Rumah berjendela kaca itu selalu memancarkan aura semangat para
penghuninya. Dari sanalah, lahir karya-karya terbaik dari tangan-tangan
mungil pemiliknya. Setiap hari, senyum tesungging tuk sekedar saling
bertegur sapa. Hebatnya, tak ada kata 'tolong maafkan aku'. Karena
sedetik kita bertengkar karena memperdebatkan sesuatu, detik selanjutnya
senyum kembali tersungging tanpa syarat. Begitulah cinta, tak pernah
ada kata maaf namun ribuan maaf tak terhitung lagi jumlahnya.
Rumah berjendela kaca itu selalu melahirkan cerita baru para penghuninya. Ia seolah menjadi akuarium raksasa, yang menampilkan live show
setiap harinya. Tanpa ada kebohongan, tanpa rahasia. Semua jujur,
mengalir apa adanya. Terlebih bukan karena rahasia, karena hidup yang
singkat ini takkan lagi kami isi dengan hal negatif yang dapat merusak
suasana kebersamaan. Kami saling menjaga, menjaga perasaan agar semua
baik-baik saja.
Rumah berjendela kaca itu sejatinya tak
pernah memandang rumput di halaman tetangga. Entah rumput mereka lebih
hijau atau lebih apa. Kami habiskan banyak waktu di sini untuk menyirami
rumput kami agar lebih hijau. Agar kami tak mudah menerbitkan rasa iri
dan dengki. Kami terlalu lelah untuk menjalani hidup seperti itu, hidup
yang selalu merasa tak cukup. Kami memilih menyiram rumput kami sendiri.
Rumah berjendela kaca itu, seperti tak pernah tidur.
Rumah berjendela kaca itu, menjadi saksi sejarah kami menggelar cerita hidup.
Rumah berjendela kaca itu, biarlah tetap seperti itu.
Kelak kami akan membangun rumah berjendela kaca yang lain, dengan cerita yang baru.
Dari sudut rumah berjendela kaca itu, aku tuliskan kisahku. Semampuku.
khalila indriana, September 2014.
No comments:
Post a Comment