Realitas
kehidupan seringkali tak sejalan dengan yang kita inginkan. Namun,
ketahuilah bagaimana cara Tuhan menyayangi hambanya. Agar kita semakin
mengerti bagaimana cara mencintai sesama. Jika kita merasa lebih
beruntung dikaruniai akal dan fisik yang sempurna, selanjutnya
belajarlah bersyukur dengan melihat saudara kita yang mungkin kita rasa
lebih tak berdaya dengan segala kekurangannya. Bukan, bukan untuk
mencemooh mereka dan membanggakan yang kita punya. Lebih kepada melihat
kebesaran Tuhan dalam penciptaannya. Kita yang di beri kelebihan
diciptakan untuk melengkapi yang kekurangan. Alangkah indahnya. Namun
kebanyakan manusia lupa.
Kepedulian
sering di terjemahkan sebegai rasa belas kasihan. Tipis sekali perbedaan dan cara memaknainya. Padahal, bagi saya kepedulian berarti pengambilan sikap yang menunjukkan rasa ikut bertanggungjawab, rasa
memiliki dan rasa ingin berbagi. Bagaimana merasakan kekuatan yang kita
miliki akan jauh lebih berharga untuk sebanyak-banyaknya untuk memberi.
Bukan untuk menindas, mencibir apalagi mencaci. Sungguh, bukan karena
kita patut dipuji dengan kelebihan yang kita sandang, apalagi dicap
dermawan dengan jiwa sosial tinggi lantas kita pantas berbangga hati.
Karena masih ada Dzat yang lebih Maha dari jiwa-jiwa yang lupa ini.
Saya
terhenyak menyimak profil seorang dilayar kaca hari ini. Pengabdian
seorang bapak penggagas sebuah yayasan bagi orang sakit jiwa. Tak kurang
hampir 100 orang penghuni yang menjadi binaannya. Ia mengabdikan
seluruh hidupnya, tenaga, waktu, fikiran dan tentu saja biaya untuk
merawat para manusia yang hilang akal. Yang seringnya kita temui,
dibiarkan berkeliaran di jalanan. Kadang tanpa busana, mengais makanan
di sampah, atau apa saja yang ia temukan. Beruntung jika masih ada
beberapa yang peduli untuk memberinya makanan sekedarnya karena iba.
Namun bapak satu ini lain, lain dalam memperlakukan mereka. Mereka di
ajak untuk tinggal di sebuah barak penampungan bernama yayasan. Yayasan
yang ia bangun dengan pondasi kepedulian, mengabdi atas nama kemanusiaan.
Ia tanggalkan jabatan kepegawaiannya. Ia tak lantas selamanya menjadi
‘kacung negara’. Tapi berfikir bagaimana hidupnya lebih bermanfaat bagi
sesamanya.
Tak
banyak modal yang ia punya. Sebuah lapak bekas terminal ia sulap
menjadi rumah yang ‘nyaman’ bagi manusia-manusia itu. Manusia yang
berwujud namun jiwanya terbang entah kemana. Ah, ini sebuah barak yang
tak ubahnya sel, dengan jeruji bambu semakin menyatakan jiwa-jiwa disini
tengah mengembara... Gelap, karena jika terang mereka tak mampu
terlelap karena saling terusik satu sama lainnya. Namun semangat bapak
pengasuh yayasan tak pernah padam, justru makin menyala-nyala ikut
menerangi jiwa-jiwa yang hampa.
Belajar
tentang pengabdian, kita sebagai abdi. Pelayan, menjadi pelayan yang
baik dalam melayani saudara kita yang membutuhkan tangan-tangan emas
yang mau menyentuh mereka. Bukan seperti kenyataan ironis, banyak
pejabat aparatur negara justru minta ‘dilayani’ karena jabatannya.
Padahal ia dipercaya sebagai pelayan publik! Masih adakah seberkas rasa
malu di relung hati mereka?
Sedikit
berfikir dan banyak bertindak. Tidak dipungkiri, itulah yang paling
berguna untuk dilakukan. Bukan sekedar lisan atu janji belaka. Apalagi
dalih ketidakmampuan. Sama saja meragukan pertolongan dari Tuhan, bukan?
Belajar mengasah kepekaan, bukan acuh tak acuh dan membuang muka. Apa
yang kita lihat, cobalah rasakan. Bayangkan jika orang yang mengalami
gangguan jiwa tersebut adalah saudara kita sendiri. Alangkah angkuhnya
diri kita mengelak untuk tidak merasa terguncang dan ingin meringankan
beban hidup mereka.
Baiklah,
mungkin bentuk pengabdian yang sanggup kita upayakan kita sesuaikan
dengan kemampuan dan inisiatif kita sendiri. Akan jauh lebih bijak dan
tak memaksakan diri. Apabila kita belajar untuk menjadi pribadi yang
ingin sebanyak-banyaknya bermanfaat bagi orang lain, tentu kita tak
punya banyak waktu mengeluh ini-itu. Karena diluar sana banyak tugas
yang selayaknya kita kerjakan bersama. Asah kepedulianmu, dan belajar
untuk mengabdikan diri bagi kehidupan yang singkat ini. Hidup hanya sekali, lakukan yang berarti. (Ahad, 12 Mei 2012)
No comments:
Post a Comment