Bismillah..
Saya
tergerak menulis catatan ini untuk mengingatkan pada diri saya sendiri
tentang esensi sebuah mahar. Mahar merupakan salah satu bagian dari
suatu pernikahan, yang acap kali dibahas secara sederhana namun juga
terkadang menarik untuk dibahas secara mendetail. Bahwasanya Nabi bernah
bersabda,”Sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan).” (HR.
al-Hakim) Seorang perempuan boleh meminta ‘apapun’ kepada calon
suaminya. Tentunya dengan batasan-batasan yang dapat diterima secara
wajar, dimana si pria mampu untuk memenuhinya. Jangan sampai mahar yang
ditetapkan menjadi sebuah penghalang terjadinya sebuah pernikahan karena
memberatkan sang calon suami.
Mahar adalah tanda
kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita. Mahar
adalah sepenuhnya hak bagi seorang istri. Tidak berhak keluarga dari
pihak isteri maupun keluarga suami bahkan suaminya sendiri untuk meminta
atau mengambil alih hak sebuah mahar yang diberikan suami kepada
isterinya. Kecuali sang isteri dengan kerelaan hati menggunakannya untuk
kemaslahatan keluarganya. Hal tersebut diperbolehkan. Istri yang baik
selalu memilih jalan-jalan terbaik ikut memikirkan bagaimana agar
kehidupan keluarganya berjalan dengan baik pula.
Mahar
yang paling umum diberikan pengantin pria adalah...
seperangkat alat
sholat, cincin (emas), atau uang tunai. Dan, biasanya dibayarkan secara
tunai pula. Ada mahar yang di sebutkan secara gamblang, namun ada pula
mahar yang tidak disebutkan karena bisa jadi adalah mahar itu sebuah
janji yang akan dipenuhi di kemudian hari seiring berjalannya
pernikahan.
Seperangkat alat sholat mengisyaratkan sebuah
tanggung jawab seorang suami sebagai imam dalam keluarga untuk
membimbing istrinya selalu berjalan di jalan Allah. Melalui ibadah wajib
serta memelihara sunah-sunnah Rasul. Sang suami juga bersedia
mengajarkan sang istri cara beribadah yang benar, merutinkan yang wajib
seperti sholat, puasa, juga membiasakan yang sunnah seperti sholat
tahajjud, dhuha, puasa sunnah. Juga membenahi bacaan Al-quran sebagai
penerang dalam rumahnya. Alangkah indahnya jika sebuah pernikahan dapat
menyatukan dua hati yang dulunya berbeda menjadi pengingat satu sama
lain dalam kebaikan. Inilah mengapa jenis mahar yang satu ini kerap
menjadi pilihan karena dilihat dari fungsi dan maknanya yang luar biasa.
Sedangkan
untuk jenis mahar yang lain seperti cincin, uang, maupun benda-benda
lainnya biasanya tergantung permintaan sang istri dan kerelaan suami.
Semuanya harus disesuaikan dengan keadaan, tak boleh ada keterpaksaan
yang berujung tak mengenakkan. Bukan menjadi suatu keharusan, anggapan
yang kerap kali beredar di masyarakat adalah, sepasang cincin yang
melingkar di jemari menjadi tanda seorang telah ‘dipinang’. Sungguh,
bukan sebatas itu saja esensinya.
Lalu, mahar seperti
apakah yang dimaksud mudah itu? Di belahan bumi Allah yang lain, mahar
bagi seorang gadis di Mesir yang terkenal akan kecantikannya, bisa
mencapai 80.000 poundsterling! Sebuah angka fantastis untuk sebuah mahar
untuk meminang satu orang wanita. Bahkan Rasulullah SAW ketika hendak
meminang Khadijah memberikan mahar 700 ekor unta, jika di konversikan
dengan nilai hari ini adalah sebanyak 700 mobil Mercy saudara-saudara!
Tidak tanggung-tanggung, itulah kenyataan bagaimana seorang Nabi
mencontohkan. Jadi, benar mahar itu sebaiknya adalah yang memudahkan.
Namun mudah bukan berarti murah, bukan?
Menantu nabi Ali
bin Abi Thalib ketika meminang Fatimah puteri Nabi ‘hanya’ memberikan
sepasang baju besi sebagai maharnya. Lain lagi dengan kisah Abu Thalhah
yang menikahi Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anhuma dengan mahar keIslaman Abu Thalhah. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bekata,“Abu
Thalhah menikahi Ummu Sulaim. Maharnya keislaman Abu Thalhah. Ummu
Sulaim telah masuk Islam sebelum Abu Thalhah, maka Abu Thalhah
melamarnya. Ummu Sulaim mengatakan,’Saya telah masuk Islam, jika kamu
masuk Islam aku akan menikah denganmu.’ Abu Thalhah masuk Islam dan
menikah dengan Ummu Sulaim dan keislamannya sebagai maharnya.” (HR.
An-Nasa’I : 3288). Jadi, mahar tidak pula harus berwujud kebendaan
seperti hafalan Qur’an ataupun mengajarkan bacaan al-Qur’an kepada calon
mempelai wanita. Akan menjadi mahar yang jauh tak ternilai harganya.
Ada
seorang teman saya, mbak Sinta Yudisia, berpendapat bahwa menikah
dengan mahar yang terlalu murah dapat meningkatkan jumlah kegagalan
dalam suatu pernikahan, yaitu berujung pada perceraian. Tapi, akan lain
ceritanya andai mahar perempuan tinggi, bisakah mencegah seorang lelaki
berselingkuh? Setidaknya ia berpikir, ”Istriku ini mahal lho harganya.
Atau kalau aku mau kawin lagi, berapa duit yang harus aku kumpulkan?”
Andai mahar perempuan tinggi, bisakah mencegah seorang perempuan
berpaling? ”Dulu suamiku sudah memberiku mahar besar, belum tentu nanti
ada lelaki yang mau meminangku dengan ’harga’ setinggi itu.” Tapi di
satu sisi, andai mahar perempuan tinggi, bisa-bisa banyak pemuda menunda
menikah dan hal itu berpotensi memunculkan perzinahan. Maka, harus
adanya solusi disini.
Lanjut mbak Sinta lagi, coba deh
kita fikir lagi. Jika pemuda di Mesir mau mengumpulkan puluhan dinar dan
poundsterlingdemi kecantikan eksotis perempuan Alexandria, lalu berapa
yang seharusnya dibayar oleh seorang pemuda untuk mendapatkan seorang
gadis muslimah yang shalihah? Berapa yang harusnya dibayar kan lelaki
ketika ia menyempurnakan setengah agama yang kelak akan memelihara dunia
akhiratnya? Sangat mahal tentunya, dan jika tak mampu dalam bentuk
materi, sang pemuda harus membayarnya dengan menjadi qowwam yang baik
bagi istri dan keluarganya.
Subhanallah, seperti itulah
indahnya Islam. Saya sendiri memang ada keinginan untuk memudahkan mahar
bagi calon suami saya kelak. InsyaAllah sudah saya fikir matang-matang,
apa alasan meminta mahar tersebut. Bagi saya, memikirkan bagaimana
kehidupan setelah pernikahan adalah jauh lebih penting daripada ketika
akad atau resepsi pernikahan itu sendiri. Apalagi kalau harus ribut
gegara persoalan mahar. Saya ingin yang menjadi mahar saya adalah
sesuatu yang bermanfaat bagi diri dan keluarga saya kelak, tanggung
jawab amanah dalam mempergunakannya.
Anda berbeda pendapat
dengan saya? Tak apa, beda pendapatan saja wajar apalagi beda pendapat.
Hehehe (guyonan ippho santosa yang paling saya suka). Silakan sharing
pendapat di comment ya. Wallahua’lam bi ash-shawab.
Pejuang pena, berjihad dengan ilmu lewat goresan tintanya. J
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh..
Baitiy jannatiy,
Monday, May 14th 2012
No comments:
Post a Comment