Ingatanku melesat
saat usiaku masih kanak-kanak. Cerita ini sedikit konyol sebenarnya,
biarlah. Tapi, amat berkesan dan memberiku pelajaran berharga. Suatu
hari, ibuku berniat mengajakku jalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan.
Akupun jejingkrakan senang bukan main, jarang-jarang karena dulu masih langka anak kecil bisa nge-mall sendirian. Mana berani. Ibuku juga sibuk, karena itu harus meluangkan waktu untuk sekedar menemani anak-anaknya main. Aku senang karena sebentar lagi impian kecilku main ke timezone akan segera terwujud. Anak udik yang
biasanya main di sawah, kini akan bersua dengan berbagai mainan serba
modern kala itu. Sulit bagiku membayangkan bangunan tinggi, megah dan
berlantailicin itu. Membayangkan bagaimana aku naik ke lantai tertinggi,
naik tangga?Aku pasti minta gendong.
Hari yang ku tunggu tiba. Senangnya, oh senangnya. Bertiga Ibu, aku dan adikku naik bus mini ke kota. Sekitar tiga puluh menit, sampai di depan mall aku dirundung sedikit kecewa. Ternyata kami kepagian. Semangat heboh-heboh dari rumah tadi berangsur memudar. Masih satu jam lagi baru buka. “Sabar, ini mungkin ujian,” hiburku dalam hati. Hahaha. Untunglah kami tidak sendiri, banyak juga yang mengantri. Jika mengingat kisah ini, aku senyum-senyum sendiri atas kekonyolan kami.
Jam buka sebentar lagi, petugas tengah bersiap depan pintu. Bagai pagar betis, kami barisan calon pengunjung tak mau kalah. Sedetik setelah gerbang di buka, detik itu juga kami menyeruak bagai air bah menjebol bendungan yang tak kuat menahan arus. Ah, mungkin ceritanya jadi lebay. Tapi, memang begitu adanya. Pengalaman masa kanak-kanak yang benar norak. Tanpa ba-bi-bu kami langsung menuju lantai tiga. Oh, ternyata kami dimanja. Ada tangga yang bisa berjalan, kami besorak karena tak perlu capek naik tangga diam. Ini norak jilid dua. Aku dan adikku sok berani, ibuku ngeri. Jadi beliau yang naik tangga biasa. Nanti ketemu di lantai tiga ya, begitu pesan beliau sok bijak. Hahaha.
Sampai juga di lantai tiga. Sensasi sang eskalator masih membuatku mual. Tapi aku senang, hamparan mainan tengah menanti di hadapanku. Mainan injak-injak tombol, motor-motoran, mandi bola, ambil boneka, dan banyak lagi. Seingatku, aku lebih banyak melihat-lihat. Karena aku sepertinya juga tidak bisa kalau disuruh memainknnya. Ada permainan yang aku jajal, yaitu mainan capit-capit dapat boneka. Cara mainnya, masukkan koin yang bisa kita dapatkan dengan membelinya ke petugas, lalu tekan tombolnya arahkan ke segunung boneka lucu-lucu di wadah kaca mirip akuarium. Capit, lalu arahkan kecorong agar bonekanya lahir. Hap, si boneka sasaran tadi jadi deh milik kita. Tapi, malang.Berkali-kali mencoba, aku gagal mendapatkan sebuah-pun dari boneka-boneka itu sampai koinku habis. Gemas, rasanya ingin menangis saja di bawah mesin boneka. Huhuhu.
Cring..! Tiba-tiba pandanganku tersita pada sesosok boneka teletubbies warna ungu favoritku, Tinky Winky! Ia tergeletak lunglai tak berdaya di bawah tempat pengambilan boneka di mesin samping tempatku main. Jelas itu bukan hasil tangkapanku, pasti ada yang tidak mengambilnya tadi. Aha! Bagaimana kalau aku mengambilnya, sayang kan kalau dibiarkan disana tidak ada yang memilikinya? Tapi, itu kan bukan milikku? Perang batinpun dimulai. Ah, tapi kan tak ada yang lihat? Tapi kan Allah Maha Melihat? Aku belum dapat satupun boneka lucu! Ah, belum rezeki kali. Boneka ungu, jelas juga bukan rezekimu. Kamu tidak berhak memilikinya.
Dan akhirnya aku menyerah. Kutinggalkan boneka itu tetap di sana. Aku tak peduli lagi, ia melambai-lambai tersenyum padaku. Aku selalu diajarkan untuk tidak mengambil barang yang bukan hak ku, meski benda itu sangat kuinginkan. Meski ia ada di depan mata ku. Walaupun takkan ada yang melihatku mengambilnya, ada yang maha melihatku. Pelajaran penting ini sangat melekat dalam ingatanku hingga hari ini. Kecuali dalam hal meraih rezeki yang halal, jika ia sudah ada di depanmu maka kita harus berjuang mendapatkannya. Toh jika belum rezekimu, maka ia takkan sampai ke kerongkonganmu.
Aku pulang. Meski tanpa boneka itu. Tapi aku berhasil memenangkan gejolak perang batinku. Aku menang, karena aku bertahan. Bertahan pada prinsip yang ku yakini. Aku pulang dengan perasaan adem, seadem saat menikmati es krim connello rasa cokelat yang ibu belikan untukku. Bahagia rasanya.
Khalila Indriana, 2013.
100 hari, inspirasi masa laluyang menyelinap di ingatanku.
Hari yang ku tunggu tiba. Senangnya, oh senangnya. Bertiga Ibu, aku dan adikku naik bus mini ke kota. Sekitar tiga puluh menit, sampai di depan mall aku dirundung sedikit kecewa. Ternyata kami kepagian. Semangat heboh-heboh dari rumah tadi berangsur memudar. Masih satu jam lagi baru buka. “Sabar, ini mungkin ujian,” hiburku dalam hati. Hahaha. Untunglah kami tidak sendiri, banyak juga yang mengantri. Jika mengingat kisah ini, aku senyum-senyum sendiri atas kekonyolan kami.
Jam buka sebentar lagi, petugas tengah bersiap depan pintu. Bagai pagar betis, kami barisan calon pengunjung tak mau kalah. Sedetik setelah gerbang di buka, detik itu juga kami menyeruak bagai air bah menjebol bendungan yang tak kuat menahan arus. Ah, mungkin ceritanya jadi lebay. Tapi, memang begitu adanya. Pengalaman masa kanak-kanak yang benar norak. Tanpa ba-bi-bu kami langsung menuju lantai tiga. Oh, ternyata kami dimanja. Ada tangga yang bisa berjalan, kami besorak karena tak perlu capek naik tangga diam. Ini norak jilid dua. Aku dan adikku sok berani, ibuku ngeri. Jadi beliau yang naik tangga biasa. Nanti ketemu di lantai tiga ya, begitu pesan beliau sok bijak. Hahaha.
Sampai juga di lantai tiga. Sensasi sang eskalator masih membuatku mual. Tapi aku senang, hamparan mainan tengah menanti di hadapanku. Mainan injak-injak tombol, motor-motoran, mandi bola, ambil boneka, dan banyak lagi. Seingatku, aku lebih banyak melihat-lihat. Karena aku sepertinya juga tidak bisa kalau disuruh memainknnya. Ada permainan yang aku jajal, yaitu mainan capit-capit dapat boneka. Cara mainnya, masukkan koin yang bisa kita dapatkan dengan membelinya ke petugas, lalu tekan tombolnya arahkan ke segunung boneka lucu-lucu di wadah kaca mirip akuarium. Capit, lalu arahkan kecorong agar bonekanya lahir. Hap, si boneka sasaran tadi jadi deh milik kita. Tapi, malang.Berkali-kali mencoba, aku gagal mendapatkan sebuah-pun dari boneka-boneka itu sampai koinku habis. Gemas, rasanya ingin menangis saja di bawah mesin boneka. Huhuhu.
Cring..! Tiba-tiba pandanganku tersita pada sesosok boneka teletubbies warna ungu favoritku, Tinky Winky! Ia tergeletak lunglai tak berdaya di bawah tempat pengambilan boneka di mesin samping tempatku main. Jelas itu bukan hasil tangkapanku, pasti ada yang tidak mengambilnya tadi. Aha! Bagaimana kalau aku mengambilnya, sayang kan kalau dibiarkan disana tidak ada yang memilikinya? Tapi, itu kan bukan milikku? Perang batinpun dimulai. Ah, tapi kan tak ada yang lihat? Tapi kan Allah Maha Melihat? Aku belum dapat satupun boneka lucu! Ah, belum rezeki kali. Boneka ungu, jelas juga bukan rezekimu. Kamu tidak berhak memilikinya.
Dan akhirnya aku menyerah. Kutinggalkan boneka itu tetap di sana. Aku tak peduli lagi, ia melambai-lambai tersenyum padaku. Aku selalu diajarkan untuk tidak mengambil barang yang bukan hak ku, meski benda itu sangat kuinginkan. Meski ia ada di depan mata ku. Walaupun takkan ada yang melihatku mengambilnya, ada yang maha melihatku. Pelajaran penting ini sangat melekat dalam ingatanku hingga hari ini. Kecuali dalam hal meraih rezeki yang halal, jika ia sudah ada di depanmu maka kita harus berjuang mendapatkannya. Toh jika belum rezekimu, maka ia takkan sampai ke kerongkonganmu.
Aku pulang. Meski tanpa boneka itu. Tapi aku berhasil memenangkan gejolak perang batinku. Aku menang, karena aku bertahan. Bertahan pada prinsip yang ku yakini. Aku pulang dengan perasaan adem, seadem saat menikmati es krim connello rasa cokelat yang ibu belikan untukku. Bahagia rasanya.
Khalila Indriana, 2013.
100 hari, inspirasi masa laluyang menyelinap di ingatanku.
No comments:
Post a Comment