Khalila Butik Hijab Syar'i

Saturday, January 18, 2014

Meski Bukan Power Ranger


Saat memasuki dunia kepenulisan, saya belum terfikir untuk menjadi seorang penulis yang andal, terkenal maupun diakui keberadaan saya sebagai seorang penulis. Niat awal yang hadir dalam diri saya ketika memutuskan untuk mulai menulis adalah mematahkan sebuah ‘predikat’ seorang plagiat yang pernah saya dapatkan dari seorang guru Bahasa Indonesia saya. Waktu itu, saya masih duduk di kelas sepuluh sebuah sekolah menengah atas negeri yang cukup ternama di kota saya. Entah mengapa, kejadian tersebut masih terekam dengan jelas dalam benak saya hingga saat ini. Kejadian yang begitu memukul saya hingga jatuh dalam lubang krisis kepercayaan diri. Apalagi saat itu masih galau-galaunya masa remaja, transisi dari bangku SMP menjadi bangku SMA. Semacam ada luka yang menganga saat saya harus memilih jalan, ingin ‘menjadi orang yang seperti apa’.

Singkat cerita, saat itu saya sedang sibuk-sibuknya dengan aktifitas belajar. Hampir seluruh mata pelajaran umum di SMA saya pelajari, karena memang belum ada penjurusan. Ilmu alam, sosial, teknologi, bahasa sampai agama semua ada. Campur bak gado-gado, lebih mantap lagi didampingi es campur. Ah, jadi lapar saya. Setiap hari pekerjaan rumah, tugas, praktikum, kegiatan ekstrakurikuler dan organisasi datang silih berganti tiada habisnya. Saya bukan termasuk ke dalam jajaran siswa yang pandai mengatur waktu, menepati jadwal, apalagi menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat waktu. Saya adalah seorang siswi acakadut yang sok kebanyakan acara. Mana yang bisa saya kerjakan dahulu, ya saat itu pula saya kerjakan. Sampai suatu saat beberapa tugas mulai menumpuk, sampai-sampai membuat saya bingung bagaimana dapat menyelesaikan itu semua.

Sebagai kelengkapan tugas materi Bahasa Indonesia, sang guru bijak menyuruh semua muridnya membuat sebuah resensi buku yang pernah dibaca. Apakah saya pernah  membaca buku? Tentu saja pernah! Masalahnya, dari sekian banyak buku saya tidak punya banyak koleksi. Saya hanya kerap membaca di perpustakaan dan beberapa buku pinjaman dari teman. Jadi, saya cukup kesulitan ketika harus menulis sebuah resensi yang notabene ada hal-hal yang harus saya cantumkan terkait penulisan sebuah resensi. Saat itulah saya berfikir untuk meminjam salah satu buku di perpustakaan. Tapi parahnya, hingga menjelang tugas dikumpulkan, saya tak kunjung meminjamnya! Alamak, saya panik bukan kepalang. Entahlah, ini memang cerita yang memilukan kalau tidak ingin disebut memalukan. Saya menulis sebuah resensi di majalah yang bukunya ‘hanya pernah’ saya baca sekilas. Lengkap! Mengutip sejadi-jadinya, hanya bedanya dibumbui kata-kata tidak penting yang saya karang sendiri. Cukup pede saya mengumpulkannya tanpa berpikir panjang. Pastinya inosen sekali tampang saya saat itu. Sebelum saya terkena getahnya, akibat perbuatan ceroboh saya ini.

Hari pengumpulan tugas tiba. Guru Bahasa Indonesia saya mulai mengumumkan satu demi satu tugas resensi karangan murid-muridnya yang tercinta. Dengan sedikit penjelasan dan mengajukan beberapa pertanyaan yang ditujukan pada pemilik tugas. Bodohnya, saya tak kunjung menyadari hal tersebut. Masih tetap berwajah tak berdosa. Tibalah giliran tugas saya, sang guru dengan seksama mengamati pekerjaan saya yang (tentu saja) rapi tanpa noda. Tanpa ada kesalahan yang berarti. Lha iya, wong itu resensi yang sudah jadi nyomot dari majalah. Sejurus kemudian Pak guru nyengir dan mengembangkan senyum penuh arti. Pelan tapi pasti beliau mulai mengorek keterangan tentang buku yang saya resensi. Beliau mengajukan beberapa pertanyaan serius pada saya. Matilah saya, tergagap saya menjawabnya. Ya iyalah, mana ngerti saya soal buku itu. Menyadari apa yang terjadi, mendadak saya pucat dan merasa mual.

Guru saya secara halus menegur saya, menanyakan baik-baik apakah tugas itu benar-benar saya tulis sendiri. Dan saya masih berkilah. Satu kebohongan menutupi kebohongan yang lain. Begitulah yang terjadi. Teguran halus yang terdengar seperti halilintar di siang bolong di musim kemarau. Pak guru menegaskan, tulisan itu sudah ‘kelihatan’ bukan karangan siswi seperti saya. Tutur bahasanya terlalu rapi untuk seorang pelajar yang baru belajar menulis resensi. Saya menunduk, sangat malu. Malu pada pak guru, pada teman sekelas, terlebih malu pada diri sendiri. Malu pada Tuhan. Saya mengaku saya bersalah, dan meminta maaf atas kejadian tersebut. Insiden paling memalukan sekaligus memberikan saya banyak pelajaran. Satu yang saya ingat pesan mendalam dari guru bahasa Indonesia saya tersebut, begini. “Jadi, intinya kamu itu sebenarnya tidak cukup pandai untuk berbohong. Ini, bohong sedikit saja sudah ketahuan. Tidak bakat. Jadilah anak yang jujur, bapak yakin kamu akan lebih sukses dalam hidup jika mau untuk jujur di setiap tindakanmu.” Yah, bgitulah. Petuah dari guru Bahasa Indonesia saya yang terus terngiang di telinga saya.

Sejak saat itu, saya menancapkan dalam-dalam pesan guru saya tersebut. Sembari memendam dalam hati dan ber-azzam, suatu saat saya akan menulis. Tulisan hasil karya saya sendiri. Saya akan buktikan bahwa saya sebenarnya mampu, jika saya mau. Janji kepada diri sendiri tersebut saya simpan dalam relung hati yang paling dalam dan tak pernah saya lupakan hingga sekarang. Selama hampir tiga tahun saya tidak menulis apa-apa. Hingga suatu hari masa-masa hampir kelulusan SMA, saya teringat kembali janji itu. Kemudian mencoba belajar menulis. Saat itu saya mulai belajar menulis di blog. Menuangkan ide-ide saya yang masih liar. Membangun kembali yang sempat runtuh dalam diri saya.

Menulis dengan modal ketekadan dan mau untuk belajar. Berlatih, berlatih dan berlatih. Tidak seperti penulis kebanyakan yang memulai karir menulisnya dengan bakat, hobi, dan terus menerus belajar menulis. Saya tidak begitu. Saya hanya berfikir saya bisa melakukannya. Saat saya siap, saat itu saya mulai menulis. Pertama, hanya untuk mendobrak mental blok saya tentang hal yang tidak bisa saya lakukan, yaitu menulis. Belum ada motivasi lainnya. Kemudian saya mulai menulis apa saja yang saya mampu, saya ketahui, dan apa saja yang sanggup saya bagi. Karena saya juga berfikir bahwa saya adalah bukanlah salah satu anggota power ranger yang hendak menyelamatkan dan bisa mengubah dunia dengan kekuatan super. Belum, belum sejauh itu. Yang saya miliki adalah tekad dalam menulis, mungkin saja dengan itu suatu saat saya bisa mengubah dunia.

Semakin saya menulis, saya semakin yakin bahwa inilah pilihan hidup saya. Menjadikan menulis sebagai salah satu visi terbesar dalam hidup saya. Menulis untuk kebaikan, sebagai bekal investasi akhirat kelak. Menjadikannya hal yang patut untuk saya perjuangkan.

Saya yang sekarang ini adalah seseorang yang justru banyak belajar dari kesalahan di masa lalu. Dan masih terus belajar untuk masa depan.

No comments:

Post a Comment