Bip. Telepon genggamku meneriakkan satu tanda pesan masuk. Aku
baru saja terlelap, mengerjap malas. Letihku belum usai, baru saja tiba
di rumah karena sedari pagi aku mengisi pelatihan kerajinan tangan di
sebuah madrasah aliyah. Lebih tepatnya sebuah sekolah rintisan yayasan
dhuafa yang juga berfokus pada entrepreneurship. Oh ya, kebetulan aku
dan adikku, Shafiya, mendapat amanah untuk berbagi sedikit ilmu dan
pengalaman kami tentang craft. Dengan senang hati, tiap akhir
pekan begini aktifitas pagiku kuhabiskan menemani santri-santri muda
yang usianya masih duduk di kelas satu MA. Hari ini pertemuan kedua
kami.
Perlahan ku baca SMS. Ternyata dari temanku, Hanif.
Nanti tunggu aja di depan toko-ku. 10 menitan lagi nyampe.
Apa?
Bahkan berganti pakaianpun aku belum. Bergegas aku ke kamar mandi untuk
beres-beres. Tak lupa mengingatkan adikku untuk juga lekas bersiap.
Beberapa hari lalu, Hanif memang telah sepakat mengantarku dan Shafiya
untuk ke toko buku sore ini. Letaknya memang di kota sebelah, arah utara
dari tempat tinggal kami. Karena aku ingin mencari buku baru. Maklum,
buku baru yang kumaksud sepertinya belum masuk ke kotaku. Kalaupun ada,
biasanya pesan dulu. Aku sendiri masih belum pernah kesana sendirian.
Jadilah aku mengajak Hanif pergi, sebagai penunjuk jalan juga pastinya.
Sekitar
lima belas menit kemudian, aku dan Fiya sudah siap. Karena sudah masuk
waktu ashar, kami memutuskan shalat dulu. Hah, biar saja Hanif menunggu.
Aku malah takut nanti tidak keburu shalat ketika sudah di jalan.
Agak
tergesa kuhela motor bebek biruku, singgah dulu ke toko mebel ayah
Hanif. Sia-sia saja kami mengebut, ternyata masih harus menunggu. Hanif
malah belum disana! Benar-benar bikin gemas aku saja. Biasanya kan cewek ya yang lama
sekali siap-siapnya. Ini? Memang sih, tadi Hanif bilang ia harus ke
tempat lain dulu sebelum berangkat. Jengah juga, karena di sana ada
ibunya yang sedang jaga toko. Mana aku tak pandai basa-basi dengan orang
tua.
“Mana nih bocah? Belum datang?” tanya Fiya.
“Masih di jalan mungkin, lagi disuruh ayahnya. Semoga tak lama. Bisa kesorean kita,” sahutku agak cemas.
Syukurlah,
tak lama berselang Hanif muncul. Ia meringis sambil sedikit
berbasa-basi menjelaskan atas keterlambatannya. Lalu ia masuk sebentar
ke dalam tokonya.
“Sudah pamit ibumu belum, Nif?” sergapku waktu ia muncul dari dalam.
“Sudah, aku bilang mau ke Gramedia sama kalian. Ayo berangkat!” Jawab Hanif seraya memutar motornya.
Hanif
ini temanku waktu duduk di madrasah, setingkat sekolah dasar. Meski
rumah kami hanya berjarak dua rumah, kami jarang sekali bertemu apalagi
keluar bersama ke suatu tempat. Kami bertiga melaju ke arah utara,
menerobos angin sore yang mulai menggigit persendian. Cuaca lumayan
cerah, tapi suara guntur sedari tadi menggelegar dari arah timur.
Mungkin hujan sedang turun di sana, hanya bisa berdoa semoga perjalanan
kami mulus nanti berangkat hingga pulangnya.
Aku
memilih berada dua meter persis di belakang motor Hanif, karena
sesungguhnya aku buta jalan. Delapan puluh kilometer per jam aku kira
cukup untuk kami menjaga jarak, agar tidak terlalu tertinggal jauh dari
motor Hanif. Jujur, aku lebih sering menyetir di depan memboncengkan
Fiya. Tetapi hanya di seputaran kotaku saja. Belum pernah ke luar kota,
jadiaku memiliih lebih berhati-hati lagi. Lagi, jalan antar kota ini
juga dilewati bus-bus dari arah Surabaya. Di dunia nyata, aku tidak
punya stuntman yang akan menggantikan peranku di atas kuda besi ini. Nyawaku hanya satu, apalagi ada Fiya yang setia di belakangku.
***
Satu
jam berlalu, memasuki kota ini naik motor terasa masih canggung
untukku. Karena biasanya aku hanya melintas saja naik bus antar kota,
ketika bepergian ke Jogjakarta atau ke Surabaya. Setelah belok kanan
menikung melintasi sebuah gereja, kamipun tiba di tempat tujuan. Sebuah
pusat perbelanjaan tiga lantai yang ada toko buku Gramedia di dalamya.
Kami memilih parkir di luar saja. Hari semakin sore, mempersingkat waktu
bergegas kami masuk.
Welcome to the jungle. Ini
hutan manusia, juga dengan segala pemuas kebutuhan juga keinginannya.
Surga belanja bagi siapa saja yang datang. Kata Hanif, toko buku
letakknya di lantai tiga. Rupanya ia agak lupa-lupa ingat. Ternyata
memang benar, pintu selamat datang terpampang. Mempersilakan siapa saja
yang ingin berkunjung. Bahkan sudah terlihat sejak kami menjejakkan
langkah meninggalkan anak tangga eskalator terakhir tadi.
Bertiga
kami masuk dan mulai menjelajah tanpa ampun menyusuri lorong-lorong
yang dihimpit rak buku tinggi-tinggi. Hampir satu setengah kali tinggi
badanku. Akupun mulai melihat-lihat, seperti orang yang kesetanan
melihat buku segitu banyaknya. Ingin kubawa pulang semua saja,
atau aku pindahkan toko ini ke kotaku. Tapi, aku akan bersabar saja.
Toko buku terbesar itu suatu saat ada, dan itu milik Fiya. Sering ku
mendengar celotehnya tentang toko buku impiannya. Tentu saja aku senang,
karena ia bilang nanti aku boleh ambil buku apa saja semauku, sesukaku.
Kami
bertiga berpencar, mengamati tiap buku yang dipajang rak yang berbeda.
Sesekali ada petugas penjaga toko yang sibuk menata buku berseliweran di
hadapanku. Ada yang sempat bersitatap seolah ingin menawarkan bantuan,
buku apa yang tengah aku cari. Tapi sebenarnya, buku yang aku incar hari
ini sudah mejeng santai di rak best seller. Terpampang
paling depan dekat pintu masuk tadi. Tapi, aku juga butuh melihat-lihat
buku yang lain. Siapa tahu nanti ada yang bagus, bisa jadi referensi
untuk datang lagi.
Sekitar setengah jam berkutatdengan buku, akhirnya kami berkumpul lagi dekat kasir.
“Sudah dapat bukunya, La?” tanya Hanif.
“Udah nih, aku ambil satu. Kamu, ingin baca juga gak?” tanyaku, aku lihat tadi Hanif sempat mengamati juga buku itu.
“Haha, ya terserah kamu saja.Kalau memang ingin itu, beli saja.” Hanif tergelak.
Aku sudah memeluk buku itu. Sejurus kemudian ku angsurkan ke kasir, sampulnya terbaca Titik Nol-
karya terbaru penulis Agstinus Wibowo. Sebelum membeli, beberapa kali
aku membaca resensinya di internet. Lalu hari ini, aku menggapai impian
sederhanaku untuk memiliki buku itu. Tak sabar rasanya ingin melahap
buku setebal kurang lebih lima ratusan halaman yang saat ini sudah
berada dalam genggaman. Buku ini tentang kisah perjalanan, memaknai
perjalanan. Aku yang tak pernah pergi jauh –jauh dari rumah tentu sangat
haus akan cerita-cerita macam ini. Harga kisah mereka, tentu saja tidak
sebanding dengan harga yang aku bayar untuk sebuh buku bagus. Terlalu
murah untuk dapat membaca kisah-kisah yang menggelorakan imajinasi
tentang tempat-tempat yang jauh di luar sana.
(bersambung PART 2)
No comments:
Post a Comment