Saat memasuki dunia
kepenulisan, saya belum terfikir untuk menjadi seorang penulis yang andal,
terkenal maupun diakui keberadaan saya sebagai seorang penulis. Niat awal yang
hadir dalam diri saya ketika memutuskan untuk mulai menulis adalah mematahkan
sebuah ‘predikat’ seorang plagiat yang pernah saya dapatkan dari seorang guru
Bahasa Indonesia saya. Waktu itu, saya masih duduk di kelas sepuluh sebuah
sekolah menengah atas negeri yang cukup ternama di kota saya. Entah mengapa, kejadian
tersebut masih terekam dengan jelas dalam benak saya hingga saat ini. Kejadian
yang begitu memukul saya hingga jatuh dalam lubang krisis kepercayaan diri.
Apalagi saat itu masih galau-galaunya masa remaja, transisi dari bangku SMP
menjadi bangku SMA. Semacam ada luka yang menganga saat saya harus memilih
jalan, ingin ‘menjadi orang yang seperti apa’.
Singkat cerita,
saat itu saya sedang sibuk-sibuknya dengan aktifitas belajar. Hampir seluruh
mata pelajaran umum di SMA saya pelajari, karena memang belum ada penjurusan.
Ilmu alam, sosial, teknologi, bahasa sampai agama semua ada. Campur bak
gado-gado, lebih mantap lagi didampingi es campur. Ah, jadi lapar saya. Setiap
hari pekerjaan rumah, tugas, praktikum, kegiatan ekstrakurikuler dan organisasi
datang silih berganti tiada habisnya. Saya bukan termasuk ke dalam jajaran
siswa yang pandai mengatur waktu, menepati jadwal, apalagi menyelesaikan tugas
dengan baik dan tepat waktu. Saya adalah seorang siswi acakadut yang sok kebanyakan
acara. Mana yang bisa saya kerjakan dahulu, ya saat itu pula saya kerjakan. Sampai
suatu saat beberapa tugas mulai menumpuk, sampai-sampai membuat saya bingung
bagaimana dapat menyelesaikan itu semua.
Sebagai kelengkapan
tugas materi Bahasa Indonesia, sang guru bijak menyuruh semua muridnya membuat
sebuah resensi buku yang pernah dibaca. Apakah saya pernah membaca buku? Tentu saja pernah! Masalahnya,
dari sekian banyak buku saya tidak punya banyak koleksi. Saya hanya kerap
membaca di perpustakaan dan beberapa buku pinjaman dari teman. Jadi, saya cukup
kesulitan ketika harus menulis sebuah resensi yang notabene ada hal-hal yang
harus saya cantumkan terkait penulisan sebuah resensi. Saat itulah saya
berfikir untuk meminjam salah satu buku di perpustakaan. Tapi parahnya, hingga menjelang
tugas dikumpulkan, saya tak kunjung meminjamnya! Alamak, saya panik bukan
kepalang. Entahlah, ini memang cerita yang memilukan kalau tidak ingin disebut
memalukan. Saya menulis sebuah resensi di majalah yang bukunya ‘hanya pernah’
saya baca sekilas. Lengkap! Mengutip sejadi-jadinya, hanya bedanya dibumbui
kata-kata tidak penting yang saya karang sendiri. Cukup pede saya mengumpulkannya
tanpa berpikir panjang. Pastinya inosen sekali tampang saya saat itu. Sebelum
saya terkena getahnya, akibat perbuatan ceroboh saya ini.
Hari pengumpulan
tugas tiba. Guru Bahasa Indonesia saya mulai mengumumkan satu demi satu tugas
resensi karangan murid-muridnya yang tercinta. Dengan sedikit penjelasan dan
mengajukan beberapa pertanyaan yang ditujukan pada pemilik tugas. Bodohnya,
saya tak kunjung menyadari hal tersebut. Masih tetap berwajah tak berdosa.
Tibalah giliran tugas saya, sang guru dengan seksama mengamati pekerjaan saya
yang (tentu saja) rapi tanpa noda. Tanpa ada kesalahan yang berarti. Lha iya,
wong itu resensi yang sudah jadi nyomot dari majalah. Sejurus kemudian Pak guru
nyengir dan mengembangkan senyum penuh arti. Pelan tapi pasti beliau mulai mengorek
keterangan tentang buku yang saya resensi. Beliau mengajukan beberapa
pertanyaan serius pada saya. Matilah saya, tergagap saya menjawabnya. Ya iyalah,
mana ngerti saya soal buku itu. Menyadari apa yang terjadi, mendadak saya pucat
dan merasa mual.
Guru saya secara
halus menegur saya, menanyakan baik-baik apakah tugas itu benar-benar saya
tulis sendiri. Dan saya masih berkilah. Satu kebohongan menutupi kebohongan
yang lain. Begitulah yang terjadi. Teguran halus yang terdengar seperti
halilintar di siang bolong di musim kemarau. Pak guru menegaskan, tulisan itu
sudah ‘kelihatan’ bukan karangan siswi seperti saya. Tutur bahasanya terlalu
rapi untuk seorang pelajar yang baru belajar menulis resensi. Saya menunduk,
sangat malu. Malu pada pak guru, pada teman sekelas, terlebih malu pada diri
sendiri. Malu pada Tuhan. Saya mengaku saya bersalah, dan meminta maaf atas
kejadian tersebut. Insiden paling memalukan sekaligus memberikan saya banyak
pelajaran. Satu yang saya ingat pesan mendalam dari guru bahasa Indonesia saya
tersebut, begini. “Jadi, intinya kamu itu sebenarnya tidak cukup pandai untuk
berbohong. Ini, bohong sedikit saja sudah ketahuan. Tidak bakat. Jadilah anak
yang jujur, bapak yakin kamu akan lebih sukses dalam hidup jika mau untuk jujur
di setiap tindakanmu.” Yah, bgitulah. Petuah dari guru Bahasa Indonesia saya
yang terus terngiang di telinga saya.
Sejak saat itu,
saya menancapkan dalam-dalam pesan guru saya tersebut. Sembari memendam dalam
hati dan ber-azzam, suatu saat saya akan menulis. Tulisan hasil karya saya
sendiri. Saya akan buktikan bahwa saya sebenarnya mampu, jika saya mau. Janji
kepada diri sendiri tersebut saya simpan dalam relung hati yang paling dalam
dan tak pernah saya lupakan hingga sekarang. Selama hampir tiga tahun saya
tidak menulis apa-apa. Hingga suatu hari masa-masa hampir kelulusan SMA, saya
teringat kembali janji itu. Kemudian mencoba belajar menulis. Saat itu saya
mulai belajar menulis di blog. Menuangkan ide-ide saya yang masih liar.
Membangun kembali yang sempat runtuh dalam diri saya.
Menulis dengan modal
ketekadan dan mau untuk belajar. Berlatih, berlatih dan berlatih. Tidak seperti
penulis kebanyakan yang memulai karir menulisnya dengan bakat, hobi, dan terus
menerus belajar menulis. Saya tidak begitu. Saya hanya berfikir saya bisa
melakukannya. Saat saya siap, saat itu saya mulai menulis. Pertama, hanya untuk
mendobrak mental blok saya tentang hal yang tidak bisa saya lakukan, yaitu
menulis. Belum ada motivasi lainnya. Kemudian saya mulai menulis apa saja yang
saya mampu, saya ketahui, dan apa saja yang sanggup saya bagi. Karena saya juga
berfikir bahwa saya adalah bukanlah salah satu anggota power ranger yang hendak
menyelamatkan dan bisa mengubah dunia dengan kekuatan super. Belum, belum
sejauh itu. Yang saya miliki adalah tekad dalam menulis, mungkin saja dengan
itu suatu saat saya bisa mengubah dunia.
Semakin saya menulis,
saya semakin yakin bahwa inilah pilihan hidup saya. Menjadikan menulis sebagai
salah satu visi terbesar dalam hidup saya. Menulis untuk kebaikan, sebagai
bekal investasi akhirat kelak. Menjadikannya hal yang patut untuk saya
perjuangkan.
Saya yang sekarang ini adalah seseorang yang justru banyak belajar dari
kesalahan di masa lalu. Dan masih terus belajar untuk masa depan.
No comments:
Post a Comment