"Jika Anda ingin lebih menghargai sebuah penerimaan, maka belajarlah untuk tahu rasanya jika ditolak"
Hehe, barangkali itu hikmah yang saya dapat. Ketika saya lagi gencar2nya berusaha mengirimkan karya-karya saya (berupa tulisan ke berbagai media) ternyata saya belajar untuk berlapang dada. Memang baru kali itu merasakan sensasinya bagaimana sebuah karya 'di tolak' oleh media. Biasanya, hanya menunggu sekitar 1-3 bulan baru kita menyerah bahwa media tersebut belum dapat memuat artikel/tulisan kita di sana. Seringnya tanpa pembritahuan. Wajar.
Namun, menerima balasan email penolakan sehari setelah saya sent email tersebut, jujur baru pertama. Hehehe.
Di balik itu semua, saya merasa bersyukur, senang, agak shock jujur..hehe namun juga haru. Saya senang karena tulisan saya dikembalikan dengan berbagai saran yang membangun. Itulah yang saya butuhkan. Kalau saya bebas menge-post apa saja yang saya tulis ke media blog/notes, kadang saya juga harus mengoreksi...tulisan mana yang layak tampil atau tidak. Manfaat atau tidak. Bahasa sudah baik atau masih kaku menggurui? Semoga ke depan saya dapat menyajikan tulisan-tulisan yang baik, bermanfaat dan lebih berkualitas. Amiin.
Dan inilah tulisan yang tertolak itu... Semoga bermanfaat bagi pembaca blog saya...
image by google
Amanah adalah Anugerah
“Amanah adalah anugerah. Semangat menjalankan
amanah, semoga kita senantiasa menjadi orang yang amanah.”
Bukan untuk diminta, tapi ketika
itu datang kepada kita ada keutamaan untuk sebisa mungkin tidak menolaknnya.
Itulah amanah. Apabila itu telah diterima, maka kewajiban kita untuk
melaksanakan dengan sebaik-baiknya. Itu pula sikap yang harus dimiliki para pemegang
amanah. Bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Adakalanya kita sibuk berkelit,
mengatakan saya tak bisa, saya tak mampu. Padahal belum mencoba.
Seringkali kita takut dan ragu,
bukannya tak mampu terlebih lagi karena tidak mau. Kita takut, bukan takut
kepada Allah. Tapi takut waktu kita berkurang, takut menjadi pusat perhatian
dan dikatakan riya’. Padahal jika seperti demikian, sesungguhnya benih-benih
ujub itu sudah bersemi tanpa sadar. Na’udzubillah.
Apakah lantas para pemegang amanah itu adalah golongan orang-orang yang
ujub, riya’ dan mencari sensasi belaka? Tentu saja bukan.
Rasulullah SAW adalah teladan
terbaik bagi seluruh umatnya. Dengan bekal kecerdasan yang dimilikinya, beliau
hadir sebagai orang yang dapat dipercaya. Disaat semua gelap mata, tak mampu
memecahkan permasalahan dengan fikiran yang jernih. Kehadirannya memberikan
solusi terbaik, siapakah yang paling berhak menaruh Hajar Aswad ke tempatnya semula? Kemudian beliau bentangkan
sorbannya, ia perintahkan untuk setiap kabilah memegang ujung-ujungnya. Agar
semuanya adil, dan tiada yang merasa paling unggul karenanya. Maka gelar Al-Amin pun senantiasa melekat padanya.
Ya, seorang yang dapat dipercaya. Itulah hebatnya orang yang amanah.
Marilah sejenak kita renungkan,
tiap detik hidup kita adalah amanah yang kelak dimintai pertanggungjawabannya.
Allah menganugerahkan kita hidup di dunia, dan menghadiahkan waktu yang sama.
Apakah kita berhasil menggunakan waktu dengan baik, atau kita lalai? Bahkan
amanah yang satu ini kita anggap tak penting. Maka dari itu, dibutuhkan
manajemen waktu yang baik untuk mengaturnya, bagaimana menyusun skala prioritas
apa yang akan kita kerjakan. Aset waktu yang kita miliki selayaknya dapat kita
pergunakan dengan kegiatan-kegiatan yang produktif. Kita manfaatkan
sebaik-baiknya dalam rangka menjalankan amanah.
Allah tidak hendak membebani
hidup kita diluar batas kemampuan yang dimiliki hamba-Nya. Namun, apakah kita
telah berusaha untuk menjalankan dengan maksimal segala sesuatu yang menjadi
kewajiban kita? Yang wajib saja masih tercecer, apalagi yang sunnah. Begitulah
pendapat kebanyakan. Bukankah sunnah itu akan menyempurnakan yang wajib meski
tak dapat menggantikannya? Ah, mudahnya kita membuat ribuan alasan untuk
mengelak. Dari situ saja dapat kita lihat kualitas diri kita dalam mengemban
suatu amanah. Belum lagi menginjak ke PR-PR besar selanjutnya, menyiapan diri
sebagai generasi umat terbaik. Jadi, sudahkah kita memiliki kualitas diri yang
pantas membuat diri kita mendapatkan sebuah amanah? Wallahua’lam bi ash-shawab.
Waaah, baru baca disini akuuu....
ReplyDeleteJika seseorang dikasih amanah, tentu itu tak luput dari "kepercayaan" Allah pada orang tersebut untuk mengemban amanah. Tinggal sikap kita, mau tidak mencoba untuk menerima amanah dan menjalankan dengan sebaik-baiknya? Yang kepengen beruntung, pasti akan menrimanya dan barusaha seoptimal mungkin. Bukannya kalah sebelum berperang alias kabooooor.......
Bagus tulisannya, pendek dan mengena.
Yup, menjalankan amanah insy jauh lebih mulia daripada bikin 1000 alasan untuk menolaknya. Thanks, semoga bermanfaat.. ^^
DeleteGreat mbak...Bila selalu sadar akan amanah, tak penting lagi pujian manusia,perhatian manusia, apalagi imbalan, saat menjalankan amanah...
ReplyDeleteBetul pak Dian.. beruntunglah orang yg mendapat amanah lalu ia mengerjakannya dengan sebaik2nya... :)ikhlas lillahi ta'ala... :)
Delete