Khalila Butik Hijab Syar'i

Thursday, September 25, 2014

Ide Bertemu Kesempatan = Action!

Siang yang beranjak terik, menggiring tiga bidadari bertemu di depan masjid dhuwur Al-Hikmah tepatnya di jalan Soekarno-Hatta, Ponorogo. Aku, Indriani Taslim dan Ammah Hida Cakep punya misi khusus hari ini untuk ketemuan dengan salah satu penulis senior yang kebetulan tinggal tak jauh dari masjid dhuwur. Namanya mbak Ruwi Meita. Beliau penulis produktif yang menekuni bidang fiksi novel bergenre Thriller. Horor-horor gimana.. gitu deh yang beliau tulis. Sudah ada lebih dari 10 buku adaptasi; dari skenario ke buku, dan beberapa buku sendiri yang kebanyakan emanya horor. Beliau juga banyak menulis ke majalah dan koran, dan sekarang mermbah ke cernak.

Sebenarnya sudah lama ichon diundang main ke tempat mbak Ruwi untuk ke rumah beliau. 
Sekedar sharing tentang kepenulisan atau mengunjungi rumah baca yang beliau dirikan di beranda rumahnya. Setelah janjian, akhirnya Kamis, 25 September 2014 kami bisa bertemu beliau di kediamannya. Jl. Seram no. 10b. Padahal dulu sebelum ustadzah Fina pindah, aku dan ichon sering pakai banget ke masjid dhuwur. Eh, ternyata dekat sekali.. dunia hanya selebar daun kelor. Hmm, bener juga kali ya. Dan akhirnya kami menemukan setitik kehidupan di sebuah rumah bercat warna hijau muda, dengan halaman yang cukup luas dan pagar yang agak jauh dari rumahnya sendiri.

Dan, kami disambut hangat oleh mbak Ruwi Meita juga ibu mertuanya. Btw, ibu mertuanya ini juga ibu dari guru seniku di Smada, bapak Sugeng Hariyadi. Jadi, mbak ruwi ini adalah adik iparnya dari pak Sugeng. Lagi-lagi dunia terasa sempit, ya? Begitulah. Mbak Ruwi sendiri asli Yogya, dan sering bolak-balik Ponorogo-Jogja. Enam tahun beliau menetap di Ponorogo.

Usut punya usut, beliau ini juga sedang mencari-cari orang-orang yang bergerak di dunia literasi di Ponorogo. Nah, setelah ngobrol panjang dengan mbak Hida kemarin, dan bercerita tentang mbak Ruwi, ternyata mbak Hida menyambut dengan tak kalah antusiasnya. Karena beliau sendiri selalu excited dengan dunia kepenulisan. Aku dan ichon berfikir, inilah momen yang pas untuk mempertemukan beliau-beliau ini dalam satu wadah yang 'nyambung'. Well, ternyata keputusan mempersatukan ide-ide ini membuahkan hasil. Harus ada sesuatu yang dapat kita kerjakan bersama-sama.

Kami mengobrol banyak tentang dunia literasi, mbak Hida yang vokal lebih mendominasi untuk menyampaikan ide-ide briliannya dalam rangka project menggagas "Ponorogo Membaca", membumikan Rumah Baca di Ponorogo sampai roadshow keliling ke sekolah-sekolah untuk memberikan pelatihan kepenulisan dan pengenalan budaya membaca. Klik sekali dan asik pembahasan kami siang itu.

Kami lebih membahas ke konsep-konsep dan rencana ke depan, bagaimana komunitas literasi di Ponorogo ini dapat terbentuk dan berjalan dalam cakupan yang lebih luas lagi. Lintas generasi dan dapat di terima oleh seluruh lapisan masyarakat. Terutama di kota Ponorogo sendiri. Dengan Agenda terdekat kami adalah mengisi spot acara di Pesta Sejuta Buku yang tiap tahun memang diadakan di gedung Apollo. Bersama anak-anak dari komunitas CAKEP binaan mbak Hida yang rencananya akan memfokuskan penampila ke acara musik, dan kami juga akan membuat acara bedah buku dan workshop kepenulisan dengan narasumber mbak Ruwi dan mbak Yoana Dianika yang sudah malang melintang di dunia kepenulisan. Juga ada wisata buku yang pesertanya anak-anak 
SD yang akan diajak berkeliling ke area pesta buku tersebut.

Banyak sekali pembahasan kami tentang buku, yang dapat membuat banyak perubahan besar bagi diri seseorang maupun dalam komunitas. Buku menjadi sarana yang ampuh, bahwa seharusnya memang ada efek bagi yang sudah membaca buku. Pun dengan penulisnya. Curahan gagasan sang penulis dalam sebuah karya sangatlah bermakna. Baik utuk kehidupannya sendiri maupun bagi pembaca. Kalau kata mbak Ruwi, menariknya dari seorang penulis itu adalah dapat berubah-ubah pola pikirnya sesuai dengan apa yang ia tulis. Sampai kadang si penulis lupa, saya ini umur berapa ya?? hehehe. Kami pun tertawa. Kalau kata mbak hida, dunia kepenulisan/penulis itu bukanlah dunia yang sepi. Dan mbak Ruwi pun setuju. Justru dengan masuk ke dunia kepenulisan, di sanalah kita menemukan kehidupan yang riuh, dan banyak sekali hal yang dapat kita pelajari. Dunia yang dapat membawa kita merambah banyak aspek kehidupan, tak terbatas ruang dan waktu.

Ah, rasanya tak cukup ruang untuk menceritakan detail pertemuan kami yang tak kurang dari satu jam lebih itu. banyak sekali yang di bahas, terutama keprihatinan akan dunia literasi di kota tercinta kami ini yang belum tergarap secara sempurna. Semoga ide-ide kami bertemu kesempatan yang tepat sehingga ada aksi nyata untuk mewujudkan ide tersebut menjadi suatu gerakan yang masiv kedepannya. Senang sekali bertemu orang-orang hebat hari ini. Semoga lain waktu dapat berlanjut pertemuan ini, tak hanya sekali dua kali namun secara intens dan bersinergi.

Kesan dari mbak Ruwi, enam tahun tinggal di Ponorogo, baru ketemu orang! Hehe, maksudnya yang dapat diajak untuk sharing tentang kepenulisan dan nyambung dengan mimpi mbak Ruwi untuk menghidupkan dunia literasi di kota Ponorogo ini. Semoga semuanya dimudahkan olehNya. :)

Salam Buku!

P.S.: Thanks mbak Ruwi, atas kenang-kenangan bukunya yang cantik. Semoga bisa ikut meramaikan rumah bacanya lain waktu :)

Wednesday, September 24, 2014

Saat Luka Tersiram Air Garam

Dan kudapati luka lama yang kembali terkuak. Semua itu aku pikir sudah selesai, sirna seiring waktu. Namun aku salah, luka menancap yang telah tercabut itu benar-benar menimbulkan luka yang dalam. Meski ia hampir kering, masih saja luka itu perih kembali setelah tersiram air garam.

Aku, tak ingin mengutuk malam yang terlalu pekat. Aku juga tak ingin merengek pada siang yang terlalu benderang hingga menyilaukan. Aku hanya ingin bertegur sapa dengan pagi yang menghangat, dan angin sore yang semilir menyejukkan. Yang tak pernah berdusta seperti rangkaian kata-katamu yang menjemukan.

Akhir dari semua ini, aku tak pernah lagi bisa membayangkannya. Tetap saja begitu.

Untukmu yang tak pernah kumengerti, mengapa dunia cepat sekali berubah namun nyatanya engkau tidak. Aku tak sepenuhnya membencimu. Aku hanya meragukan diriku, bisakah aku menjadi seorang pemaaf yang tak perlu engkau mengucap padaku. Aku ingin sekali itu, biarlah tetap seperti itu.

Memaafkan, akan membuat perasaanku baik-baik saja.

Rumah Berjendela Kaca Itu

Rumah berjendela kaca itu selalu memancarkan aura semangat para penghuninya. Dari sanalah, lahir karya-karya terbaik dari tangan-tangan mungil pemiliknya. Setiap hari, senyum tesungging tuk sekedar saling bertegur sapa. Hebatnya, tak ada kata 'tolong maafkan aku'. Karena sedetik kita bertengkar karena memperdebatkan sesuatu, detik selanjutnya senyum kembali tersungging tanpa syarat. Begitulah cinta, tak pernah ada kata maaf namun ribuan maaf tak terhitung lagi jumlahnya.

Rumah berjendela kaca itu selalu melahirkan cerita baru para penghuninya. Ia seolah menjadi akuarium raksasa, yang menampilkan live show setiap harinya. Tanpa ada kebohongan, tanpa rahasia. Semua jujur, mengalir apa adanya. Terlebih bukan karena rahasia, karena hidup yang singkat ini takkan lagi kami isi dengan hal negatif yang dapat merusak suasana kebersamaan. Kami saling menjaga, menjaga perasaan agar semua baik-baik saja.

Rumah berjendela kaca itu sejatinya tak pernah memandang rumput di halaman tetangga. Entah rumput mereka lebih hijau atau lebih apa. Kami habiskan banyak waktu di sini untuk menyirami rumput kami agar lebih hijau. Agar kami tak mudah menerbitkan rasa iri dan dengki. Kami terlalu lelah untuk menjalani hidup seperti itu, hidup yang selalu merasa tak cukup. Kami memilih menyiram rumput kami sendiri.

Rumah berjendela kaca itu, seperti tak pernah tidur.
Rumah berjendela kaca itu, menjadi saksi sejarah kami menggelar cerita hidup.
Rumah berjendela kaca itu, biarlah tetap seperti itu.

Kelak kami akan membangun rumah berjendela kaca yang lain, dengan cerita yang baru.

Dari sudut rumah berjendela kaca itu, aku tuliskan kisahku. Semampuku.


khalila indriana, September 2014.