di sana, hanya bisa berdoa semoga perjalanan kami mulus nanti berangkat hingga pulangnya.
Aku memilih berada dua meter persis di belakang motor Hanif, karena sesungguhnya aku buta jalan. Delapan puluh kilometer per jam aku kira cukup untuk kami menjaga jarak, agar tidak terlalu tertinggal jauh dari motor Hanif. Jujur, aku lebih sering menyetir di depan memboncengkan Fiya. Tetapi hanya di seputaran kotaku saja. Belum pernah ke luar kota, jadiaku memiliih lebih berhati-hati lagi. Lagi, jalan antar kota ini juga dilewati bus-bus dari arah Surabaya. Di dunia nyata, aku tidak punya stuntman yang akan menggantikan peranku di atas kuda besi ini. Nyawaku hanya satu, apalagi ada Fiya yang setia di belakangku.
***
Satu jam berlalu, memasuki kota ini naik motor terasa masih canggung untukku. Karena biasanya aku hanya melintas saja naik bus antar kota, ketika bepergian ke Jogjakarta atau ke Surabaya. Setelah belok kanan menikung melintasi sebuah gereja, kamipun tiba di tempat tujuan. Sebuah pusat perbelanjaan tiga lantai yang ada toko buku Gramedia di dalamya. Kami memilih parkir di luar saja. Hari semakin sore, mempersingkat waktu bergegas kami masuk.
Welcome to the jungle. Ini hutan manusia, juga dengan segala pemuas kebutuhan juga keinginannya. Surga belanja bagi siapa saja yang datang. Kata Hanif, toko buku letakknya di lantai tiga. Rupanya ia agak lupa-lupa ingat. Ternyata memang benar, pintu selamat datang terpampang. Mempersilakan siapa saja yang ingin berkunjung. Bahkan sudah terlihat sejak kami menjejakkan langkah meninggalkan anak tangga eskalator terakhir tadi.
Bertiga kami masuk dan mulai menjelajah tanpa ampun menyusuri lorong-lorong yang dihimpit rak buku tinggi-tinggi. Hampir satu setengah kali tinggi badanku. Akupun mulai melihat-lihat, seperti orang yang kesetanan melihat buku segitu banyaknya. Ingin kubawa pulang semua saja, atau aku pindahkan toko ini ke kotaku. Tapi, aku akan bersabar saja. Toko buku terbesar itu suatu saat ada, dan itu milik Fiya. Sering ku mendengar celotehnya tentang toko buku impiannya. Tentu saja aku senang, karena ia bilang nanti aku boleh ambil buku apa saja semauku, sesukaku.
Kami bertiga berpencar, mengamati tiap buku yang dipajang rak yang berbeda. Sesekali ada petugas penjaga toko yang sibuk menata buku berseliweran di hadapanku. Ada yang sempat bersitatap seolah ingin menawarkan bantuan, buku apa yang tengah aku cari. Tapi sebenarnya, buku yang aku incar hari ini sudah mejeng santai di rak best seller. Terpampang paling depan dekat pintu masuk tadi. Tapi, aku juga butuh melihat-lihat buku yang lain. Siapa tahu nanti ada yang bagus, bisa jadi referensi untuk datang lagi.
Sekitar setengah jam berkutatdengan buku, akhirnya kami berkumpul lagi dekat kasir.
“Sudah dapat bukunya, La?” tanya Hanif.
“Udah nih, aku ambil satu. Kamu, ingin baca juga gak?” tanyaku, aku lihat tadi Hanif sempat mengamati juga buku itu.
“Haha, ya terserah kamu saja.Kalau memang ingin itu, beli saja.” Hanif tergelak.
Aku sudah memeluk buku itu. Sejurus kemudian ku angsurkan ke kasir, sampulnya terbaca Titik Nol- karya terbaru penulis Agstinus Wibowo. Sebelum membeli, beberapa kali aku membaca resensinya di internet. Lalu hari ini, aku menggapai impian sederhanaku untuk memiliki buku itu. Tak sabar rasanya ingin melahap buku setebal kurang lebih lima ratusan halaman yang saat ini sudah berada dalam genggaman. Buku ini tentang kisah perjalanan, memaknai perjalanan. Aku yang tak pernah pergi jauh –jauh dari rumah tentu sangat haus akan cerita-cerita macam ini. Harga kisah mereka, tentu saja tidak sebanding dengan harga yang aku bayar untuk sebuh buku bagus. Terlalu murah untuk dapat membaca kisah-kisah yang menggelorakan imajinasi tentang tempat-tempat yang jauh di luar sana.
(bersambung PART 2)
Perlahan ku baca SMS. Ternyata dari temanku, Hanif.
Nanti tunggu aja di depan toko-ku. 10 menitan lagi nyampe.
Apa? Bahkan berganti pakaianpun aku belum. Bergegas aku ke kamar mandi untuk beres-beres. Tak lupa mengingatkan adikku untuk juga lekas bersiap. Beberapa hari lalu, Hanif memang telah sepakat mengantarku dan Shafiya untuk ke toko buku sore ini. Letaknya memang di kota sebelah, arah utara dari tempat tinggal kami. Karena aku ingin mencari buku baru. Maklum, buku baru yang kumaksud sepertinya belum masuk ke kotaku. Kalaupun ada, biasanya pesan dulu. Aku sendiri masih belum pernah kesana sendirian. Jadilah aku mengajak Hanif pergi, sebagai penunjuk jalan juga pastinya.
Sekitar lima belas menit kemudian, aku dan Fiya sudah siap. Karena sudah masuk waktu ashar, kami memutuskan shalat dulu. Hah, biar saja Hanif menunggu. Aku malah takut nanti tidak keburu shalat ketika sudah di jalan.
Agak tergesa kuhela motor bebek biruku, singgah dulu ke toko mebel ayah Hanif. Sia-sia saja kami mengebut, ternyata masih harus menunggu. Hanif malah belum disana! Benar-benar bikin gemas aku saja. Biasanya kan cewek ya yang lama sekali siap-siapnya. Ini? Memang sih, tadi Hanif bilang ia harus ke tempat lain dulu sebelum berangkat. Jengah juga, karena di sana ada ibunya yang sedang jaga toko. Mana aku tak pandai basa-basi dengan orang tua.
“Mana nih bocah? Belum datang?” tanya Fiya.
“Masih di jalan mungkin, lagi disuruh ayahnya. Semoga tak lama. Bisa kesorean kita,” sahutku agak cemas.
Syukurlah, tak lama berselang Hanif muncul. Ia meringis sambil sedikit berbasa-basi menjelaskan atas keterlambatannya. Lalu ia masuk sebentar ke dalam tokonya.
“Sudah pamit ibumu belum, Nif?” sergapku waktu ia muncul dari dalam.
“Sudah, aku bilang mau ke Gramedia sama kalian. Ayo berangkat!” Jawab Hanif seraya memutar motornya.
Hanif ini temanku waktu duduk di madrasah, setingkat sekolah dasar. Meski rumah kami hanya berjarak dua rumah, kami jarang sekali bertemu apalagi keluar bersama ke suatu tempat. Kami bertiga melaju ke arah utara, menerobos angin sore yang mulai menggigit persendian. Cuaca lumayan cerah, tapi suara guntur sedari tadi menggelegar dari arah timur. Mungkin hujan sedang turun di sana, hanya bisa berdoa semoga perjalanan kami mulus nanti berangkat hingga pulangnya.
Aku memilih berada dua meter persis di belakang motor Hanif, karena sesungguhnya aku buta jalan. Delapan puluh kilometer per jam aku kira cukup untuk kami menjaga jarak, agar tidak terlalu tertinggal jauh dari motor Hanif. Jujur, aku lebih sering menyetir di depan memboncengkan Fiya. Tetapi hanya di seputaran kotaku saja. Belum pernah ke luar kota, jadiaku memiliih lebih berhati-hati lagi. Lagi, jalan antar kota ini juga dilewati bus-bus dari arah Surabaya. Di dunia nyata, aku tidak punya stuntman yang akan menggantikan peranku di atas kuda besi ini. Nyawaku hanya satu, apalagi ada Fiya yang setia di belakangku.
***
Satu jam berlalu, memasuki kota ini naik motor terasa masih canggung untukku. Karena biasanya aku hanya melintas saja naik bus antar kota, ketika bepergian ke Jogjakarta atau ke Surabaya. Setelah belok kanan menikung melintasi sebuah gereja, kamipun tiba di tempat tujuan. Sebuah pusat perbelanjaan tiga lantai yang ada toko buku Gramedia di dalamya. Kami memilih parkir di luar saja. Hari semakin sore, mempersingkat waktu bergegas kami masuk.
Welcome to the jungle. Ini hutan manusia, juga dengan segala pemuas kebutuhan juga keinginannya. Surga belanja bagi siapa saja yang datang. Kata Hanif, toko buku letakknya di lantai tiga. Rupanya ia agak lupa-lupa ingat. Ternyata memang benar, pintu selamat datang terpampang. Mempersilakan siapa saja yang ingin berkunjung. Bahkan sudah terlihat sejak kami menjejakkan langkah meninggalkan anak tangga eskalator terakhir tadi.
Bertiga kami masuk dan mulai menjelajah tanpa ampun menyusuri lorong-lorong yang dihimpit rak buku tinggi-tinggi. Hampir satu setengah kali tinggi badanku. Akupun mulai melihat-lihat, seperti orang yang kesetanan melihat buku segitu banyaknya. Ingin kubawa pulang semua saja, atau aku pindahkan toko ini ke kotaku. Tapi, aku akan bersabar saja. Toko buku terbesar itu suatu saat ada, dan itu milik Fiya. Sering ku mendengar celotehnya tentang toko buku impiannya. Tentu saja aku senang, karena ia bilang nanti aku boleh ambil buku apa saja semauku, sesukaku.
Kami bertiga berpencar, mengamati tiap buku yang dipajang rak yang berbeda. Sesekali ada petugas penjaga toko yang sibuk menata buku berseliweran di hadapanku. Ada yang sempat bersitatap seolah ingin menawarkan bantuan, buku apa yang tengah aku cari. Tapi sebenarnya, buku yang aku incar hari ini sudah mejeng santai di rak best seller. Terpampang paling depan dekat pintu masuk tadi. Tapi, aku juga butuh melihat-lihat buku yang lain. Siapa tahu nanti ada yang bagus, bisa jadi referensi untuk datang lagi.
Sekitar setengah jam berkutatdengan buku, akhirnya kami berkumpul lagi dekat kasir.
“Sudah dapat bukunya, La?” tanya Hanif.
“Udah nih, aku ambil satu. Kamu, ingin baca juga gak?” tanyaku, aku lihat tadi Hanif sempat mengamati juga buku itu.
“Haha, ya terserah kamu saja.Kalau memang ingin itu, beli saja.” Hanif tergelak.
Aku sudah memeluk buku itu. Sejurus kemudian ku angsurkan ke kasir, sampulnya terbaca Titik Nol- karya terbaru penulis Agstinus Wibowo. Sebelum membeli, beberapa kali aku membaca resensinya di internet. Lalu hari ini, aku menggapai impian sederhanaku untuk memiliki buku itu. Tak sabar rasanya ingin melahap buku setebal kurang lebih lima ratusan halaman yang saat ini sudah berada dalam genggaman. Buku ini tentang kisah perjalanan, memaknai perjalanan. Aku yang tak pernah pergi jauh –jauh dari rumah tentu sangat haus akan cerita-cerita macam ini. Harga kisah mereka, tentu saja tidak sebanding dengan harga yang aku bayar untuk sebuh buku bagus. Terlalu murah untuk dapat membaca kisah-kisah yang menggelorakan imajinasi tentang tempat-tempat yang jauh di luar sana.
(bersambung PART 2)
Subscribe to:
Posts (Atom)