(Baca dulu Makna satu kata 24 PART 1 ya...)
Uangku kembali tiga ribu rupiah. Si penjaga kasir mengembalikannya utuh, tanpa embel-embel permen khas kasir swalayan kecil. Usai menyelesaikan urusanku dengan kasir, aku menoleh sembari mencari keberdaan Fiya dan Hanif. Kudengar ada suara meneriakiku dari arah pintu keluar.
"Khalila, sini..!" teriak Hanif, suaranya khas sekali.
Aku berjingkat menghampiri mereka. Lalu mengambil langkah beiringan keluar dari toko buku, sepertinya tidak sempat kalau mau jalan-jalan berkeliling lagi. Jam menunjukkan hampir pukul lima sore.
“Sholat dulu yuk, sudah sore nih,”ajak Hanif.
“Ashar? Kita tadi sudah, di rumah. Kan tadi sudah masuk ashar sebelum kita berangkat,” sahut Fiya.
Hanif terperanjat. Ia tidak menyangka hanya dia yang belum shalat, kamipun bergegas turun cari mushola. Salahku juga, tadi tidak memberitahunya. Aku ingat, kalau dia tadi dia tidak berangkat dari rumah. Tapi, masih ada waktu mengejar waktu shalatnya. Meski sepertinya sudah injury time kalau dalam permainan sepak bola.
Kami menyusuri jalan setapak ke basement pusat perbelanjaan itu. Terdengar suara bising mobil dan motor yang keluar masuk parkiran. Hanif bertanya ke salah satu petugas, di mana letak mushala. Oh, ternyata mushalanya berada di pojokan sebelah kiri dari pintu masuk. Kulihat ada beberapa keran berjajar dekat pintu. Tempat wudhunya terbuka, jadi jangan harap ada tempat untuk wudhu muslimah-akhwat. Kami bertiga beringsut masuk ke mushala.
Mushala kecil itu tak ubahnya ruangan sempit sekitr tujuh kali empat meter persegi. Dengan karpet warna abu-abu yang tergelar di lantai marmer warna putih. Dindingnya biru dengan gradasi mendekati putih, cukup senada dengan karpet tadi. Dindingnya lembab, kusam dan mengelupas sana sini. Di atap sebelah selatan ku lihat pipa-pipa air menggantung, semerawut. Apa tidak takut bocor? Lalu, ada tulisan standar yang akan terinjak siapapun yang hendak masuk, ‘BATAS SUCI’. Di lantai tepat di pintu masuk. Itu artinya dalam mushala kecil ini suci, di luar tidak. Itu, tulisannya seolah mengatakan tegas demikian. Ah, memikirkannya saja aku bingung. Hehe. Aku dan Fiya tercengang berjamaah. Apakah ini masih layak disebut tempat ibadah? Agaknya sulit dipercaya.
Hanif khusyuk dalam sujud rakaat terakhirnya. Sujud memang selalu mendamaikan, bagi yang melakukan bahkan bagi yang melihatnya. Usai shalat dan berdoa, Hanif mendekat menghampiri kami. Bebincang sebentar tentang aktifitas kami sehari-hari. Biasanya kami hanya mengobrol di jejaring sosial, sebagai salah satu sarana kami berkomunikasi.
“Nif, hari ini kamu gak ada acara kan?” tanyaku takut-takut. Takut, kalau ia sebenarnya ada agenda lain.
“Ndak ada kok, dirimu-dirimu itu yang sibuk terus. Mungkin aku yang terlalu banyak waktu luangnya,” Hanif tersenyum simpul.
“Haha, apa gitu ya?” Kamitergelak mendengar ungkapannya yang jujur. Ada benarnya juga, mungkin aku dan Fiya yang terlalu sibuk. Sehingga perjalanan yang kami alami hari ini sungguh sangat jarang terjadi, beberapa tahun setelah kami lulus seolah dasar. Hanya dapat memanfaatkan sebaik-baiknya quality time yang kami miliki sekarang.
“Eh, Nif. Kamu ngerasa ada yang aneh gak? Masa di mal sebear ini, mushalanya terletak dekat parkiran gini? Kenapa tidak di lantai atas saja, ya? Heran.” Ujar Fiya.
“Padahal pas di lantai tiga, aku sempat ke bagian pojok toko. Di sana tenang sekali. Lagian, lebih banyak tempat bersih kan kalau di dalam tadi.” Aku ikutan menggerutu.
“Iya juga ya, kayaknya tidak ada prioritas fasilitas gitu untuk aktifitas sekelas ibadah.” Hanif menimpali sambil terus tertawa mendengar protes kami.
Aku sibuk membuka-buka buku. Menimbang-nimbang, kiranya berapa lama waktu untuk membacanya sampai habis.
Perjalanan keliling adalah lingkaran yang sempurna: awal adalah akhir, tiada awal tiada akhir. Aku kembali ke titik nol.
Kubaca sepenggal kalimat di halaman limapuluh sembilan buku Agustinus Wibowo yang barusan kubuka segelnya. Aku terpekur dalam diam. Ingat posisiku di dalam sebuah mushala. Terbersit pemikiran dan pemahaman baru. Bagi seorang muslim, shalat adalah tiang agama. Ia menjadi amalan yang kelak ditimbang lebih dahulu daripada amalan-amalan lainnya. Salah satu gerakan shalat favoritku adalah sujud. Pernah kubaca, ketika sujud kita berada pada titik terendah, sekaligus tertinggi. Sebagai manusia yang rendah dihadapan Tuhan yang Maha Besar, juga sujud adalah wujud penghambaan tertinggi dengan menyebut nama-Nya. Tersadar, aku ingin sekali memperbaiki shalatku. Karena shalat adalah ibadah sepanjang waktu, sejak akil baligh hingga batas usia kita hidup.
Manusia seringkali disibukkan dengan segala aktifitas duniawi kita yang padat. Tugas-tugas sebagai khalifah di muka bumi yang tak terhitung. Namun, ada lima waktu wajib untuk seorang muslim bersujud pada-Nya. Rehat, menyandarkan takdir hidup dalam tiap sujud. Bagiku, barangkali inilah titik nol kita sebagai seorang muslim. Shalat, aktivitas , lalu shalat lagi begitu terus berulang seperti lingkaran yang tiada putus. Pada akhirnya setiap makhluk bernyawa akan kembali pada-Nya, bersujud menghambakan diri di hadapan Allah SWT. Karena Shalat bukan sekedar rutinitas. Sepertinya aku memaknai titik nol-ku lebih cepat, sebelum aku membaca buku yang aku beli. Sujud dalam shalat sebagai titik nol seorang muslim untuk menjalani segala sisi kehidupnya.
“Sudah hampir maghrib nih, ayo kita shalat di tempat lain saja. Di Masjid Agung dekat alun-alun lebih nyaman, InsyaAllah.” Ajakan Hanif menyeret kami keluar dari basement gedung megah ini.
Untuk kembali ke titik nol lagi.
Uangku kembali tiga ribu rupiah. Si penjaga kasir mengembalikannya utuh, tanpa embel-embel permen khas kasir swalayan kecil. Usai menyelesaikan urusanku dengan kasir, aku menoleh sembari mencari keberdaan Fiya dan Hanif. Kudengar ada suara meneriakiku dari arah pintu keluar.
"Khalila, sini..!" teriak Hanif, suaranya khas sekali.
Aku berjingkat menghampiri mereka. Lalu mengambil langkah beiringan keluar dari toko buku, sepertinya tidak sempat kalau mau jalan-jalan berkeliling lagi. Jam menunjukkan hampir pukul lima sore.
“Sholat dulu yuk, sudah sore nih,”ajak Hanif.
“Ashar? Kita tadi sudah, di rumah. Kan tadi sudah masuk ashar sebelum kita berangkat,” sahut Fiya.
Hanif terperanjat. Ia tidak menyangka hanya dia yang belum shalat, kamipun bergegas turun cari mushola. Salahku juga, tadi tidak memberitahunya. Aku ingat, kalau dia tadi dia tidak berangkat dari rumah. Tapi, masih ada waktu mengejar waktu shalatnya. Meski sepertinya sudah injury time kalau dalam permainan sepak bola.
Kami menyusuri jalan setapak ke basement pusat perbelanjaan itu. Terdengar suara bising mobil dan motor yang keluar masuk parkiran. Hanif bertanya ke salah satu petugas, di mana letak mushala. Oh, ternyata mushalanya berada di pojokan sebelah kiri dari pintu masuk. Kulihat ada beberapa keran berjajar dekat pintu. Tempat wudhunya terbuka, jadi jangan harap ada tempat untuk wudhu muslimah-akhwat. Kami bertiga beringsut masuk ke mushala.
Mushala kecil itu tak ubahnya ruangan sempit sekitr tujuh kali empat meter persegi. Dengan karpet warna abu-abu yang tergelar di lantai marmer warna putih. Dindingnya biru dengan gradasi mendekati putih, cukup senada dengan karpet tadi. Dindingnya lembab, kusam dan mengelupas sana sini. Di atap sebelah selatan ku lihat pipa-pipa air menggantung, semerawut. Apa tidak takut bocor? Lalu, ada tulisan standar yang akan terinjak siapapun yang hendak masuk, ‘BATAS SUCI’. Di lantai tepat di pintu masuk. Itu artinya dalam mushala kecil ini suci, di luar tidak. Itu, tulisannya seolah mengatakan tegas demikian. Ah, memikirkannya saja aku bingung. Hehe. Aku dan Fiya tercengang berjamaah. Apakah ini masih layak disebut tempat ibadah? Agaknya sulit dipercaya.
Hanif khusyuk dalam sujud rakaat terakhirnya. Sujud memang selalu mendamaikan, bagi yang melakukan bahkan bagi yang melihatnya. Usai shalat dan berdoa, Hanif mendekat menghampiri kami. Bebincang sebentar tentang aktifitas kami sehari-hari. Biasanya kami hanya mengobrol di jejaring sosial, sebagai salah satu sarana kami berkomunikasi.
“Nif, hari ini kamu gak ada acara kan?” tanyaku takut-takut. Takut, kalau ia sebenarnya ada agenda lain.
“Ndak ada kok, dirimu-dirimu itu yang sibuk terus. Mungkin aku yang terlalu banyak waktu luangnya,” Hanif tersenyum simpul.
“Haha, apa gitu ya?” Kamitergelak mendengar ungkapannya yang jujur. Ada benarnya juga, mungkin aku dan Fiya yang terlalu sibuk. Sehingga perjalanan yang kami alami hari ini sungguh sangat jarang terjadi, beberapa tahun setelah kami lulus seolah dasar. Hanya dapat memanfaatkan sebaik-baiknya quality time yang kami miliki sekarang.
“Eh, Nif. Kamu ngerasa ada yang aneh gak? Masa di mal sebear ini, mushalanya terletak dekat parkiran gini? Kenapa tidak di lantai atas saja, ya? Heran.” Ujar Fiya.
“Padahal pas di lantai tiga, aku sempat ke bagian pojok toko. Di sana tenang sekali. Lagian, lebih banyak tempat bersih kan kalau di dalam tadi.” Aku ikutan menggerutu.
“Iya juga ya, kayaknya tidak ada prioritas fasilitas gitu untuk aktifitas sekelas ibadah.” Hanif menimpali sambil terus tertawa mendengar protes kami.
Aku sibuk membuka-buka buku. Menimbang-nimbang, kiranya berapa lama waktu untuk membacanya sampai habis.
Perjalanan keliling adalah lingkaran yang sempurna: awal adalah akhir, tiada awal tiada akhir. Aku kembali ke titik nol.
Kubaca sepenggal kalimat di halaman limapuluh sembilan buku Agustinus Wibowo yang barusan kubuka segelnya. Aku terpekur dalam diam. Ingat posisiku di dalam sebuah mushala. Terbersit pemikiran dan pemahaman baru. Bagi seorang muslim, shalat adalah tiang agama. Ia menjadi amalan yang kelak ditimbang lebih dahulu daripada amalan-amalan lainnya. Salah satu gerakan shalat favoritku adalah sujud. Pernah kubaca, ketika sujud kita berada pada titik terendah, sekaligus tertinggi. Sebagai manusia yang rendah dihadapan Tuhan yang Maha Besar, juga sujud adalah wujud penghambaan tertinggi dengan menyebut nama-Nya. Tersadar, aku ingin sekali memperbaiki shalatku. Karena shalat adalah ibadah sepanjang waktu, sejak akil baligh hingga batas usia kita hidup.
Manusia seringkali disibukkan dengan segala aktifitas duniawi kita yang padat. Tugas-tugas sebagai khalifah di muka bumi yang tak terhitung. Namun, ada lima waktu wajib untuk seorang muslim bersujud pada-Nya. Rehat, menyandarkan takdir hidup dalam tiap sujud. Bagiku, barangkali inilah titik nol kita sebagai seorang muslim. Shalat, aktivitas , lalu shalat lagi begitu terus berulang seperti lingkaran yang tiada putus. Pada akhirnya setiap makhluk bernyawa akan kembali pada-Nya, bersujud menghambakan diri di hadapan Allah SWT. Karena Shalat bukan sekedar rutinitas. Sepertinya aku memaknai titik nol-ku lebih cepat, sebelum aku membaca buku yang aku beli. Sujud dalam shalat sebagai titik nol seorang muslim untuk menjalani segala sisi kehidupnya.
“Sudah hampir maghrib nih, ayo kita shalat di tempat lain saja. Di Masjid Agung dekat alun-alun lebih nyaman, InsyaAllah.” Ajakan Hanif menyeret kami keluar dari basement gedung megah ini.
Untuk kembali ke titik nol lagi.
No comments:
Post a Comment