image by google
*artikel ini di publikasikan di Mading AlMa Zone, mading Lembaga Dakwah Kampus UKMI Al Manar Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
Sudah
menjadi perkara yang biasa jika kita bertanding dalam suatu perlombaan,
turnamen, kompetisi dan seterusnya, melawan rival kita untuk menduduki
posisi juara. Terkadang kita menyusun strategi yang matang agar lebih
siap menghadapi lawan. Kita memprediksi, meneliti kelemahan-kelemahan
lawan kita, dan berusaha mempersiapkan ‘senjata’ yang ampuh untuk
menjadi pemenangnya. Diluar itu semua, kita juga mempersiapkan amunisi,
untuk mengasah kelebihan kita sendiri. Namun, apabila kita memahami
bahwa sebenarnya dalam diri manusia ada yang jauh lebih berat yang harus
kita hadapi. Siapa?
Yup,
benar sekali. Sebenarnya, diri kita sendiri-lah lawan yang paling berat
untuk dapat kita taklukkan. Disaat hati kita ingin melakukan hal yang
kita sukai, boleh jadi Allah melarangnya. Allah tidak meridhoinya. Namun
di saat Allah memerintahkan untuk dikerjakan, kita malah mangkir. Ya,
begitulah sifat manusia. Selain akal dan fikiran, manusia dikaruniakan
hawa nafsu yang mempengaruhi setiap gerak langkahnya. Terkadang nafsu
kita jauh lebih besar pengaruhnya dari akal sehat dan hati nurani.
Menuruti hawa nafsu, meskipun niatnya baik terkadang menimbulkan cara
yang salah dalam praktiknya. Maka, tugas kita adalah me-manage-nya agar tidak timbul sesuatu yang berlebihan dan bertentangan dengan kehendak Allah Swt.
Lalu,
di manakah letak hawa nafsu itu? Tak lain ada dalam diri kita sendiri!
Itulah tantangannya, jika kita berkompetisi dengan orang lain pengaruh
bisa jadi dari pihak eksternal. Kita dapat merumuskan stategi perlawanan
dan defence-nya dengan melihat lawan kita. Namun, jika
yang harus kita lawan ternyata adalah diri kita sendiri, harusnya kita
jauh lebih paham apa yang harus kita lakukan. Memang, seorang manusia
tak dapat melihat tengkuknya sendiri. Namun, kita masih bisa bercermin
bukan? Bercermin dengan apa dan lewat apa? Bercermin dari pengalaman, history
kita sendiri untuk senantiasa jadi bahan muhasabah diri yang bagus.
Kita tentu juga memiliki orang lain yang hidup di sekeliling kita, yang
dapat melihat sisi kelebihan dan kekurangan kita. Masukan berharga dari
mereka juga perlu kita dengar.
Hari ini saya terfikir memaknai tentang kompetisi melawan diri sendiri. Banyaknya target-target, cita-cita, impian serta planning
yang kita rancang terkadang seperti bongkahan batu bata yang disusun
dan lama kelamaan menjadi satu tembok besar yang menjadi penghalang
dalam mencapainya. Yang benar, harusnya kerika satu batu bata kita
letakkan, maka kita harus mau untuk naik ke atasnya. Terus dan terus
hingga batu bata yang tersusun tinggi kitapun mampu berdiri lebih tinggi
diatasnya. Menjadi pijakan yang kokoh, bukan lagi menjadi tembok
penghalang.
Menulis,
menghafal, membiasakan yang baik, kebanyakan diri kitalah yang harus
menumbuhkan kedisiplinan. Tanpa adanya kedisiplinan dari diri, tak ada
tanggung jawab. Karena, oranglain hanyalah sebagai pihak yang mendukung,
mengingatkan dan memberikan kritik pada oranglain. Bukan yang membangun
kepribadian dalam diri seseorang. Saya ingin memiliki kesadaran diri
untuk lebih disiplin. Keraslah pada dirimu sendiri, maka dunia akan
lunak padamu. Sepertinya menjadi kalimat yang harus saya ulang-ulang dan
lekatkan dalam setiap perjuangan saya melawan diri sendiri. Satu
halaman perhari, mulai menghafal al-Qur’an (lagi) dan membiasakan
kebiasaan baik mulai dari yang paling mudah untuk di jalani adalah hal
yang saya putuskan untuk jalani saat ini. Yang ingin saya jadikan modal
untuk memperkokoh menuju pribadi yang lebih baik lagi. Andaikata saat
ini saya belum mambu berbuat sesuatu yang besar, perubahan kecil saya
adalah bukti keseriusan saya mengikuti jejak langkah orang-orang
besar,dan kelak menjadi orang yang besar pula di masa yang akan datang. Wallahua’lam bi ash-shawab. (Senin, 07 Mei 2012)
No comments:
Post a Comment