image by google
Semenjak masih kanak-kanak, saya gemar sekali membaca. Membaca apa saja. Bahkan sebelum saya masuk TK (dulu belum marak pendidikan pra sekolah TK seperti PAUD yang belakangan sedang in), saya sudah cas-cis-cus membaca koran! Saya teriakkan apapun yang berhasil saya eja. Sehingga tak heran ketika memasuki jenjang sekolah dasar, saya sudah fasih baca-tulis di saat teman-teman seperjuangan saya masih tampak sibuk belepotan mengeja. Saya lantas sudah beralih pada belajar hitungan menerawang, tanpa alat. Dan saya tetap terus membaca. Bahkan, saat kelas dua SD, saya hafal luar kepala isi buku pendidikan pancasila dan kewarganegaraan! Mengapa? Karena, buku tersebut satu-satunya buku yang paling banyak teksnya hingga ratusan kali saya baca ulang.
Dalam
hal seni menggambar, saya tak terlalu mendalaminya. Entahlah, dulunya
saya punya anggapan cukup negatif bahwa tak ada darah seni yang mengalir
di tubuh saya. Menggambar itu masalah bakat. Selain itu juga
keterbatasan media seperti buku gambar, crayon, pensil warna dan
lain-lain yang membatasi kebebasan ekspresi, menyoal dunia seni
menggambar. Seingat saya, dinding kamarlah yang menjadi saksi bisu
betapa kreatifnya kami (saya dan ketiga saudara perempuan saya) dalam
mencurahkan segala gagasan. Mulai dari menggambar Hamindalid (tokoh kartun dalam komik majalah Mentari)
hingga menulis angka dari 1 sampai dengan 1000, mengular tanpa titik
koma! Menurut saya, yang paling jago menggambar itu kakak pertama saya.
Dia bisa menggambar Cassandra dan Maria Mercedez, dua tokoh telenovela
paling cantik luar biasa kala itu. Saya berdecak kagum dibuatnya.
Pengalaman
buruk yang termemori di kepala saya tentang menggambar, terjadi saat
saya duduk di kelas satu sekolah menengah pertama. Saat itu guru
geografi saya memberikan tugas yang bagi saya berat, berhubungan dengan
menggambar. Kami diberi tugas individu yaitu menggambar peta provinsi
Jawa Timur. Saya sendiri lupa, apakah instruksi dari Bu guru disuruh
menggambar secara detail atau tidak. Entah apa yang saya fikirkan kala
itu. Meskipun saya lemah dalam hal menggambar, saya bertekad harus
berusaha menyelesaikan gambar peta tersebut dengan sebaik-baiknya. Saya
gambar sangat detaiiiil sekali, menuangkannya di selembar kertas manila
putih yang lumayan lebar. Mulai dari lekukan garis pantai ujung timur
pulau Jawa itu, anak sungai, hingga jalur lintasan kereta apinya! Warna
dataran dan kedalaman lautpun saya buat bergradasi, semirip mungkin
sesuai yang tergambar di peta. Mungkin akan sulit membedakan, itu
gambaran tangan atau hasil print kalau jaman sekarang. Hehe.
Berbekal
sebuah atlas, pensil, karet penghapus, penggaris, pensil warna dan
tentu saja tekad baja. Selama tiga hari saya kerjakan siang dan malam
hingga lupa makan sampai begadang segala. Padahal itu mati-matian
dilarang bang Haji Roma Irama. Dan ketika itu selesai, sangat puas
rasanya! Saya jadi merasa bersalah sering meragukan sendiri kemampuan
saya dalam hal menggambar. Ternyata, tak separah dugaan saya. Dengan
senyum terkembang, keesokan harinya saya gadang-gadang hasil kerja keras
tersebut kehadapan Bu guru geografi yang terhormat. Dan apa yang
terjadi saudara pembaca sekalian?
Sangat
mencengangkan. Hasil karya saya diragukan keabsahannya! Dengan
terang-terangan Bu guru bertanya dengan sopan (baca: menuduh), apakah
saya mengumpulkan gambar bukan hasil sendiri alias hasil gambar buatan
kakak atau siapalah. Menurut pandangan rasio beliau yang sungguh terlalu
itu, tidak mungkin anak seusia saya (yang jelas bagi beliau saya ini
bermuka tak jago gambar, mungkin) bisa menggambar peta sedetail itu.
(Padahal, bubble yang muncul dari kepala sang Bu guru sepertinya berteriak,”BAGUS BANGEEEEETTT!!!!” Hehehe.)
Sontak
saya menyanggahnya. Namun apa daya, karena sedari awal apresiasinya
sudah buruk dengan mengatakan itu hasil karya orang lain, saya terdiam.
Ingin menangis rasa hati saya kala itu, tapi segera saya tepis. Pada
akhirnya, saya harus terima di lembar peta yang saya buat dengan
susah-payah, terpaksa puas pulang dengan nilai 8 saja. Cukup. Tak
terlalu buruk sebenarnya, tapi saya mendadak geram setelah tahu nilai
karya teman sekelas saya yang menggambar asal-asalan tak ubahnya (maaf)
rempeyek kebanyakan air malah mendapat nilai 9! Mungkin dengan dalih
‘karya sendiri’. Benar-benar mengecewakan, bukan?
Apakah
saya marah, lalu menuntut keadilan? Apakah saya menyesal dengan
kejadian yang hampir 9 tahun silam itu? Jawabannya, tidak. Malah saya
bersyukur, dari situlah saya belajar bagaimana menghargai sebuah karya.
Dan bagaimana berusaha, minimal mengapresiasi dengan baik karya orang
lain. Tidak langsung men-judge bahwa itu bukan karya sendiri, plagiat, dan seterusnya. Salah-salah jadi fitnah.
Sejak
saat itu saya kembali acuh dalam dunia gambar-menggambar. Tetapi saat
di bangku SMA ada semacam penjurusan dalam mata pelajaran Seni Budaya
yaitu tari, musik, atau gambar. Saya memutuskan untuk mengambil
konsentrasi bidang seni gambar, tapi lebih banyak ke gambar perspektif.
Belakangan saya baru mengetahui bakat saya di bidang seni adalah
bukanlah gambar, melainkan kerajinan tangan dan permainan warna.
Saya
sedikit terhibur, karena sebenarnya saya sudah lama mengetahui adanya
darah seni yang diwariskan dari pihak keluarga ibu pada keturunannya.
Kakek saya yang dulu berprofesi sebagai pembatik. Paman saya seorang
tukang kayu yang pandai di bidang ukir-ukiran. Ibu saya pandai memasak.
Saya penasaran saja, masa tak ada hasil karya yang dapat saya ciptakan
dari tangan saya yang lentur ini? Hehehe. Jadi, tak ada yang salah
dengan tidak jago gambar. Saya bisa berkarya dengan cara saya sendiri.
Kembali
soal membaca. Saya terus membaca. Membaca apa saja. Buku, novel, koran,
majalah, kamus, internet, blog, brosur, modul, bahkan kertas pembungkus
tempe juga menjadi bahan bacaan saya. Tentu saja selama ada tulisannya,
hehe. Satu hal fakta yang harus jujur saya ungkapkan, saya tidak bisa
membaca komik. Apalagi manga, tolong! Tidak usah bertanya. Barangkali
komik yang pernah saya baca adalah serial Hamindalid, Donal Bebek dan
Detektif Conan. Itupun saat saya masih kecil. Intinya, saya lebih senang
membaca tulisan.
Saya
terus membaca. Kapan saja, di mana saja. Ada waktu luang saya membaca.
Ketika sibuk, saya luangkan waktu untuk membaca. Gerah rasanya
seringkali mendengar sindiran orang tentang budaya membaca yag rendah,
hanya seringnya baca SMS atau status FB. Miris saja. Saat ini, koleksi
buku saya masih jauh dari kata banyak. Tapi juga tak sedikit. Seringnya
jika ingin baca, ya pinjam. Berdoa suatu saat bisa ganti
meminjam-minjamkan buku bermutu kepada teman-teman yang ingin membaca.
Doakan ya, agar koleksi bukunya makin bertambah.
Kegemaran
membaca, jika hanya berhenti sampai membaca tentunya sangat kering.
Gersang, ilmu yang dibagikan takkan sebanyak yang didapatkan dari
membaca. Bagaikan pohon tak berbuah. Dan saya tak hanya terus membaca,
tapi juga mulai menuangkannya dalam tulisan. Meski hanya dalam catatan
kecil seperti yang tengah saya goreskan ini. Menulis membuat hidup lebih
hidup, ilmu tak berkurang secuilpun namun kian bertambah melekat.
Setiap yang membaca tulisan kita dan dapat menangkap hikmah maupun
manfaat, InsyaAllah pahala pun siap mengalir untuk kita. Seperti gelas yang diisi air, suatu saat akan penuh dan tumpah pula.
Jadi, siap berbagi ilmu yang kita dapat dari membaca, lewat tulisan-tulisan kita? Percayalah, kelak tulisan bukan hanya menjadi story dalam hidup kita. Melainkan history yang akan mengukuhkan bahwa kita pernah ada. Semangat membaca dan menulis ya! (Kamis, 17 Mei 2012)