Khalila Butik Hijab Syar'i

Sunday, May 20, 2012

Ada Karya Dibalik Prasangka

image by google


Semenjak masih kanak-kanak, saya gemar sekali membaca. Membaca apa saja. Bahkan sebelum saya masuk TK (dulu belum marak pendidikan pra sekolah TK seperti PAUD yang belakangan sedang in), saya sudah cas-cis-cus membaca koran! Saya teriakkan apapun yang berhasil saya eja. Sehingga tak heran ketika memasuki jenjang sekolah dasar, saya sudah fasih baca-tulis di saat teman-teman seperjuangan saya masih tampak sibuk belepotan mengeja. Saya lantas sudah beralih pada belajar hitungan menerawang, tanpa alat. Dan saya tetap terus membaca. Bahkan, saat kelas dua SD, saya hafal luar kepala isi buku pendidikan pancasila dan kewarganegaraan! Mengapa? Karena, buku tersebut satu-satunya buku yang paling banyak teksnya hingga ratusan kali saya baca ulang.

Dalam hal seni menggambar, saya tak terlalu mendalaminya. Entahlah, dulunya saya punya anggapan cukup negatif bahwa tak ada darah seni yang mengalir di tubuh saya. Menggambar itu masalah bakat. Selain itu juga keterbatasan media seperti buku gambar, crayon, pensil warna dan lain-lain yang membatasi kebebasan ekspresi, menyoal dunia seni menggambar. Seingat saya, dinding kamarlah yang menjadi saksi bisu betapa kreatifnya kami (saya dan ketiga saudara perempuan saya) dalam mencurahkan segala gagasan. Mulai dari menggambar Hamindalid (tokoh kartun dalam komik majalah Mentari) hingga menulis angka dari 1 sampai dengan 1000, mengular tanpa titik koma! Menurut saya, yang paling jago menggambar itu kakak pertama saya. Dia bisa menggambar Cassandra dan Maria Mercedez, dua tokoh telenovela paling cantik luar biasa kala itu. Saya berdecak kagum dibuatnya.
Pengalaman buruk yang termemori di kepala saya tentang menggambar, terjadi saat saya duduk di kelas satu sekolah menengah pertama. Saat itu guru geografi saya memberikan tugas yang bagi saya berat, berhubungan dengan menggambar. Kami diberi tugas individu yaitu menggambar peta provinsi Jawa Timur. Saya sendiri lupa, apakah instruksi dari Bu guru disuruh menggambar secara detail atau tidak. Entah apa yang saya fikirkan kala itu. Meskipun saya lemah dalam hal menggambar, saya bertekad harus berusaha menyelesaikan gambar peta tersebut dengan sebaik-baiknya. Saya gambar sangat detaiiiil sekali, menuangkannya di selembar kertas manila putih yang lumayan lebar. Mulai dari lekukan garis pantai ujung timur pulau Jawa itu, anak sungai, hingga jalur lintasan kereta apinya! Warna dataran dan kedalaman lautpun saya buat bergradasi, semirip mungkin sesuai yang tergambar di peta. Mungkin akan sulit membedakan, itu gambaran tangan atau hasil print kalau jaman sekarang. Hehe.
Berbekal sebuah atlas, pensil, karet penghapus, penggaris, pensil warna dan tentu saja tekad baja. Selama tiga hari saya kerjakan siang dan malam hingga lupa makan sampai begadang segala. Padahal itu mati-matian dilarang bang Haji Roma Irama. Dan ketika itu selesai, sangat puas rasanya! Saya jadi merasa bersalah sering meragukan sendiri kemampuan saya dalam hal menggambar. Ternyata, tak separah dugaan saya. Dengan senyum terkembang, keesokan harinya saya gadang-gadang hasil kerja keras tersebut kehadapan Bu guru geografi yang terhormat. Dan apa yang terjadi saudara pembaca sekalian?
Sangat mencengangkan. Hasil karya saya diragukan keabsahannya! Dengan terang-terangan Bu guru bertanya dengan sopan (baca: menuduh), apakah saya mengumpulkan gambar bukan hasil sendiri alias hasil gambar buatan kakak atau siapalah. Menurut pandangan rasio beliau yang sungguh terlalu itu, tidak mungkin anak seusia saya (yang jelas bagi beliau saya ini bermuka tak jago gambar, mungkin) bisa menggambar peta sedetail itu. (Padahal, bubble yang muncul dari kepala sang  Bu guru sepertinya berteriak,”BAGUS BANGEEEEETTT!!!!” Hehehe.)
Sontak saya menyanggahnya. Namun apa daya, karena sedari awal apresiasinya sudah buruk dengan mengatakan itu hasil karya orang lain, saya terdiam. Ingin menangis rasa hati saya kala itu, tapi segera saya tepis. Pada akhirnya, saya harus terima di lembar peta yang saya buat dengan susah-payah, terpaksa puas pulang dengan nilai 8 saja. Cukup. Tak terlalu buruk sebenarnya, tapi saya mendadak geram setelah tahu nilai karya teman sekelas saya yang menggambar asal-asalan tak ubahnya (maaf) rempeyek kebanyakan air malah mendapat nilai 9! Mungkin dengan dalih ‘karya sendiri’. Benar-benar mengecewakan, bukan?
 Apakah saya marah, lalu menuntut keadilan? Apakah saya menyesal dengan kejadian yang hampir 9 tahun silam itu? Jawabannya, tidak. Malah saya bersyukur, dari situlah saya belajar bagaimana menghargai sebuah karya. Dan bagaimana berusaha, minimal mengapresiasi dengan baik karya orang lain. Tidak langsung men-judge bahwa itu bukan karya sendiri, plagiat, dan seterusnya. Salah-salah jadi fitnah.
Sejak saat itu saya kembali acuh dalam dunia gambar-menggambar. Tetapi saat di bangku SMA ada semacam penjurusan dalam mata pelajaran Seni Budaya yaitu tari, musik, atau gambar. Saya memutuskan untuk mengambil konsentrasi bidang seni gambar, tapi lebih banyak ke gambar perspektif. Belakangan saya baru mengetahui bakat saya di bidang seni adalah bukanlah gambar, melainkan kerajinan tangan dan permainan warna.
Saya sedikit terhibur, karena sebenarnya saya sudah lama mengetahui adanya darah seni yang diwariskan dari pihak keluarga ibu pada keturunannya. Kakek saya yang dulu berprofesi sebagai pembatik. Paman saya seorang tukang kayu yang pandai di bidang ukir-ukiran. Ibu saya pandai memasak. Saya penasaran saja, masa tak ada hasil karya yang dapat saya ciptakan dari tangan saya yang lentur ini? Hehehe. Jadi, tak ada yang salah dengan tidak jago gambar. Saya bisa berkarya dengan cara saya sendiri.
Kembali soal membaca. Saya terus membaca. Membaca apa saja. Buku, novel, koran, majalah, kamus, internet, blog, brosur, modul, bahkan kertas pembungkus tempe juga menjadi bahan bacaan saya. Tentu saja selama ada tulisannya, hehe. Satu hal fakta yang harus jujur saya ungkapkan, saya tidak bisa membaca komik. Apalagi manga, tolong! Tidak usah bertanya. Barangkali komik yang pernah saya baca adalah serial Hamindalid, Donal Bebek dan Detektif Conan. Itupun saat saya masih kecil. Intinya, saya lebih senang membaca tulisan.
Saya terus membaca. Kapan saja, di mana saja. Ada waktu luang saya membaca. Ketika sibuk, saya luangkan waktu untuk membaca. Gerah rasanya seringkali mendengar sindiran orang tentang budaya membaca yag rendah, hanya seringnya baca SMS atau status FB. Miris saja. Saat ini, koleksi buku saya masih jauh dari kata banyak. Tapi juga tak sedikit. Seringnya jika ingin baca, ya pinjam. Berdoa suatu saat bisa ganti meminjam-minjamkan buku bermutu kepada teman-teman yang ingin membaca. Doakan ya, agar koleksi bukunya makin bertambah.
Kegemaran membaca, jika hanya berhenti sampai membaca tentunya sangat kering. Gersang, ilmu yang dibagikan takkan sebanyak yang didapatkan dari membaca. Bagaikan pohon tak berbuah. Dan saya tak hanya terus membaca, tapi juga mulai menuangkannya dalam tulisan. Meski hanya dalam catatan kecil seperti yang tengah saya goreskan ini. Menulis membuat hidup lebih hidup, ilmu tak berkurang secuilpun namun kian bertambah melekat. Setiap yang membaca tulisan kita dan dapat menangkap hikmah maupun manfaat, InsyaAllah pahala pun siap mengalir untuk kita. Seperti gelas yang diisi air, suatu saat akan penuh dan tumpah pula.
Jadi, siap berbagi ilmu yang kita dapat dari membaca, lewat tulisan-tulisan kita? Percayalah, kelak tulisan bukan hanya menjadi story dalam hidup kita. Melainkan history yang akan mengukuhkan bahwa kita pernah ada. Semangat membaca dan menulis ya! (Kamis, 17 Mei 2012)

No comments:

Post a Comment