search by google |
Bismillahirrahmanirrahiim...
“Kata-kata cinta terucap indah, mengalir berdzikir di kidung doaku... Sakit yang kurasa biar jadi penawar dosaku....”(Muhasabah Cinta, Edcoustic)
Terkadang kita mendengar nasihat dari arah mana saja yang kita percayai kebenarannya. Namun bagi saya, nasihat terbaik adalah yang mampu keluar dari mulut kita sendiri. Saat itu kita menyadari, bahwa segala macam kenikmatan maupun musibah, tak lain adalah bagian dari ujian kehidupan yang Allah skenario-kan sedemikian indah. Nikmat agar bersyukur, musibah agar kita bersabar dan tetap bersyukur. Nasihat yang ditujukan bagi diri sendiri, dapat berarti telah mampu meraba kealpaan diri. Tiada perasaan digurui, tersinggung apalagi dipojokkan. Melainkan kita menyadari bahwa inilah kita, manusia, tempat salah dan lupa. Selanjutnya, tentulah nasihat yang baik akan lebih bermanfaat jika dapat memberikan hikmah bagi orang lain.
Ok, saya ingin cerita dulu sedikit. Mungkin ini juga yang melatar belakangi tulisan ini lahir.
Beberapa kurun waktu terakhir, saya sering merasakan sakit yang ‘kumatan’. Sakitnya muncul berkala, terutama saat badan sedang letih dan fikiran stress. Sakit di tengkuk sebelah kiri menjalar hingga ke belakang telinga, bahkan bisa migrain seharian. Pusing bukan kepalang, rasanya seperti menjalar hingga ke otak! Saya pikir, efek gigi berlubang yang kerap berulah. Bisa sakit gegara kemasukan makanan, otot kaku, kurang minum sampai masuk angin. Berbagai macam perkiraan penyebab sakit saya ini, yang memicu sakit luarbiasa di kepala bagian kiri. Sungguh, makanan enak pun terasa hambar. Bantal yang empuk serasa balok papan. Dan analisa saya yang terakhir, mungkin daya tahan tubuh saya yang sedang menurun. Alhasil, kelenjar imun bekerja agak keras untuk memproduksi anti bodi. Semoga saja begitu adanya. Badan ini sebenarnya ringkih, tapi segudang aktifitas menjadi pantang untuk berleha-leha. Jika si gigi berlubang mulainyut-nyutan alternatifnya adalah menelan sebutir pil Asam Mefenamat. Bagaimana lagi, bisa-bisa tidak tidur saya gara-gara gigi.
Ngomong-ngomong soal gigi, saya tersentil juga nih setelah melahap kripik eh maksudnya membaca buku berjudul“KRIPIK Untuk Jiwa”. Goresan renyah milik Nur Muhammadian, penulis sekaligus Master praktisi NLP (Neuro Lingustic Programming). Dalam Kripik 7 (halaman 14) beliau mengungkapkan, yang kita lakukan selama ini adalah kita sering bahkan hampir selalu memperhatikan penderitaan yang sejatinya adalah minoritas dari segi kuantitas maupun kualitas. Saat kita sakit gigi kita hanya fokus pada gigi yang sakit, padahal ada banyak gigi yang sehat. Kenapa tidak kita syukuri saja gigi yang sehat dan kita fokus pada yang sehat dan yang lebih banyak. ‘Mak Jlebbh’ sekali saat membacanya.
Benar juga ya, dunia ini penuh dengan kenikmatan yang seringkali didustakan oleh manusia. Berucap syukur saja malas. Kala sehat, dianggapnya itu hal biasa. Kalau sakit sedikit, luar biasa reaksinya. Dianggapnya Allah mengujinya dengan kesengsaraan, Allah tidak sayang padanya, dan berbagai macam praduga lainnya. Parahnya kalau sudah menyalahkan orang lain bahkan Tuhannya. Tunggu dulu, barangkali kita ini memang pelupa dan harus sering-sering diingatkan. Bagaimana jika akarnya adalah diri kita sendiri?
Bisa jadi, sakit yang menyerang kita adalah tanda bahwa Allah sedang memperhatikan kita. Cara Allah menunjukkan kasih sayangnya. Coba kalau kita dibiarkan saja (baca: dicuekin) oleh Allah, bebas berbuat sekehendak kita. Bisa-bisa gigit jari juga kita. Menurut hemat saya, kala sakit selalu kembalikan semuanya memang milik Allah. Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Allah yang menciptakan raga ini. Allah yang memberi sehat juga sakit. Maka Allah pula yang sebaik-baik penyembuh. Ingat Allah kala sehat, maka Allah akan ingat kita kala sakit. Jadi, yakinlah memang Allah meciptakan sakit dalam diri kita supaya kita bersabar dan berdoa. Banyak-banyak minta ampun... seperti sepenggal lagu di atas. Sakit sebagai penawar dosa-dosa kita yang setumpuk gunung. Semoga Allah mengampuni kita semua...
Maka, setidaknya ada 3 hal yang saya lakukan kala sakit menghampiri.
Pertama, kembalikan segalanya pada Sang Pemilik. Dia yang memberi sakit, tentu Dia pula yang menyembuhkan. Obat yang kita minum, bisa jadi berupa wasilah jalan kita sembuh. Bisa juga pakai ‘obat-obatan’ yang lain. Apa saja? Bisa sedekah, bisa juga silaturahim. Yang tak kalah penting adalah doa. Nasihat saudari saya, yang beberapa waktu lalu juga mengalami sakit gigi lumayan parah menyatakan bahwa giginya sembuh karena kekuatan doa. Bedoa agar di beri kesehatan. Ikhtiar seperti ke dokter gigi dan minum obat tetap dijalani. Alhamdulillah, Allah Maha menyembuhkan. Hm, kalau kaitannya dengan sedekah dan silaturahim tadi? Ya, barangkali doa yang dipanjatkan orang-orang yang merasakan manfaat dari sedekah yang kita keluarkan dan doa orang yang kita bersilaturahim padanya, didengar dan diijabah oleh Allah SWT. Kita kan tak pernah tahu, doa mana yang membuat kita merasakan kesembuhan dan kembali mendapat nikmat kesehatan? Wallahua’lam.
Kedua, pandai-pandai mengambil hikmah. Dengan sakit, kita tahu mengapa menjaga kesehatan itu jauh lebih utama daripada mengobati. Dengan sakit, kita sadar untuk lebig banyak bersyukur kala sehat. Dengan sakit, semoga Allah meleburkan dosa-dosa yang kita perbuat.
Ketiga, lebih aktif dan produktif. Fokus pada hal yang positif. Kadang sakit membuat kita lemah, serasa tak berdaya, bahkan menjadi alasan untuk tidak berbuat apa-apa. Singkirkan itu semua, dan mulailah menjadikan rasa sakit sebagai sebuah kekuatan yang lebih besar daripada yang biasa kita miliki. Bukankah keterpaksaan seringkali benar-benar memaksa kita dapat melakukan hal-hal yang kita pikir sulit melakukannya? Coba saja. Mungkin di sini saya sedikit berbeda dengan pak Dian, penulis buku Kripik. Benar, kita harus fokus pada hal-hal yang kondisinya baik permisalannya seperti fokus pada gigi yang sehat tadi. Tapi, jangan coba remehkan satu gigi yang sakit. Kalau bisa, sembuhkan. Cabut akar permasalahannya. Karena bisa jadi efek domino, satu masalah tak dibenahi merembet menulari yang sehat menimbulkan masalah yang baru lagi. Begitu pula dalam hidup.
Btw, saya menulis ini setelah seharian merasakan pening yang luar biasa. Dari situ saya mendapat kekuatan untuk menulis. Kemarin, saya di sentil oleh sms seorang kawan. Saya merasa tak produktif pasca lebaran, bingung mau mengerjakan apa. Apa katanya? “Halah, gayamu... di rumah ae, tapi pena kan terus bergerak hingga tulisan-tulisan hebat terbentuk.” Malah sempat di doakan agar suatu saat bisa menjadi penulis besar. Amiin ya robbal’alamiin.. J Ba’da maghrib, baru saya mendapat inspirasi untuk ide tulisan ini. Tak menyangka juga, bisa sepanjang ini. Mungkin ada baiknya segera untuk saya akhiri.
Adapun kebenaran, kebaikan dan ilmu yang haq dari tulisan ini murni berasal dari Rabb semesta alam. Adapun kekurangan dan kekhilafan sepenuhnya berasal dari saya. Manusia yang ingin terus belajar. Belajar memahami mengapa saya hidup, dan mengapa saya harus menuliskannya. Utamanya, sebagai nasihat bagi diri sendiri. Dan besar harapan dapat bermanfaat bagi pembaca.
Pejuang pena, berjihad dengan ilmu lewat goresan tintanya.
Wallahua’lam bi ash-shawab.
Khalila Indriana
Ponorogo, Agustus 2012
PS: tulisan Sakit Menjalar ke Otak (Part 1) bisa di baca di sini.
MM.. Sakit menjalar ke otak.. sakit itu sering kali karena bakteri dan virus, tapi jauh lebih sering itu karena makanan yang masuk ke tubuh dan perilaku hidup kita yang kurang sehat
ReplyDeleteyups, semakin hari semakin waspada dengan segala bentuk penyakit yang datang menghampiri. Jaga kesehatan yuk!
ReplyDelete