image by google
Teringat sebuah cerita yang pernah saya baca saat
duduk di bangku SMA. Cerita yang patut disimak dan diambil hikmahnya. Berikut
sekilas cerita tersebut, dengan penuturan kata-kata saya sendiri (fiksi) tanpa
mengurangi isi cerita yang terkandung di dalamnya.
Ada seorang anak cewek SMA bernama Zahra,
muslimah tapi belum berjilbab. Ia terkenal tomboi dan lebih suka bergaul dengan
teman-temannya yang putera. Suatu hari ia tengah asyik nongkrong bersama
gank-nya itu, di salah satu sudut sekolahnya. Kebetulan tempat tersebut juga
merupakan satu-satunya jalan akses ke mushola sekolah. Mereka bercanda
ngalor-ngidul dan tertawa-tawa sejak tadi. Tak peduli adzan dzuhur yang tengah
bergema dari TOA mushola,.. bahkan tak satupun yang berniat bergeming memenuhi
panggilan-Nya.
Sejurus kemudian ia melihat beberapa gerombolan
anak-anak putri yang nampak bergegas menuju ke arah mushola. Aha! Ia
mengenalinya, mereka adalah para jilbaber aktivis ROHIS (Kerohanian Islam) yang
terkenal alim ulama’ di sekolah mereka. Dengan segala ke-iseng-an
yang ia miliki, terbersit ide untuk sedikit menggoda mereka. Beberapa langkah
setelah muslimah-muslimah itu melintas, Zahra memekik dengan lantang.
“Assalamungalaikuuuuumm. Hihihi.... Ssst...
Jama’aaaaah, ooh.... jama’aaah.... kayaknya barusan ada pasukan ninja lewat
ya?? Hahahahaha....” sontak tawa bergemuruh memenuhi lorong tersebut. Ada yang
terpingkal-pingkal setelah mendengar kalimat Zahra. Dengan tawa kepuasan, Zahra
berkali-kali melayangkan toast ke udara ke arah
teman-temannya.
Awalnya Zahra berfikir rombongan muslimah yang entah
siapapun namanya kerap di panggil ‘Ukhti’ itu, akan diam saja. Atau paling
banter mereka akan marah atas kelakuannya. Tanpa diduga, salah satu ukhti itu
berhenti dalam langkahnya. Zahra kaget, bersiap-siap kena semprot akibat
ucapannya barusan. Si ukhti berbalik menengok ke belakang, tepat mengarah ke
wajah Zahra dan.... criiingg! Senyum tersungging manis, melengkung bak pelangi
terbalik di wajah teduh si ukhti. Ya, mbak-mbak ROHIS itu. Semua terdiam, termasuk
Zahra.
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakaatuh.. Mari
ukhti, kita sholat Dzuhur berjamaah di mushola...” katanya santun dan kembali
tersenyum. Kemudian ia melanjutkan melenggang ke mushola, takut ketingggalan
rakaat pertama. Cesss......... Zahra terpana bukan buatan. Ia belum sempat
berfikir lebih jauh. Andaikata ia di bandara, tentu ia akan ikut penerbangan
pertama dan menyuruh pak pilot membawanya kemana saja. Kalau bisa, keluar
angkasa. Sungguh, niat ingin mempermalukan ukhti-ukhti berjilbab tadi, telak
membuatnya malu dihadapan temen-temannya. Malu kepada si ukhti. Terlebih lagi,
ia malu kepada Allah. Bukan kata-kata yang kasar yang seharusnya pantas ia
terima, tapi jawaban salam super komplit dan ajakan sholat yang keluar darinya.
Tak ketinggalan senyum super ramah ikut menghiasi wajahnya yang terbingkai
jilbab. Sungguh, ia menyesali perbuatannya tadi.
Belakangan terdengar kabar, Zahra yang tomboi kini
berubah 180 derajat. Atas kesadarannya sendiri, ia mulai mengenakan hijab dan
ikut aktif dalam agenda-agenda kegiatan ROHIS sekolahnya. Ia tak lagi nongkrong
bareng ana-anak cowok. Ia juga telah meminta maaf kepada si ukhti yang sempat
menjadi korban kejahilannya. Malah, ia banyak mendapat masukan dan dukungan
darinya. Sungguh indah dan mendamaikan.
***
Banyak hikmah bertebaran yang dapat kita petik dari
cerita di atas. Namun, di sini saya hanya ingin menyampaikan beberapa hal.
Terlebih hubungannya dengan ayat yang saya singgung di awal tulisan.
Berdasarkan pengalaman pribadi sang penulis, kejadian ‘digodain’ saat
melintas di depan anakcowok (apalagi
kita yang lewat kebetulan adalah seorang muslimah berjilbab) menimbulkan
beberapa respon yang menarik untuk diungkap. Entah apa motif yang sebenarnya
mendorong mereka untuk melontarkan salam, namun lebih mirip bernada ‘siulan’.
Karena, seringnya diikuti tawa-tawa yang kurang mengenakkan bagi si penerima
salam. Bukan sebuah salam yang tulus, dengan tujuan mendoakan saudaranya sesama
muslim. Sungguh sangat disayangkan, doa yang berbalur kurang lurusnya niat jadi
tak berarti karna tak faham dalam memaknai sebuah ucapan salam.
Masih bagus jika yang di ucapkan adalah sebuah
salam. Belum lagi kalimat-kalimat lain semisal, tiba-tiba beristighfar (emangnya
ngelihat setan? Atau
gak kuat, takut dosa gara-gara gak bisa ghadul bashar,
kali ya? Hehe.. Wallahua’lam).
Atau yang terbaru nih, menirukan gaya ustad Maulana yang khas, yaitu menyapa jama’aaah... Kreatif
sekali kan? Ada-ada saja.
Sebenarnya tidak buruk apa yang mereka ucapkan. Daripada sebuah siulan atau
panggilan menggoda seperti yang kerap dilontarkan pada cewek seksi, yang lewat
di depan cowok-cowok itu. Tapi tak lebih baik jika tetap saja niatnya tidak
hanya sekedar menyapa melainkan niatan yang buruk.
“Allah tidak
menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh
orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Jika
kamu menyatakan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu
kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.” (QS.
an-Nisa’ 4:148-149)
Apakah seorang yang dalam berpenampilan secara fisik
telah memenuhi syarat ‘tidak mengganggu’ pandangan orang lain, masih pantas
diperlakukan tidak sopan? Terutama terhadap muslimah. Tentu akan menimbukan
berbagai pertanyaan besar. Memang, penampilan apalagi dihadapan manusia tak
lebih penting daripada pandangan Allah kepada kita. Namun, menjadi sangat
mencengangkan jika penampilan seorang muslimah menjadikan bahan olok-olokan.
Terlepas bagaimana akhlaknya, setidaknya memuliakan seorang wanita tentu lebih
utama. Bahkan, sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang shalihah.
Katakanlah kepada
wanita beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa
nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka....dst” (QS.
An-Nur 24:30)
Memakai pakaian yang sesuai syari’at, memiliki
beberapa tujuan antara lain agar mudah dikenali dan tidak diganggu. Jika sudah
berusaha berpakaian yang sesuai dan masih diganggu, lalu apalagi yang harus
dilakukan? Sungguh jaman sudah benar-benar makin dekat dengan kiamat rupanya.
Sampai disini kita sudah banyak memandang respon
dari sisi lelakinya. Lalu bagaimana tanggapan seorang muslimah itu sendiri
ketika mendapat perlakuan yang kurang mengenakkan tersebut? Apakah seperti siap
si Ukhti dalam kisah diatas? Hm, tunggu dulu.
Pembahasan berikut, insyaAllah kita
sambung di part 2. Mungkin ada tanggapan dari pembaca sekalian? Boleh, share at comment ya..
Mohon maaf jika ada salah kata.
Wallahua’lam bi
ash-shawab.
Pejuang
pena, berjihad dengan ilmu lewat goresan tintanya.
Tuesday, May 29th
2012
sangat menginspirasi, terima kasih atas inspirasinya
ReplyDeleteSama-sama... Terimakasih kembali atas kunjungannya.. :)
Delete