Khalila Butik Hijab Syar'i

Friday, May 17, 2013

Makna Satu Kata #24 SUJUD: Barangkali Inilah Titik Nol-ku (Part 1)

Bip. Telepon genggamku meneriakkan satu tanda pesan masuk. Aku baru saja terlelap, mengerjap malas. Letihku belum usai, baru saja tiba di rumah karena sedari pagi aku mengisi pelatihan kerajinan tangan di sebuah madrasah aliyah. Lebih tepatnya sebuah sekolah rintisan yayasan dhuafa yang juga berfokus pada entrepreneurship. Oh ya, kebetulan aku dan adikku, Shafiya, mendapat amanah untuk berbagi sedikit ilmu dan pengalaman kami tentang craft. Dengan senang hati, tiap akhir pekan begini aktifitas pagiku kuhabiskan menemani santri-santri muda yang usianya masih duduk di kelas satu MA. Hari ini pertemuan kedua kami.

Perlahan ku baca SMS. Ternyata dari temanku, Hanif.

Nanti tunggu aja di depan toko-ku. 10 menitan lagi nyampe.

Apa? Bahkan berganti pakaianpun aku belum. Bergegas aku ke kamar mandi untuk beres-beres. Tak lupa mengingatkan adikku untuk juga lekas bersiap. Beberapa hari lalu, Hanif memang telah sepakat mengantarku dan Shafiya untuk ke toko buku sore ini. Letaknya memang di kota sebelah, arah utara dari tempat tinggal kami. Karena aku ingin mencari buku baru. Maklum, buku baru yang kumaksud sepertinya belum masuk ke kotaku. Kalaupun ada, biasanya pesan dulu. Aku sendiri masih belum pernah kesana sendirian. Jadilah aku mengajak Hanif pergi, sebagai penunjuk jalan juga pastinya.

Sekitar lima belas menit kemudian, aku dan Fiya sudah siap. Karena sudah masuk waktu ashar, kami memutuskan shalat dulu. Hah, biar saja Hanif menunggu. Aku malah takut nanti tidak keburu shalat ketika sudah di jalan.

Agak tergesa kuhela motor bebek biruku, singgah dulu ke toko mebel ayah Hanif. Sia-sia saja kami mengebut, ternyata masih harus menunggu. Hanif malah belum disana! Benar-benar bikin gemas aku saja. Biasanya kan cewek  ya yang lama sekali siap-siapnya. Ini? Memang sih, tadi Hanif bilang ia harus ke tempat lain dulu sebelum berangkat. Jengah juga, karena di sana ada ibunya yang sedang jaga toko. Mana aku tak pandai basa-basi dengan orang tua.

“Mana nih bocah? Belum datang?” tanya Fiya.

“Masih di jalan mungkin, lagi disuruh ayahnya. Semoga tak lama. Bisa kesorean kita,” sahutku agak cemas.
Syukurlah, tak lama berselang Hanif muncul. Ia meringis sambil sedikit berbasa-basi menjelaskan atas keterlambatannya. Lalu ia masuk sebentar ke dalam tokonya.

“Sudah pamit ibumu belum, Nif?” sergapku waktu ia muncul dari dalam.

“Sudah, aku bilang mau ke Gramedia sama kalian. Ayo berangkat!” Jawab Hanif seraya memutar motornya.

Hanif ini temanku waktu duduk di madrasah, setingkat sekolah dasar. Meski rumah kami hanya berjarak dua rumah, kami jarang sekali bertemu apalagi keluar bersama ke suatu tempat. Kami bertiga melaju ke arah utara, menerobos angin sore yang mulai menggigit persendian. Cuaca lumayan cerah, tapi suara guntur sedari tadi menggelegar dari arah timur. Mungkin hujan sedang turun di sana, hanya bisa berdoa semoga perjalanan kami mulus nanti berangkat hingga pulangnya.

Aku memilih berada dua meter persis di belakang motor Hanif, karena sesungguhnya aku buta jalan. Delapan puluh kilometer per jam aku kira cukup untuk kami menjaga jarak, agar tidak terlalu tertinggal jauh dari motor Hanif. Jujur, aku lebih sering menyetir di depan memboncengkan Fiya. Tetapi hanya di seputaran kotaku saja. Belum pernah ke luar kota, jadiaku memiliih lebih berhati-hati lagi. Lagi, jalan antar kota ini juga dilewati bus-bus dari arah Surabaya. Di dunia nyata, aku tidak punya stuntman yang akan menggantikan peranku di atas kuda besi ini. Nyawaku hanya satu, apalagi ada Fiya yang setia di belakangku.

***

Satu jam berlalu, memasuki kota ini naik motor terasa masih canggung untukku. Karena biasanya aku hanya melintas saja naik bus antar kota, ketika bepergian ke Jogjakarta atau ke Surabaya. Setelah belok kanan menikung melintasi sebuah gereja, kamipun tiba di tempat tujuan. Sebuah pusat perbelanjaan tiga lantai yang ada toko buku Gramedia di dalamya. Kami memilih parkir di luar saja. Hari semakin sore, mempersingkat waktu bergegas kami masuk.

Welcome to the jungle. Ini hutan manusia, juga dengan segala pemuas kebutuhan juga keinginannya. Surga belanja bagi siapa saja yang datang. Kata Hanif, toko buku letakknya di lantai tiga. Rupanya ia agak lupa-lupa ingat. Ternyata memang benar, pintu selamat datang terpampang. Mempersilakan siapa saja yang ingin berkunjung. Bahkan sudah terlihat sejak kami menjejakkan langkah meninggalkan anak tangga eskalator terakhir tadi.

Bertiga kami masuk dan mulai menjelajah tanpa ampun menyusuri lorong-lorong yang dihimpit rak buku tinggi-tinggi. Hampir satu setengah kali tinggi badanku. Akupun mulai melihat-lihat, seperti orang yang kesetanan melihat buku segitu banyaknya. Ingin kubawa pulang semua saja, atau aku pindahkan toko ini ke kotaku. Tapi, aku akan bersabar saja. Toko buku terbesar itu suatu saat ada, dan itu milik Fiya. Sering ku mendengar celotehnya tentang toko buku impiannya. Tentu saja aku senang, karena ia bilang nanti aku boleh ambil buku apa saja semauku, sesukaku.

Kami bertiga berpencar, mengamati tiap buku yang dipajang rak yang berbeda. Sesekali ada petugas penjaga toko yang sibuk menata buku berseliweran di hadapanku. Ada yang sempat bersitatap seolah ingin menawarkan bantuan, buku apa yang tengah aku cari. Tapi sebenarnya, buku yang aku incar hari ini sudah mejeng santai di rak best seller. Terpampang paling depan dekat pintu masuk tadi. Tapi, aku juga butuh melihat-lihat buku yang lain. Siapa tahu nanti ada yang bagus, bisa jadi referensi untuk datang lagi.

Sekitar setengah jam berkutatdengan buku, akhirnya kami berkumpul lagi dekat kasir.

“Sudah dapat bukunya, La?” tanya Hanif.

Udah nih, aku ambil satu. Kamu, ingin baca juga gak?” tanyaku, aku lihat tadi Hanif sempat mengamati juga buku itu.

“Haha, ya terserah kamu saja.Kalau memang ingin itu, beli saja.” Hanif tergelak.

Aku sudah memeluk buku itu. Sejurus kemudian ku angsurkan ke kasir, sampulnya terbaca Titik Nol- karya terbaru penulis Agstinus Wibowo. Sebelum membeli, beberapa kali aku membaca resensinya di internet. Lalu hari ini, aku menggapai impian sederhanaku untuk memiliki buku itu. Tak sabar rasanya ingin melahap buku setebal kurang lebih lima ratusan halaman yang saat ini sudah berada dalam genggaman. Buku ini tentang kisah perjalanan, memaknai perjalanan. Aku yang tak pernah pergi jauh –jauh dari rumah tentu sangat haus akan cerita-cerita macam ini. Harga kisah mereka, tentu saja tidak sebanding dengan harga yang aku bayar untuk sebuh buku bagus. Terlalu murah untuk dapat membaca kisah-kisah yang menggelorakan imajinasi tentang tempat-tempat yang jauh di luar sana.

(bersambung PART 2)

No comments:

Post a Comment