Khalila Butik Hijab Syar'i

Monday, April 29, 2013

Makna Satu Kata #21 BACA: Seberapa Jauh Kita Meresapinya



“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebutkan nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat -Nya, bertambahlah iman mereka(karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakkal.”  (Q.S. al-Anfal :2)

Semenjak kecil, banyak dari kita dididik kebiasaan membaca Al-Qur’an selepas shalat terutama ba’da shalat Maghrib. Kalau orang Jawa menyebutnya nderes. Tidak terkecuali saya yang dulu masa kecil saya, saya habiskan tinggal di rumah nenek. Bu Lek saya selalu setia menemani saya mengaji surat-surat pendek, barang satu atau dua surat. Dulu, Juz ‘amma saya sudah ada terjemahnya lho. Tapi saat itu saya tidak mengerti, yang saya ketahui kalau Al-Qur’an itu ya bahasa arab.

Mengenai terjemahan itu, saya baru mulai sadar dan benar-benar membacanya ketika duduk di bangku SMA. Serius. Karena saya ini hanyalah orang awam apalagi menyangkut tentang ilmu agama. Jadi, mentor ngaji saya kala itu memberi pengarahan agar tidak sekedar membaca Al-Qur’an namun sekaligus men-tadaburi-nya. Cara mudahnya dengan membaca terjemahan Al-Qur’an. Agar kita menjadi lebih faham dengan apa yang kita baca. Minimal kita tahu artinya dalam bahasa kita.

Keimanan seseorang itu kadang naik terkadang juga turun. Ibadah-ibadah lahiriah seperti shalat, membaca ayat suci, puasa dan seterusnya adalah sebagai charger kita untuk mengisi ‘baterai’ keimanan kita. Ada cara-cara sederhana yang dapat menguji level keimanan kita saat ini, apakah sedang naik, rata-rata atau malah turun. Salah satunya adalah dengan cara membaca Al-Qur’an.

Kondisi keimanan kita yang sedang baik, tentu akan membawa dampak keikhlasan dalam beribadah. Perhatikan ketika kita mulai membaca ayat demi ayat. Jika perasaan kita terbawa untuk terus dan terus melanjutkan membaca tanpa ingin lekas mengakhiri, maka itu tandanya hati kita sedang terpaut pada Sang Khalik. Kita dapat meresapi bahkan ingin tahu makna terjemahan ayat-ayat yang kita baca. Ibarat di-charge, kadar keimanan kita terus bertambah.

Sebaliknya, jika saat membaca Al-Qur’an kita ingin segera menghentikan bacaan, menarget sekian ruku’, bahkan bolak-balik melirik batas yang kita tentukan itu sambil membatin ‘ini kapan selesainya...’ maka ini pertanda iman sedang menurun. Bahasa teman saya, jangan malu untuk mengakui bahwa kita tengah mendua. Menduakan Allah yang Maha Agung dengan hal-hal duniawi kita. Kita tidak tenang seolah-olah ada hal lain lebih penting daripada memahami ayat-ayat yang tengah kita baca. Padahal, kalau dipikir-pikir waktu yang kita alokasikan tentu mengaji Al-Qur’an tidak sebanyak aktivitas lain seperti kuliah, makan, dan seterusnya. Kalau masih tidak fokus, tentu akan semakin memangkas waktu kita berdekat-dekat dengan Allah lewat surat cinta-Nya. Indikator ini hanya sebagai penggambaran saja, berdasarkan pegalaman pribadi penulis.

Allah tidak pernah menyuruh kita berlebihan dalam hal apapun apalagi soal ibadah. Hanya saja, kita ini manusia biasa yang banyak khilaf dan dosa. Masih saja kita enggan berbuat baik demi sebongkah pahala. Sebenarnya apa yang mampu kita dedikasikan dalam hidup ini? Apabila kita sering mengatakan bahwa kita tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan banyak hal, maka seharusnya pertanyaannya adalah apa yang bisa kita lakukan dengan waktu yang telah Allah sediakan?

Setiap hari, membaca beberapa ayat dalam Al-Qur’an serta memahami artinya tentu bukan hal yang berat. Hanya saja yang berat adalah bagaimana menjalankannya dengan konsisten. Masalah demi masalah yang menghampiri, yakinlah Allah telah menjawabnya di dalam Al-Qr’anul Kariim. Karena, Allah telah menjadikannya sebagai petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Baca, resapi, dan pahami.



Khalila Indriana, 2013.
100 hari penuh inspirasi

Sunday, April 28, 2013

Makna Satu Kata #20 KOMUNIKASI: Berbicara Menurut Bahasa Kaumnya

Komunikasi adalah suatu proses dalam mana seseorang atau beberapa orang, kelompok, organisasi dan masyarakat menciptakan, dan menggunakan informasi agar terhubung dengan lingkungan dan orang lain. Biasanya, komunikasi dilakukan dengan cara lisan (verbal) maupun dengan bahasa tubuh maupun gerakan tertentu (non verbal) yang dapat di mengerti oleh kedua belah pihak.

Menurut penelitian, kita berbicara tidak kurang dari 4000 kata per hari. Jadi, komunikasi merupakan suatu keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap orang untu memanajemenkan setiap ucapan. Apalagi yang memiliki pekerjaan atau aktivitasnya terlibat dengan banyak orang. Kita dituntut menghadapi berbagai jenis karakter yang berbeda-beda. Tentulah sikap dalam menghadapinya tidak dapat kita samakan. Bisa berantakan jadinya. Maka dari itu kita perlu belajar. Komunikasi bukan hanya memahami teori, tetapi ia adalah ilmu praktis yang hanya akan benar-benar kita pahami jika kita mempraktekkannya.

Rasulullah sebagai teladan kita, tentu tidak lupa mengajarkan pada kita umatnya tentang hal tersebut. Bagaimana kesantunan beliau dalam berhubungan dengan orang lain dan penerapan ilmu berkomunikasi sesuai dengan syariah. Ada tiga poin utama yang perlu diperhatikan untuk menjadi dasar kita dapat berkomunikasi ala Rasulullah SAW. dalam penerapan kehidupan sehari-hari.  Berikut  ini akan saya paparkan secara singkat saja.

Pertama, adanya kefasihan (fashahah)  yang bersumber dari karunia sifat kecerdasan beliau sebagai Nabi. Jelas, tugas utama Rasulullah adalah menyampaikan kabar gembira sekaligus pemberi peringatan kepada umat manusia. Manusia yang terbatas sisi keilmuannya tentu akan sulit memahami kebenaran yang datang dari Allah, jika Rasulullah tidak memiliki kefasihan dalam penyampaian ajaran Islam kepada umatnya. Beliau yang sering mendapat kecaman, penolakan harus memiliki kekuatan berargumentasi menghadapi orang-orang yang mendebat tentang ajaran Islam yang disampaikan. Tanpa adanya kapabilitas komunikasi yang memadai, sepertinya yang disampaikan meski itu benar  akan mudah terpatahkan.

Kedua, ajaran yang disampaikan merupakan kebenaran yang mutlak (bayan). Kemurnian ajaran Islam merupakan bukti kekuasaan Allah. Banyak yang menyebut Rasulullah adalah seorang penyair, pendusta  yang mengarang cerita dan menebarkan berita bohong. Namun, yang benar tidak pernah bercampur dengan yang batil. Rasulullah membawa ajaran agama yang tlah disempurnakan oleh-Nya. Banyak ahli yang menguji dengan mencari kelemahannya, namun semuanya gagal. Karena sejatinya, Baginda Rasul hanya sebagai penyampai dan kebenaran datangnya dari Allah semata.

Ketiga, apa yang Rasul sampaikan semuanya keluar dari hati (qalbun saliim). Hati yang bersih akan melahirkan kata-kata yang  jernih. Lisan yang bertutur baik namun tidak keluar dari hati akan sangat terasa berbeda bagi yang mendengarkan. Kecerdasan menyampaikan kebenaran dengan kefasihan hanyalah faktor yang dapat diterima akal, namun ia dapat tersampaikan dengan baik jika terdapat ruh yang dihembuskan dari hati yang tulus dan murni. Karena, hati hanya bisa disentuh dengan kata-kata yang keluar dari hati yang bersih pula.

Jika ketiga dasar tersebut dapat kita maknai dengan baik, maka komunikasi hubugan antar manusia yang kita lakukan setelah ini, insyaAllah akan lebih dahsyat.  Kita akan semakin berhati-hati dengan kata-kata yang kita ucapkan. Jika klta belum dapat berkata yang baik, lebih baik kita diam. Namun, tetap harus mengasah keterampilan berkomunikasi dengan bahasa yang tepat. Ingat, umat Rasulullah itu sangat berbeda-beda latar belakangnya. Ada yang dari kalangan pedagang sampai saudagar,  dari rakyat jelata hingga raja-raja. Rasullah pastinya akan membedakan cara menyampaikan risalah-Nya agar dapat dimengerti. Beliau berbicara  sesuai dengan bahasa kaumnya.

Begitu pula dengan kita. Teladai bagaimana cara Rasul berkomunikasi. Bertuturlah dengan tegas tanpa mengurangi kelembutan agar tak menyakiti. Perhatikan lawan bicara kita, sesuaikan bahasa dan nada yang kita pergunakan. Terutama pahmilah sifat, karakter dan situasinya. Menjaga komunikasi merupakan langkah yang baik bagi kita dalam berinteraksi dengan sesama.

Komunikasi adalah keterampilan, barangsiapa yang mau mengaplikasikannya maka ia belajar selangkah lebih cepat (kalimat yang terakhir ini bukan hadits).

Khalila Indriana,2013.
100 hari penuh inspirasi

Friday, April 26, 2013

Makna Satu Kata #19 MALU: Mengapa Harus Malu Berbuat Kebaikan?


Apa itu malu?
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mengartikan ‘malu’ sebagai merasa sangat tidak enak, hina, dan rendah karena berbuat sesuatu yang kurang baik atau kurang benar. Sementara itu, definisi ‘malu’ menurut Imam An-Nawawi adalah akhlak mulia yang akan mendorong seseorang untuk meninggalkan keburukan dan mencegahnya dari melalaikan hak para pemiliknya.

Dalam perspektif Islam, malu merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Bahkan dalam beberapa hadits disebutkan bahwa malu adalah sebagian dari iman. Bagaikan dua sisi yang tak terpisahkan. Di mana jika tiada malu pada diri seseorang maka tidak sempurnanya pula imannya.

“Iman itu bercabang tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih, yang paling utama adalah kalimat la illaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan dari jalan, dan malu termasuk cabang dari iman.” (HR. Bukhari & Muslim)

Menempatkan malu di kehidupan akan memberikan benteng pada kita dalam setiap keputusan untuk bertindak. Kita tidak akan berbuat sesuka hati tanpa mengindahkan aturan, hukum, syariat dan segala hal yang menjadi batasan. Akan ada sanksi sosial maupun hukum dari Tuhan apabila seseorang tidak mengindahkan adanya rasa malu ketika melakukan perbuatan yang kurang baik. Orang yang merasa malu cenderung bersikap menarik diri dari orang-orang di sekitarnya, karena takut dicemooh atau karena tidak siap menghadapi respon yang timbul setelahnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Al-Hayaa’ (malu) merupakan pecahan dari kata al-Hayaat (hidup). Hal ini karena sesuai dengan hidupnya hati seseorang yang mendorong untuk berperangai dengan sifat malu. Sedikitnya rasa malu merupakan tanda matinya hati dan ruh. Maka apabila hati itu hidup, rasa malunya akan lebih sempurna.” 

Jadi, jelaslah sudah. Malu merupakan sifat yang harus dimanajemenkan dengan baik agar ia menjadi sifat yang terpuji. Agar ia dapat menjadi pengendali amal baik. Kita perlu membenamkan perasaan malu pada Allah ketika berbuat maksiat. Malu pada Allah yang Maha Melihat. Malu jika suatu saat rekaman video kemaksiatan kita di dunia diputar dengan gamblang tanpa tedeng aling-aling di hari pembalasan. Na’udzubillahi min dzaalik.

Namun, dewasa ini malu tidak lagi terbatas pada malu berbuat keburukan. Ada hal yang menurut saya lebih memalukan darpada sekedar berbuat keburukan. Yakni malu untuk melakukan perbuatan baik. Mengapa? Malu dianggap baik, malu dianggap sok pintar, malu dianggap alim, serba malu pada anggapan manusia. Malu pada pandangan positif yang tertuju pada kita. Sehingga seringkali kita ragu-ragu dalam berbuat kebaikan. Nanggung, tidak total. Malu berbuat baik menjadi penghalang terbesar untuk menebar kebaikan. Sering saya mendengar, “Saya begini sajalah, lebih baik berbuat buruk tapi niatnya baik, daripada berbuat baik niatnya buruk”. Nah, belum apa-apa sudah berprasangka buruk pada orang yang berbuat baik. Sejatinya, niat dan amal memang harus benar. Selaraskan antara niat dan realisasi perbuatan.

Terkadang, berbuat baik memang harus ‘nampak’ secara nyata. Karena di tengah hiruk-pikuk kehidupan dunia yang penuh hal negatif saat ini, sangat dibutuhkan contoh konkrit apa dan bagaimana perbuatan baik itu dilakukan. Bukan, bukan untuk membanggakan diri. Bukan untuk sekedar pameran. Hanya saja, masyarakat harus lebih banyak porsi asupan contoh kegiatan positif. Teladan untuk berbuat baik. Harus lebih banyak orang yang tidak malu untuk menyatakan diri dia berbuat baik.  Palagi untuk saling menasehati dalam kebaikan. 

Taruhlah malu pada tempatnya. Saat ini, orang yang berbuat maksiat saja santai dan percaya diri pada keburukannya. Jadi, mengapa kita harus malu untuk mengaku berbuat baik dan saling menasehati dalam kebaikan?

Khalila Indriana, 2013.

100 hari penuh inspirasi