Dunia ini terkadang tidak adil, buktinya banyak manusia yang menuntut keadilan. Pernah, saya pun pernah merasa seperti itu. Ada perasaan berontak tatkala saya mulai menyadari, adanya ketidak adilan itu berimbas pada kehidupan saya seterusnya. Selain tentang arti nama (baca: tukang akte yang menyebalkan), sepertinya saya masih punya dendam kesumat dengan kebijakan di negeri ini. Kali ini berkaitan dengan bidang pendidikan. Saya pun hanya sedikit menggugat. Pertanyaan mendasar, mengapa tahun ajaran baru harus dimulai bulan Juli?
Masalah buat lo? Iya, masalah buat saya!
Imbas yang paling terasa, usia saya berkejar-kejaran dengan tahun ajaran baru. Saya lahir pada hari yang penuh barakah SELASA PON, 28 Agustus 1990. Ingat baik-baik ya, A-GUS-TUS. Itu adalah bulan setelah bulan Juli. Itu artinya, ketika baru masuk awal tahun ajaran baru, satu bulan kemudian bertambahlah usia saya. Saya memasuki keindahan taman kanak-kanak dan bermain-main di sana selama 2 tahun. Dan... usia 6 tahun sayapun masuk sekolah dasar. Awalnya, asiik naik kelas... tapi? Dengan ganasnya, selang waktu menuju Agustus itu mau tak mau saya harus berubah status ber-hepibesde ria merangkak ke angka 7 tahun. Dan itu sangat menyebalkan.
Mau bagaimana lagi, kalaupun tahun '96 saya mau masuk SD, usia saya masih 5 tahun, dan usia itu belum cukup memenuhi persyaratan. Kemarin kurang, besok telat! Tahun lalu belum cukup usia, ternyata tahun depannya malah ketuaan. Serba salah.
Bukan apa-apa, saya iri saja. Mengapa teman-teman satu angkatan saya banyak juga yang lahir tahun 91,92 bisa sekelas dengan saya. Saya? 90, Agustus pula. Menjadi terlihat seperti bocah tua saja diantara mereka. hahaha :D Bukan apa-apa pula, saat kelas 1 SD saya terlampau bosan jika masuk kelas membaca. Apalagi dengan di-eja. Jauh sebelum te-ka, saya sudah fasih membaca koran yang sering dibawa ayah saya. Saya juga berhitung dengan menerawang, ketika teman-teman sibuk menggunakan batang lidi yang dijajar-jajar. Maaf, itu juga amat membosankan dan tampak seperti kurang kerjaan.
Saya hanya berfikir, apa seharusnya saya duduk di kelas setingkat di atas saya ya? *melirik kelas sebelah. Kata hati tak pernah berbohong, apalagi saat itu saya masih anak-anak dengan segala kepolosan. Dan pertanyaan-pertanyaan lugas menari dalam benak *wink2* :D
Saya yang terlambat masuk, atau harus menyalahkan menteri pendidikan? Saya bingung.
Baru-baru ini saya ketahui, bahwa pada era 80-an telah terjadi perubahan kebijakan pergantian tahun ajaran yang semula Desember beralih ke Juni. Pak Chairul Tanjung saja sampai harus mengalami bersekolah di SMAN 1 Boedoet selama 3,5 tahun. Tepatnya saat Daoed Joesoef menjabat sebagai Menteri Pendidikan kala itu. Entahlah, seharusnya saya mengirim telegram pada beliau. Dan mengabarkan jika hal tersebut sedikit banyak berdampak pada kehidupan saya. Apa daya, saya baru lahir 10 tahun kemudian kok :D
Alhamdulillah, saat SD saya tak pernah beranjak dari rangking 1-2. Bergantian dengan saudari kembar saya. Tidak bebal-bebal amat lah. Padahal saat itu negara Indonesia sedang dilanda krismon! makan saja susah saya... :D Yahh... Pelaut yang hebat selalu berasal dari laut yang penuh badai gelombang, bukan? Kelas dua SD saya tuntas membaca buku pendidikan pancasila dan kewarganegaraan sampai hafal isinya. Isinya yaa... tulisan semua. Tidak ada gambarnya! *menyesal, kenapa saya tak baca terjemah kitab suci saja. :)
Buku-buku di perpustakaan, hanya mengandalkan buku sumbangan dari pemerintah yang mensosialisasikan tentang program-program pemerintah seperti Ayam IDT dan seterusnya. Mengenaskan, tapi saya senang. Karena berawal dari sana hingga saat ini saya lebih suka baca buku yang banyak tulisannya. Maksudnya, bukan komik, cergam atau sejenisnya (omong-omong soal gambar silakan dengarkan cerita saya tentang gambar-menggambar). Saya betah menekuri kata-kata dan buku tebal. Satu keuntungan buat saya. Oh ya, saya juga pernah membuat sendiri kamus Bahasa Inggris dengan kosa kata apapun yang saya berhasil temukan.
Intinya, mungkin sisi lain saya merasa dirugikan. Tapi sebenarnya juga diuntungkan karena pola pikir dan rasa ingin tahu saya saat itu sudah jauh melesat-lesat. Alhamdulillah. Yah, begitulah. Saya berusaha menerimanya. Saya yakin, banyak juga yang mengalami hal ini tapi biasa-biasa saja. Biarlah. Pernah dengar nasehat dari seorang teman, seorang mahasiswa Kedokteran. Pada usianya yang sangat muda, seusia saya... tapi sudah mau co ass. Padahal saya masih SMA saat itu. Gemas sekali rasanya, tapi apa katanya? Pasti semua ada hikmahnya. Ada yang Maha Mengatur skenario jalan hidup kita. Bisa jadi kita tak menyukai hal itu, tapi baik dimata-Nya. :)
Terakhir, kenapa saya sekarang masih duduk di semester 5 perkuliahan saat teman2 seangkatan saya sudah bejibaku dengan skripsi mereka? :) Just, let it flow. Kini saya sangat bisa memahaminya. Kita merencanakan, Allah jua yang menentukan. Saya yang merasa teraniaya oleh kurikulum dan karena tanggal lahir saya, boleh saja menuliskanya dalam satu postingan ini. Yang penting saya lega, dan dapat mengambil hikmahnya. Terutama dan terpenting bagi pembaca.
Saya beberapa kali menulis berdasarkan pengalaman. Nyatanya tak semuanya menarik bagi pembaca. Menurut saya pribadi, yang jauh lebih menarik adalah apabila anda punya seabreg ide dan pegalaman dan tidak pernah menuliskannya. :D *laporan status capek atau mandi saja anda rajin :P
So, Enjoy and keep writing!
Make a history, just not a story... :)
"Sesungguhnya pengalaman yang tak dituliskan perlahan akan menguap, menjadi kabar burung. Maka, tulislah sebelum anda mengalami kepikunan. Kalaupun anda pikun atau amnesia, anak cucu anda masih kebagian cerita pengalaman hidup anda." (bukan hadis,bukan ayat)
Untuk sahabat saya,
Menyalakan ide itu bisa melalui apa dan siapa saja. Terimakasih atas pemantiknya! :)
@Khalilaindriana
Ended 1:11 am
Sunday October, 21st 2012
Daripada menyalahkan, lebih menyenangkan jika menikmati alur kehidupan. Menulis itu mencoba mencari hikmah menarik dari kegiatan yang sudah pernah kita lalui, jika itu kesedihan, kita bisa nikmati kesenangan seetelahnya, jika itu nikmat, kita bisa upgrade menjadi syukur. Yang jelas aku menulis karena aku bodoh.. :D
ReplyDeleteiya deh.... jujur.. saya juga tak ingin menyalahkan. yah, semua pasti ada hikmahnya. Semoga senantiasa bisa meng-upgrade niat dan syukur... :) Semakin mengaku merasa bodoh, makin banyak yang kita sadari, bahwa kita belum belajar hal itu. makin merasa bodoh akan semakin banyak tahu. Saya menulis karena ingin berbagi. Jika ingin berbagi, berarti saya harus punya sesuatu. :D
Delete