Manusia sebagai makhluk sosial, diciptakan ke dunia ini tidak sendiri.
Mereka hidup bersama dan berinteraksi satu sama lain karena dasar saling
membutuhkan, memberi juga menerima. Masing-masing telah dikaruniakan
kelebihan di samping kekurangan, itu sunatullah. Seperti firman-Nya yang
termaktub dalam surah Al-Nahl ayat 71,
“Dan Allah melebihkan sebagian kamu
dari sebagian yang lain dalam hal rezeki (lantaran usaha masing-masing kamu
jelas berbeda-beda). Tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak
mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka
sama (merasakan) rezeki itu. Apakah mereka mengingkari (dan tidak mensyukuri)
nikmat Allah?”
Kelebihan itu bukan untuk kita jadikan bahan berbangga diri semata,
tetapi untuk mengembangkan diri serta menumbuhkan rasa untuk berbagi.
Semakin kita mengerti setiap hal yang kita miliki terdapat hak orang lain, maka
tiada keraguan untuk memberi. Ada Allah yang maha Memiliki apa yang ada di
langit, di bumi serta di antaranya. Memiliki sikap berbagi adalah wujud
tanggung jawab terhadap amanah yang Ia titipkan pada kita.
Ketika saya belajar tentang ekonomi misalnya, hubungan interaksi tersebut
bisa terwujud dalam suatu kegiatan berbisnis. Ada etika yang harus kita ikuti
agar tujuan bersama dapat tercapai, saling menguntungkan dari kedua belah pihak
dan bukan sebaliknya. Syed Nawab Haidar Naqvi, dalam buku “Etika dan Ilmu
Ekonomi: Suatu Sistesis Islami”, memaparkan empat aksioma etika ekonomi, yaitu,
tauhid, keseimbangan (keadilan), kebebasan, tanggung jawab.
Pertama,
tauhid menyadarkan bahwa manusia adalah makhluk ilahiyah yakni makhluk yang
bertuhan. Jadi, ketika ia melakukan kegiatan apapun termasuk berbisnis maka hal
tersebut ia lakukan semata-mata karena menjalankan perintah Allah SWT. Selalu
ada kontrol diri, karena ia menyadari bahwa ia berada dalam pengawasan-Nya. Kedua,
keseimbangan dan keadilan mengedepankan setiap perilaku bisnis harus seimbang
dan adil. Ia tidak akan mengagungkan kepemilikan harta individu yang
berlebihan, namun setiap keping harta ada fungsi sosial yang harus
diperhatiakan di sana.
Ketiga,
kebebasan. Artinya, manusia memiliki hak kebebasan untuk melakukan
aktivitas bisnis. Jika kita mengikuti aspek dalam bermuamalah, maka berlaku
padanya kaidah umum, “Semua boleh kecuali
yang dilarang”. Namun, kebebasan di sini tentu mengedepankan prinsip
kebebasan yang adil dan bertanggungjawab. Keempat, tanggung
jawab. Pada dasarnya segala sesuatu kelak akan di mintai pertanggungjawabannya.
Termasuk tanggung jawab moral terhadap Allah SWT dalam setiap gerak bisnis yang
kita jalankan.
Secara praktik, etika bisnis yang sesuai syariat telah di contohkan oleh
Rasulullah SAW ketika beliau berdagang. Paling mendasar adalah soal
kejujuran beliau sampai-sampai gelar Al-Amin sangat
melekat pada sosok Rasulullah. Banyak sekali yang dapat kita teladani agar
bisnis yang kita jalani menjadi berkah tersendiri bagi semua yang terlibat,
jadi bukan hanya berpusat pada kepentingan pribadi. Kembali pada judul tulisan
saya kali ini. Setiap perbuatan kita tentu memiliki landasan yang menggerakkan
diri kita mau melakukannya, termasuk dalam bisnis yang kita jalani. Mengapa kita
bersedia melakukannya untuk orang lain? Padahal terkadang hal tersebut kurang
menguntungkan bagi kita.
Dalam ekonomi Islam, pelaku bisnis tidak semata-mata mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya namun juga berorientasi pada ta’awun (menolong
orang lain). Caranya dengan mempermudah orang lain yang berbisnis dengan kita
untuk meraih rezeki. Niat berbisnis karena Allah akan membuat kita sadar untuk
lebih peduli terhadap kepentingan makhluk Allah yang lain. Selalu ingat, jika
kita memudahkan orang lain, maka Allah akan memudahkan urusan kita. Karena
mencari rezeki yang halal adalah perintah agama yang kita yakini, maka peran
kita menjadi begitu besar. Sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an surat
Muhammad ayat 7,
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya
Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
Menolong, bukan sekedar mengasihani. Ketika kita tak lagi mengerti,
mengapa banyak manusia yang enggan menjalani.
Khalila Indriana, 2013.
100 hari, inspirasi yang harus dikemas lebih rapi
No comments:
Post a Comment