image by google
Bismillahirrahmanirrahiim...
Jika ingin membaca tulisan ini lebih lanjut, ada baiknya anda baca
baik-baik Part 1 terlebih dahulu, ya. Biar nyambung,
biar tidak salah pemahaman. Okey, kita lanjut pembahasannya...
Jika seorang muslimah dapat bersikap dengan baik dalam menanggapi
perlakuan si jahil, tentunya akan sesuai dengan sikap seharusnya seorang
muslimah yang shalihah. Namun tak jarang malah ironi yang terjadi. Sebenarnya,
siapa sih yang ingin diperlakukan tak sopan oleh orang lain? Jika begitu, coba
koreksi ulang. Jangan serta merta menyalahkan si ‘penggoda’ tadi. Mungkin ada yang
salah dalam langkah gerak para muslimah ini, niat yang kurang lurus misalnya.
Atau benih-benih ujub yang bersemi dalam hati. “Wah, kalau aku lewat depan mereka, gimana ya?” atau “Jilbabku sudah matching sama warna bajuku belum, ya?” Nah lo, padahal belum tentu ada yang
memandang. Hehehe.
“Dan janganlah kamu memalingkan
mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri.” (QS. Luqman 31:18)
Siapkah kita menampilkan sikap yang baik setiap saat dalam
kehidupan kita? Adakah senyum itu senantiasa menghiasi wajah kita? Akhlak
adalah sesuatu yang tidak hanya terjadi secara alamiah. Akhlak yang baik itu
perlu pembiasaan yang dilakukan secara kontinyu. Menjadi muslim-muslimah yang kaffah, harus melalui proses yang panjang. Jika kita
berfikir untuk langsung menjadi sosok yang menawan, tapi mengapa seringkali
lupa pada prosesnya. Kadang langkah terhenti karena ragu, bisakah saya menjadi
orang baik? Mampukah saya menjadi hamba Allah yang taat? Dan seterusnya.
Ketahuilah, sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Namun, kita
hidup untuk berproses
menuju kaffah.
“Dan sederhanalah kamu dalam
berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara
keledai” (QS. Luqman 31:19)
Lewat depan siapapun tak peduli itu orang penting atau bukan,
kewajibannya adalah bersikap sopan, santun dan sederhana. Tidak akan membuat
kita merasa lebih penting atau merasa terhina dari sebelumnya. Kalau mau
berlenggak-lenggok, bukankah itu sudah ada tempatnyaIngat, dunia ini
diciptakan bukn hanya sebagai catwalk bagi manusia yang punya setitik
kesombongan dalam hatinya. Jalan yang kita lewati bukanlah red carpet yang
setiap gerak kita akan disorot dan dikomentari. Meski terkadang fakta di dunia,
manusia itu hobinya saling melempar komentar. Yang benar jadi ghibah, yang
salah jadilah fitnah.
Seorang muslimah itu, seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah
dan telapak tangan. Ada yang berpendapat bahwa suara juga menjadi salah
satunya. Itulah mengapa dalam ayat di atas kita dianjurkan untuk melunakkan
suara. Tak pantas lah, seorang wanita mengumbar suaranya yang aduhai merdunya.
Dibuat mendayu-dayu agar terdengar menggoda. Apalagi untuk berteriak-teriak,
bisa kiamat dunia. Kecuali mempertegas suara untuk menebar salam/ilmu atau
disimak bacaan al-Qur’an-nya.
Nah, kalau sudah begitu maka kewajiban kita tinggal menyelaraskan
sikap dan perilaku kita masing-masing. Tiap akhlak satu orang muslim/muslimah
adalah cerminan akhlak saudara sesama muslim lainnya. Bahkan, jika ingin
mengetahui akhlak seseorang, lihatlah/tanyakan pada orang yang ada di dekatnya.
Maka berhati-hati dalam bertindak untuk selalu dalam kebaikan maka akan ikut
menjaga kehormatan identitas muslim yang kita sandang.
Janganlah berlaku egois, “Biarin aja
gue masih kayak gini, apa urusannya lo ama gue. Gak ngaruh kali...”. Eits, bisa jadi kita adalah
biang persepsi miring yang sering kita dengar tentang image seorang muslim.
Huhu, padahal satu sisi banyak juga yang mati-matian mempertahankan dirinya
untuk senantiasa berlaku yang baik dalam setiap langkah geraknya. Cerminan atau
gambaran sosok seorang muslim, yang pertama dilihat adalah penampilannya
(penampilan akan menunjukkan perhatiannya pada apa-apa yang ia kenakan), lalu
tutur kata, kemudian sikapnya. Keseluruhan dari itu semua akan menunjukkan
akhlak dan hatinya.
“Laa tahqiranna minal ma’rufi
syaian-wa lau an-talqa akhaaka bi wajhin thalqin...”
Dari abu Dzar ia berkata, Nabi
bersabda kepadaku: “Janganlah engkau meremehkan suatu kebaikan apapun, walaupun
engkau bertemu saudaramu dengan wajah yang berseri-seri.” (HR. Muslim)
Lalu, apa susahnya menjadi pribadi yang lebih ramah? Apalagi itu
merupakan hal yang bernilai kebaikan. Adakah kita masih berat untuk ‘sekedar’
berucap salam dan melemparkan senyuman terbaik kita pada saudara kita yang
muslim? Sungguh tak terbayang, keberkahan doa yang di-ijabah ketika sesama
muslim saling mendoakan. Maka, masukan khususnya bagi para muslimah, menjadi
muslimah yang disenangi oleh banyak orang atau tidak adalah sebuah pilihan.
Banyak yang berkata dirimu shalihah, maka buktikanlah bahwa mereka
benar. Kalau di sapa agakbeda saja
sudah salah tingkah, disapa jahil malah berbalas sumpah serapah takkan ada lagi
ketenangan yang harusnya kita tunjukkan. Satu kali keburukan yang engkau semai, image seorang
muslimah yang tak baik bukan hanya akan ditujukan padamu. Tapi akan tersemat di
tiap dahi setiap muslimah di manapun berada. Right?
“Serulah manusia kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhan-mu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tesesat di jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapatkan petunjuk. Dan jika kamu
memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang
ditimpakan kepadamu. Akan tetapi,
jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang
bersabar.” (QS. An-Nahl
16: 125-126)
Selama ada cara yang terbaik untuk menghadapi hal yang tak baik,
maka tempuhlah jalan itu. Membalasnya? Bolehkah demikian? Boleh saja... Tapi,
coba deh difikir-fikir lagi klo mau balas kejahatan dengan kejahatan. Kata Muhammad Assad, dalam bukunya Notes From Qatar 2, hal itu cuma bakal jadi dendam
berkepanjangan. Maka, selalu berbuat baiklah kepada siapapun. Bahkan kepada
orang yang telah berbuat jahat kepada kita. Jika kita mau mengamalkan ayat di
atas, maka kita akan menjadi insan yang luar biasa. Meski orang lain berbuat
aniaya pada kita, dengan segera kita berlapang hati untuk memaafkannya.
Tetaplah berbuat baik kepadanya. Lalu kita bersabar atasnya. Toh, kita balas
atau tidak... ada Allah yang akan membalas mereka setara dengan perbuatannya.
Siapkah kita menjadi pribadi yang demikian?
Sedikit pesan-pesan nih. Buat yang suka jahil atau temennya yang
hobi jahil seperti dalam cerita, masihkah punya alasan untuk menjahili para
muslimah? Tolong segera berbenah diri ya, soalnya kadang muslimah-muslimah itu
sebenarnya tak punya banyak waktu untuk kalian. Beneran deh. Oh ya, jangan lupa
baca notes ini, mulai part 1 lalu lanjut part 2. Hehehe. Bagi para muslimah, mari belajar
menjadi cerminan sosok muslimah yang sebenarnya. Amalkan tiap-tiap ilmu yang
kita dapat, yang nantinya menjadi ciri/identitas muslimah yang rahmatan lil ‘alamin. Bukan yang sembarangan bisa
digodain. Okey!
Terakhir, sebenarnya masih banyak yang dapat kita uraikan mengenai
hal ini. Apalagi pembahasan ini kaitannya terjadi dalam keseharian kita.
Sungguh, ini hanya lintasan pemikiran saya yang mungkin baru dapat saya uraikan
secara dangkal. Mungkin ada sisi ego saya sebagai seorang muslimah. Namun saya
berusaha memandang dari sisi objektifitas, berdasarkan fakta dan
menyelaraskannya dengan al-Qur’an dan Sunnah. Memandang dari banyak sisi,
selalu membuat saya belajar. Apa yang saya anggap benar,tentunya masih ada yang
Maha Benar.
Wallahua’lam bi ash-shawab.
Pejuang pena,
berjihad dengan ilmu lewat goresan tintanya.